Kenaikan tarif dasar krl dari Rp 3.000 ke Rp 5.000 adalah sesuatu yang menurut saya pribadi tidak masalah.Â
Toh dari pertama kali saya menggunakan transportasi ini di tahun 2008 nyaris sampai sekarang, saya sudah benar-benar merasakan perubahannya.Â
Dulu penyebutannya hanya naik kereta saja, toh saat itu tidak semua keretanya bersumber daya listrik. Jadwalnya juga ampun-ampunan berantakan sekali. Tak percayakah ?
Jika saat itu pertama kali saya merantau ke Jakarta, kereta itu bentuknya macam-macam, dan rute jalurnya yang amburadul. Ada reguler, ada patas ekonomi, dan juga patas ekonomi AC.
Sudah begitu hanya bisa beli tiket beberapa menit sebelum kereta masuk stasiun, tiga puluh atau dua puluh menit sebelum jadwal berangkat seingat saya.Â
Stasiunnya pun masih diiisi oleh pedagang kaki lima dan ya modelan terminal. Juga tidak semua stasiun keretanya berhenti. Â Tidak ada interkoneksi yang mudah antar stasiun seperti sekarang ini.Â
Perbedaan harga KRL reguler dan yang patas juga bisa dibilang lebih mahal dari sekarang. Juga jadwal yang bisa dibatalkan tiba-tiba sungguh merepotkan.Â
Seingat saya yang Patas Bogor saja saat itu di tahun 2010 sudah menyentuh Rp 5.000 lebih dari Jakarta Kota.Â
Jangan lihat nominal itu sekarang, cek deh nominal saat UMR tahun 2010. Dari Manggarai ke Bekasi juga sudah Rp 4.000 dan kalau sudah nunggu di peron, keretanya melengos gitu saja, sakitnya bisa jadi umpatan 7 hari 7 malam.
Ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam segala hal yang menyangkut fasilitas KRL saat ini, yang juga tidak boleh ditutup sebelah mata.Â