Mohon tunggu...
Fajar Sany
Fajar Sany Mohon Tunggu... -

Saya adalah Fajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pekerja Berkaos Merah

29 Januari 2015   10:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu adalah sore yang sibuk di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Hari pertama tahun ajaran baru. Mahasiswa baru berlalu-lalang kesana kemari, mencoba akrab dengan lingkungan barunya. Tapi saat itu kebanyakan adalah kelas karyawan yang jam kuliahnya dari sore hingga malam hari.

Ardhani, seorang mahasiswa baru kelas karyawan tergesa-gesa berjalan menuju kelasnya. Dia terlambat 15 menit setelah menambal ban sepeda motornya yang kempis tertusuk paku. Wajahnya menunjukkan ekspresi sedikit kelelahan, keringat terlihat di wajahnya. Sampai di depan kelas, dia melihat dari kaca pintu kalau bapak dosen sudah tiba. Kemudian dia mengetuk pintu, meminta maaf kepada dosen dan menjelaskan alasan keterlambatannya. Bapak dosen memaafkannya dan mempersilakan masuk. Ardhani duduk di bangku barisan paling belakang.

Pak dosen memperkenalkan dirinya, dan meminta mahasiswa juga untuk memperkenalkan diri. Satu persatu mahasiswa memperkenalkan diri dan menyebutkan pekerjaannya. Sampai pada salah seorang yang bernama Hamdan, dia mengaku bekerja sebagai kuli bangunan. Dosen dan mahasiswa lain terkejut dengan jawaban yang terdengar kurang masuk akal tersebut, tapi Hamdan tetap mengaku kalau pekerjaannya adalah kuli bangunan.

Perkuliahan pada hari pertama berlangsung singkat, hingga pukul 5 sore. Setelah bubaran, beberapa mahasiswa ada yang mengobrol, dan saling berkenalan satu sama lainnya. Ardhani berjalan pelan menyusuri lorong. Hamdan menghampirinya dari belakang dan menepuk pelan bahunya. “Hey Dan, kamu guru TI di SMP-7 itu ya? Itu SMP-ku waktu dulu. Sudah berapa lama bekerja disana?”

“Baru 3 tahun.” Jawab Ardhani.

Beberapa saat kemudian datang Kara, seorang mahasiswi sekelas menghampiri Hamdan. “Hamdan, kamu dulu pernah di SMAN-22 juga? Aku juga alumni sana, kita seangkatan tapi beda kelas, makanya kita belum pernah kenal. Lagipula aku pindahan dari SMAN-26 waktu kenaikan ke kelas XII.”

“Oh, berarti ini seperti reunian.” Jawab Hamdan.

“Bisa dibilang... eh ngomong-ngomong serius tuh kamu kerjanya jadi kuli bangunan?” Tanya Kara.

Hamdan pun tersenyum kecil, “Iya kuli bangunan yang setiap hari mengerjakan proyek, hehehe.”

Kara sama-sama tersenyum kecil dan pulang lebih dulu.

Hamdan lalu pamit pada Ardhani. “Oke Dan, saya pulang duluan ya, sampai bertemu besok!” Dia pulang mengendarai sepeda motor sport-nya yang berdimensi besar, dengan knalpot yang mengeluarkan suara bising dan menghentak.

***

Setahun kemudian, tepatnya di akhir semester kedua, Ardhani menghadapi UAS (Ujian Akhir Semester) yang lebih sulit dibandingkan semester pertama. Salah satunya adalah mata kuliah Algoritma dan Pemrograman. Meskipun cukup sulit, Ardhani mampu mengerjakan ujian tersebut dengan nilai yang cukup untuk syarat kelulusan, yaitu 6.

Ardhani terkejut ketika melihat nilai milik Hamdan yang terpampang 8.5. Ardhani bertemu dengan Kara yang sama-sama sedang melihat pengumuman nilai UAS di papan pengumuman jurusan.

“Rata-rata kelas kita memiliki nilai 5 dan 6, hanya Hamdan yang memiliki nilai tertinggi, luar biasa. Aku yakin dia mendapatkannya dengan murni. Ujian hari itu sangat ketat, tidak mungkin ada seorangpun yang berlaku curang. Konsepan yang sudah aku siapkan pun terpaksa tetap disimpan di dalam tas. Pasrah saja dengan nilai 5.7, yang penting tidak dibawah 5.” Kata Kara.

