Tapi yakinlah semua perubahan semenjak PT Kereta Commuter Indonesia mengambil alih sebagai transportasi umum sedemikian berusaha untuk lebih baik. Agak kurang simpati memang jika harus dinaikan saat-saat pandemi yang masih berlarut-larut. Tapi apa daya, semua juga memang harus mengalami hal ini.Â
Di Kelapa Dua Tangerang, jika saya hendak Ke Lippo Karawaci setelah jalan kaki dari Pakulonan Barat sampai jalan besar, saya mesti naik angkot dengan membayar Rp 5.000. Jika naik ojek online berkisar Rp 15.000, secara teori dan kenyataan jalur tempuhnya sudah 4 KM.
Alhamdulillah itu dekat, apa kabar dengan Kota kota Penyokong Jakarta, tempat di mana para pekerja migran tinggal, ngontrak rumah, cicil rumah, dan penguninya harus pergi bekerja ke Jakarta pulang pergi tiap harinya?Â
Saya yakin butuh lebih 4 km jaraknya. Yang dari Bekasi, Bogor, Depok, Kota Tangerang, Tangerang selatan, Tangerang kabupaten bahkan Rangkas Bitung serta Cikarang, mau naik bus kemacetan? Apakah ada bus yang tak perlu transit lagi? Apakah perlu pakai motor saja?Â
Kenaikan harga dasar versus pengguna yang protes tentu saja akan kalah, karena KRL memiliki segudang kelebihan yang tidak bisa ditolak.Â
KRL adalah pilihan transportasi bijak yang tentunya dapat menghubungkan tiga provinsi secara langsung dan 5 kota di Jakarta itu sendiri, serta 5 kota lain juga 4 kabupaten di Jawa Barat dan Banten.Â
Ada 105 stasiun dengan total rute sepanjang kurang lebih 540 km, secara jalur rel dan beberapa di antara stasiunnya terhubung langsung dengan metode transportasi lain semodel Transjakarta, Damri, hingga terminal dan stasiun MRT.Â
Untuk kenaikan tarif sebesar Rp 2.000 yang mana adalah tarif dasar pada perjalanan KRL sejauh 25 km pertama, selanjutnya untuk 10 km berikutnya akan tetap dikenakan tarif sebesar Rp 1.000 seperti sekarang ini. Jadi apakah beban banget?Â
Sepertinya tidak, tarif KRL yang berlaku sekarang jika tidak salah ingat sudah berjalan dari tahun 2010 sekitar bulan Oktober, yang awalnya juga ditolak, tapi mending mana, tahun 2010 dan tahun ini?