Di era digital yang semakin terkoneksi, media sosial menjadi ruang utama untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Namun, dengan kemudahan tersebut, muncul tantangan besar: bagaimana menjaga privasi komunikasi di tengah keterbukaan yang nyaris tanpa batas. Privasi, yang dulunya bersifat personal dan eksklusif, kini menjadi konsep yang harus dinegosiasikan dalam setiap interaksi di media sosial.
Teori Manajemen Privasi Komunikasi (Communication Privacy Management Theory) yang dikembangkan oleh Sandra Petronio memberikan kerangka kerja yang relevan untuk memahami dinamika ini. Teori ini menjelaskan bahwa individu memandang privasi sebagai sesuatu yang dapat dikelola melalui aturan yang mereka tetapkan sendiri. Dalam konteks media sosial, aturan-aturan ini sering kali diuji oleh sifat platform yang mendorong berbagi informasi secara publik.
Petronio menggambarkan privasi sebagai sebuah pagar yang melibatkan dua elemen utama: kontrol dan risiko. Kontrol berkaitan dengan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang dapat mengakses informasi mereka, sedangkan risiko muncul ketika informasi tersebut berada di luar kendali. Di media sosial, kontrol ini sering kali terfragmentasi oleh fitur-fitur platform, seperti pengaturan privasi yang rumit atau algoritma yang menentukan siapa yang dapat melihat unggahan tertentu.
Misalnya, pengguna mungkin merasa aman berbagi foto atau pendapat di platform seperti Instagram atau Facebook dengan pengaturan khusus untuk "teman dekat." Namun, kebocoran informasi bisa terjadi ketika teman-teman tersebut membagikan ulang konten tersebut ke audiens yang lebih luas tanpa izin. Fenomena ini disebut oleh Petronio sebagai pelanggaran batas privasi ("boundary turbulence"), di mana aturan privasi yang ditetapkan individu menjadi terganggu.
Platform media sosial sering kali mengedepankan transparansi sebagai nilai utama. Namun, transparansi ini bersifat semu karena pengguna tidak sepenuhnya memahami bagaimana data mereka digunakan atau siapa saja yang memiliki akses. Algoritma yang tidak transparan, misalnya, dapat mengarahkan informasi pribadi kepada pihak ketiga, seperti pengiklan, tanpa sepengetahuan pengguna.
Sebagai contoh, kebijakan privasi yang panjang dan berbelit sering kali diabaikan oleh pengguna. Ketidaksadaran ini menciptakan celah besar dalam kontrol privasi, yang memengaruhi bagaimana informasi pribadi diproses dan digunakan. Petronio menyoroti bahwa privasi tidak hanya soal kerahasiaan, tetapi juga tentang hak untuk mengontrol narasi diri sendiri di ruang publik.
Ketidakmampuan mengelola privasi di media sosial dapat memiliki dampak sosial dan psikologis yang signifikan. Individu yang merasa privasinya dilanggar cenderung mengalami penurunan rasa percaya diri dan peningkatan kecemasan. Di sisi lain, mereka yang berhasil mengelola privasi dengan baik cenderung lebih nyaman berinteraksi di media sosial.
Di Indonesia, kasus-kasus pelanggaran privasi, seperti penyebaran informasi pribadi tanpa izin semakin sering terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pengguna media sosial yang belum memahami pentingnya manajemen privasi. Edukasi tentang literasi digital menjadi kunci untuk meningkatkan kesadaran pengguna dalam mengelola privasi mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI