Lila kemudian melanjutkan, "Aku sangat senang bisa mengenalmu, Arga. Kamu adalah seseorang yang spesial. Tapi aku harus pergi."
Arga tertegun. "Pergi? Ke mana?"
Lila menatap Arga dengan pandangan lembut, "Aku hanya bisa menemanimu hingga senja ini berakhir. Setelah itu, aku harus kembali ke tempatku."
Arga merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti berputar. "Tapi... kita baru saja saling mengenal. Mengapa kamu harus pergi?"
Lila hanya tersenyum, sebuah senyuman yang dipenuhi dengan kesedihan. "Karena tempatku bukan di sini, Arga. Aku adalah bagian dari senja ini. Setiap kali kau melihat matahari tenggelam, itulah aku yang sedang berpamitan."
Arga tak bisa berkata apa-apa. Segala perasaan yang ia pendam meledak begitu saja, tapi ia tak tahu harus bagaimana mengungkapkannya. Ia hanya bisa melihat Lila yang perlahan-lahan memudar seiring dengan tenggelamnya matahari di balik cakrawala.
"Lila, aku..." Arga mencoba berbicara, namun kata-katanya terputus.
"Tak perlu berkata apa-apa, Arga. Aku tahu. Aku juga merasakannya. Tapi ini adalah takdirku," ujar Lila dengan suara yang semakin lirih.
Dan saat matahari sepenuhnya tenggelam, Lila menghilang. Arga hanya duduk terpaku, memandangi langit yang kini gelap tanpa warna senja. Ia merasa hampa, seolah-olah bagian dari dirinya ikut hilang bersama Lila.
Namun, meski Lila telah pergi, Arga tahu bahwa cinta yang ia rasakan tidak akan pernah pudar. Setiap senja, ia akan kembali ke bukit itu, mengingat Lila yang selalu hadir dalam setiap matahari tenggelam. Meskipun mereka tak lagi bisa bertemu, cinta mereka akan tetap abadi, tersimpan di antara langit senja yang tak pernah berubah.
Dan di sanalah, di bawah langit senja yang indah, cinta mereka terus hidup, menjadi bagian dari setiap cahaya yang terpantul di permukaan laut, dan setiap hembusan angin yang menyapu wajah Arga. Karena cinta sejati, meskipun tak selalu bisa bersama, akan selalu menemukan cara untuk tetap ada.