Dalam benakku, perjalanan haruslah berlanjut.
Namun kemana arah tujunya? Adakah? Entahlah.
Tidak juga dengan kompas dan peta, yang terbaca tapi tak terbaca.
Dan buku-buku itu, kini tak lagi bisa merayu.
Begitu juga kitab-kitab tua, yang terang seperti lampu kota berdebu.
Tak tertarik lagi ku pada segala hal yang mistik.
Juga pada browser, dan kawanan angka yang berjubel dalam kepala.
Semua serupa buih arak yang lerai pada kelakar tawa.
Hingga tiba diriku dalam gelap yang dalam.
Lalu terpejam dan mengigau.
Pagi ini matahari mencongkel kelopak mataku.
Ku soroti sekeliling ruang, tak ada beda sekarang dengan sebelumnya.
Hanyalah gaduh dan tanya yang terserak di mana-mana.
Sambil menghitung puntung, ku mengingat lagi serupa apa rasa arak semalam, tentulah tak sememabukan hari kemarin.
Dan kini tinggallah aku dengan jurnal puisi.
Kompas dan petanya pun entah dimana.
"Dimana ku kini?" Tanyaku pada salah satu puisi.
Dan jawab puisi, Â "di lembaran sajak yang belum tuntas kau sudahi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H