“Iyap, aku juga pasrah saja dengan nilai 6.5,” jawab Ardhani, “aku juga percaya dengan pencapaian nilai Hamdan. Sepertinya dia bukan orang sembarangan. Tahu kan, meski dia orangnya supel, tapi setiap ada hal yang berhubungan dengan mata kuliah Algoritma & Pemrograman, Matematika, dan Struktur Data, dia selalu menghindar. Kapan dia berdiskusi dengan kita tentang tiga mata kuliah itu?”

“Ya... dia itu memang pelit. Kalau kita butuh dia, dia tidak ada, malah menghindar; tapi kalau dia sedang butuh kita... contohnya seperti waktu ada tugas Bahasa Inggris, menyebalkan sekali, aku yang susah payah mengerjakan, dia tinggal mencontek saja, agak memaksa lagi.” Kata Kara dengan sedikit kesal.

“Jadi kamu percaya kalau dia bekerja sebagai kuli bangunan?” Tanya Ardhani.

“Sama sekali tidak, uh... sombong sekali dia mengaku sebagai kuli bangunan. Setahun ini dia belum pernah menceritakan tentang pekerjaan dia yang sebenarnya,” jawab Kara, “tapi dengar-dengar sih katanya dia seorang programer yang membuat aplikasi untuk sebuah perusahaan, tapi aku tidak tahu perusahaan apa. Masuk akal dengan nilai mata kuliah Algoritma dan Pemrogramannya yang mendapatkan nilai paling tinggi.”

***

3 tahun berlalu setelah Ardhani diwisuda dari bangku kuliah. Kini dia sudah bekerja sebagai dosen muda di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Disana dia menyewa kamar di sebuah indekos yang cukup bagus. Terkadang dia harus bolak-balik ke Bandung untuk bertemu dengan keluarganya, terutama ibunya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan.

Suatu hari dia mengendarai sepeda motor untuk mengunjungi sepupunya. Sesampainya disana dia disambut dengan hangat. Sore hari mereka mengobrol bersama di balkon yang menghadap langsung ke areal persawahan yang cukup luas. Tak jauh dari tempat mereka, terdapat sebuah rumah yang cukup besar sedang dibangun. Tampak para pekerja yang sibuk, dan ada pula sebagiannya yang beristirahat menunggu giliran.

Mata Ardhani melihat sesuatu yang berbeda dari seorang pekerja yang sedang beristirahat. “Apa aku salah lihat? Tampaknya aku mengenali pekerja disana yang memakai kaos merah.” Katanya kepada sepupunya.

Sepupunya menjelaskan kalau yang membangun rumah itu adalah seorang pejabat. “Karena memang pejabat yang membangun rumah itu adalah pejabat berduit, makanya rumahnya juga lebih bagus daripada rumah-rumah disini. Katanya sih itu bukan rumah satu-satunya.”

“Aku akan menemui pekerja itu, aku penasaran.” Kata Ardhani sambil turun dari balkon, dan keluar menuju tempat pembangunan rumah tersebut.

Ardhani berjalan mendekati para pekerja yang sedang beristirahat sambil merokok dan minum kopi. Namun pekerja yang memakai kaos merah tadi melihat Ardhani, dia langsung menuju ke belakang bangunan, mencoba menghindar darinya.

Ardhani melihatnya dan menuju ke belakang bangunan. Disana dia mendapati pekerja berkaos merah tersebut hendak pergi dengan sepeda motor bebeknya yang butut.

“Hey kang tunggu, sepertinya saya mengenal anda.” Kata Ardhani setengah berteriak.

Mendengar itu, pekerja berkaos merah tersebut segera mengambil helmnya, tapi dia lupa untuk melepaskan ikatan pada joknya yang masih terkunci.

Setelah melihat wajah pekerja berkaos merah tersebut, Ardhani terkejut. “Hamdan, ternyata kamu! Apa kamu benar-benar kuli bangunan, apakah ini nyata, bukannya... bukannya kamu bekerja sebagai programer, benar kan?”

“Ya ini aku,” jawab Hamdan dengan lesu, “maaf aku harus pergi sekarang, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.” Hamdan langsung pergi meninggalkan tempat tersebut.

Ardhani hanya terdiam menyaksikan Hamdan yang pergi meninggalkannya tanpa mau berbicara banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun