Keputusan yang Menyenangkan Semua Orang? Bisakah?
"Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best."
--Bob Talbert--
Kutipan di atas menjelaskan dengan penuh kekuatan bahwa sebenarnya, mengajar bukanlah semata-mata memberikan materi ajar saja, melainkan apa yang ada di dalam materi ajar tersebut. Artinya, hal terpenting dalam mengajar adalah menyiapkan murid untuk mampu menghadapi perubahan dunia dan menjadikan mereka generasi tangguh yang pantang menyerah hingga menjadi pembelajar sepanjang hayat yang kreatif, inovatif dan berani memberikan pendapat serta saling menghargai antar sesama, demi kemajuan Indonesia yang lebih baik.
Dalam proses pembelajaran inilah, beberapa keputusan harus diambil dalam waktu yang singkat, butuh pemikiran lebih dan sebagainya, agar manfaat dari hasil pengambilan keputusan tersebut dapat memberikan kesempatan pada murid untuk belajar lebih dari sekadar menerima materi.
Berikut adalah keterkaitan antara materi, mulai dari Filosofi Ki Hadjar Dewantara, yang mengedepankan pendidikan sebagai proses menuntun kodrat murid, hingga bagaimana mendapatkan keputusan yang tetap memerhatikan pembelajaran yang berpihak pada murid.
Yang pertama adalah bagaimana filosofi Ki Hadjar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin.Â
Ketika kita membaca nama Ki Hadjar Dewantara, tentu kita akan mengingat kembali Pratap Trilokanya yang sangat membekas di kepala para guru. Mari kita coba membedah sedikit saja apa arti di dalamnya. Ing Ngarso Sung Tuladha, yang artinya di depan memberikan contoh atau teladan. Maka, dalam pengambilan keputusan, seorang guru seharusnya, saya tidak katakan harus, dapat menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh bagi para murid. Karena ketika dalam pembelajaran, guru pasti menerapkan metode belajar kelompok yang menjadikan murid sebagai pemimpin dan anggota. Di situlah guru menjadi teladan bagi mereka tentang bagaimana seharusnya seseorang mengambil keputusan, agar dapat memberikan kebermanfaatan bagi semuanya. Kemudian ada Ing Madya Mangun Karsa, artinya di tengah membangkitkan semangat untuk berusaha. Di sini seorang guru dituntut untuk menuntun yang sebenar-benarnya. Bukan hanya memberikan materi ajar, melainkan juga mampu menumbuhkan potensi murid dan menggali sendiri potensi yang ada pada diri mereka untuk memunculkan karsa, sehingga mereka mampu menciptakan karya. Maka, dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, guru seharusnya dapat memberikan keputusan bagaimana guru bersikap. Yang selanjutnya, Tut Wuri Handayani yang artinya di belakang memberikan motivasi. Dalam hal ini, dalam pengambilan keputusan bahkan keputusan yang diambil oleh seorang guru seharusnya mampu memberikan motivasi pada murid untuk berkembang dan mengembangkan kekuatan atau kodrat alam positif dalam diri mereka.
Pertanyaan kedua adalah bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan.Â
Jika kita kembali pada nilai dan peran sebagai guru penggerak, maka akan banyak nilai dan peran yang harus ditanamkan. Nilai-nilai tersebut adalah mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, serta berpihak pada murid. Dan nilai-nilai tersebut seharusnya tetap mengikuti guru dalam pengambilan keputusan baik dalam dilema etika (benar lawan benar) atau bujukan moral (benar lawan salah). Ketika guru memegang teguh nilai-nilai tersebut maka guru akan dapat mengambil keputusan dengan resiko yang sekecil-kecilnya. Karena pada dasarnya, keputusan apapun yang diambil oleh seorang guru dalam pelaksanaan pembelajarannya, pastilah mengarah pada keberpihakan pada murid. Dan tanpa kita sendiri kadang sadari adalah dalam proses pengambilan keputusan tersebut, kita telah mengimplementasikan kompetensi sosial emosional kita untuk meminimalisir kesalahan dan konsekuensi yang mengikuti.
Pertanyaan ketiga adalah bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan ‘coaching’ (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil? Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut.
Sebagaimana telah dipelajari bahwa coaching adalah proses menggiring, atau menuntun coachee untuk menemukan solusi atas masalahnya sendiri. Maka dalam pendidikan, coaching adalah cara guru untuk mengaktivasi kerja otak murid, bahkan rekan kerja. Hal ini dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan pemantik yang membuat murid atau rekan guru melakukan metakognisi untuk mengambil keputusan dengan memilih sendiri alternatif/solusi dari permasalahan yang dihadapinya tanpa paksaan dan campur tangan orang lain. Dalam proses coaching ini pula, seorang coachee dapat menemukan potensi dirinya yang dapat membawa dirinya dalam tindakan yang bertanggung jawab.
Bahkan, dalam proses coaching ini juga, seorang coachee akan menemukan ide-ide baru sebagai solusi atas permasalahannya sendiri. Dan dalam proses pembelajaran coaching ini, saya sangat terbantu oleh Pengajar Praktik dan Fasilitator sebagai penguat pemahaman saya hingga saya paham sungguh perbedaan antara mentoring dan coaching. Sehingga, saya yakin, coaching dapat diterapkan dalam proses pengambilan keputusan karena pertanyaan-pertanyaan dalam coaching dapat diterapkan dalam 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan.