Tahun 2024 masyarakat Indonesia telah melewati tahun politik. Pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan Pilkada secara serentak dan berdekatan dengan konstestasi pemilihan presiden dan pemilih legislatif. Perkembangan era digital membawa warna baru dalam dunia politik. Kehadiran media sosial telah mengubah perilaku dan kultur masyarakat dalam berkomunikasi dan mengkonsumsi berita. Sejak pemilu 2019, media sosial dipandang menjadi alat berkampanye, beradu gagasan, termasuk menjatuhkan lawan yang bersebrangan. Tensi penggunaan media sosial dalam politik ditahun inipun kian meningkat.
Media sosial sebagai sumber informasi baru menjadi antitesis dari media mainstream, yang dianggap menjadi media yang sangat kental dengan kepentingan pemiliknya. Pilihan media sosial sebagai sumber informasi baru dianggap tidak memiliki kepentingan seiring berkembangnya citizen journalism. Platform media sosial seperti Facebook memiliki struktur yang sangat berbeda dari teknologi media mainstream. Konten di media sosial dapat disampaikan antar pengguna tanpa penyaringan pihak ketiga, pemeriksaan fakta, atau penilaian editorial.
Sebelum era media sosial, informasi yang beredar ke publik melewati mekanisme penyaringan berdasarkan nilai berita, dan akurasi. Editor berita bertanggung jawab untuk menyaring informasi untuk menentukan validitas dan kebenarannya, sebagai upaya untuk mempertahankan reputasi jurnalis. Dengan berkembangnya media sosial peran editor menjadi hilang. Karena individu dapat terhubung dengan teman dan keluarga, membaca berita dan mengkonsumsi konten dari seluruh dunia, dan kemudian berbagi informasi apa yang dianggap mereka paling permakna.
Timbul permasalah dari pengguna media sosial saat ini adalah banyaknya hoax yang menyebar luas, termasuk dalam dunia politik. Hoax bertujuan untuk membuat opini publik, menggiring opini publik, membentuk persepsi, juga untuk having fun yang menguji kecerdasan pengguna internet dan media sosial. Dalam politik hoax digunakan untuk melakukan penyerangan terhadap lawan politik.
Menurut Cambridge Dictionary, hoax adalah rencana yang digunakan untuk mengelabui seseorang. Sedangkan menurut Urban Dictionary, hoax adalah rekayasa kebohongan yang dibuat sengaja untuk menyamarkan kebenaran. Maka, hoax merupakan informasi bohong yang bertujuan untuk mengelabui seseorang.
Menurut Robert Feldman (2009) menyebutkan bahwa, seseorang akan dengan mudah berbohong ketika kepercayaan dirinya terancam. Kebohongan ada karena keinginan orang untuk diterima dimasyarakat dan membuat orang lain terkesima pada diri kita, agar diterima atau membuat orang lain menjadi suka. Fieldman juga percaya bahwa manusia pada dasarnya diprogram untuk berbohong sekaligus untuk mempercayai kebohongan itu sendiri. Perilaku ini bisa dilihat dalam politik pencitraan yang dilakukan oleh politisi. Mereka pura-pura merakyat dengan memakai simbol-simbol yang sering dilakukan oleh rakyat kecil. Bahkan menurut Fieldman seseorang kerap mengelabui diri sendiri untuk bertahan.
Pendapat lain juga diutarakan oleh filusuf German Friedrich Nieztche dalam penelitiannya On Truth and Lies In a Nonmoral Sense mengatakan bahwa, manusia itu akan percaya apapun tanpa konsekuensi logis asalkan hal itu diulang-ulang lebih dari sekali. Kebohongan apabila dikatakan berulang ulang akan menjadi kebenaran. Hal inilah yang terjadi dalam politik. Mereka mengulang-ngulang informasi, sehingga khalayak akan mempercayainya dan menjadi suatu kebanaran. Â Â
DailySocial mencatat bahwa, distribusi hoax malalui media sosial banyak terjadi di Facebook 81,25%, melalui WhatsApp 56,55% dan Instagram 29,48%. Dari survei tersebut, 77,76% responden jika menerima informasi mereka terkadang meneruskan informasi tersebut ke temannya. Artinya, ketika informasi itu berisi hoax, maka cenderung informasi itu akan menjadi viral.
Pada dasarnya media sosial sebagai bentuk dari komunikasi massa, yakni komunikasi yang melibatkan banyak orang. Jay Black dan Frederick C menyebut bahwa komunikasi massa adalah sebuah proses dimana pesan-pesan yang diproduksi secara massal, disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan heterogen. Luas disini berarti lebih besar daripada sekedar kumpulan orang yang berdekatan secara fisik sedangkan anonim berarti individu yang menerima pesan cenderung asing satu sama lain. Heterogen berarti pesan dikirim kepada orang-orang dari berbagai macam status, pekerjaan, dan jabatan dengan karakteristik yang berbeda satu sama lain dan bukan penerima pesan yang homogen.
Media massa merupakan alat untuk mengontruksi realitas, maka dikenal dengan teori konstruksi sosial dari Berger dan Luckman, dimana individu menciptakan secara terus menerus realitas yang dimiliki dan dialami secara subjketif. Informasi yang dibuat dan disampaikan kepada masyarakat telebih dahulu melalui proses kontruksi realitas. Informasi yang disampaikan melalui media sosial pada dasarnya merupakan hasil kontruksi realitas dari sebuah peristiwa. Dengan demikian, hoax yang ada di media sosial adalah realitas yang diciptakan dari sebuah peristiwa yang ada.
 Dalam kontestasi pemilihan presiden dan legislatif 2019, kemunculan hoax semakin intensif, dengan saling menyerang antar kandidat melalui media sosial. Kementrian Kominfo mencatat selama Agustus-Desember 2018 sebanyak 62 konten hoax terkait pemilu 2019, paling banyak teridentifikasi pada Desember 2018. Dari segi bentuk konten yang beredar di media sosial yang berkaitan dengan hoax pada pilpres dan pileg, menunjukan pola spesifik bagaimana pengguna menyampaikan informasi hoax.
Pertama, pengguna cenderung untuk memposting gambar yang diedit dengan komentar pribadi. Misalnya kontek hoax yang menggambarkan KH Ma'ruf Amin yang mengucapkan natal sambil mengenakan kostum sinterklas. Video Ma'ruf berbaju sinterklas itu disebarkan melaui WhatsApp dan media sosial lainnya. Video itu mengedit dalam video aslinya KH Ma'ruf mengenakan baju khasnya, yakni kemeja putih dipadukan jas berwarna hitam dan sorban putih serta peci.