Belajar dari sejarah memang sangat penting karena dengan itu kita bisa memperbaiki kesalahan. Keledai tidak akan (terperosok) masuk kedalam lobang dua kali kata orang Indonesia. Pengalaman adalah guru yang terbaik kata sebagian orang Indonesia. Orang Rusia bilang, orang bodoh yang belajar dari pengalaman sendiri.
Kemenangan Jokowi yang gilang gemilang di Jakarta yang tidak disangka2 memang menghentak dan menimbulkan ilmu baru dalam dunia perpolitikan tanah air, khususnya dalam pemilihan. Bahkan Polling survey menunjukkan Jokowi melesat menjadi kandidat sangat kuat capres 2014. Artinya kemenangan Jokowi dalam pilgub DKI mempengaruhi pilihan politik tidak hanya warga DKI bahkan menyebar luas sebagaimana survey.
Ada yang sangat menarik dari fenomena kekalahan Rieke (oneng)-Teten yang sering disingkat Paten.  Jakarta dan Jawa Barat adalah daerah yang berimpitan, apalagi dalam era seperti ini justru batas2 wilayah menjadi seperti hilang. Namun kampanye Jokowi untuk mendukung Paten tidak menaikkan elektabilitas calon secara signifikan. Kalau disebut naik memang naik tetapi tidak menghentak sebagaimana DKI. Sesumbar Jokowi bahwa nanti akan ada yang mengejutkan ternyata tidak terjadi. Apakah ini fenomena turunnya ‘nilai’ Jokowi dimata masyarakat ? Saya fikir terlalu terburu-buru untuk menyimpulkan sampai kesana.
Menurut hemat saya, Indonesia sangat beragam. Jabar bukan DKI. Jadi setiap daerah mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Tumbangnya kotak-kotak yang identik dengan Jokowi di berbagai daerah menunjukkan itu. Strategi mengidentikkan dengan jokowi merupakan strategi yang salah, dan anehnya diulang2 oleh calon2 dari PDIP di daerah lain. Yang terakhir tumbangnya Rieke dengan kotak-kotaknya makin menunjukkan bahwa Jokowi itu lokal Jakarta. Ikutnya Jokowi dalam kampanye Sumut bisa ditebak tidak akan efektif untuk mendongkrak suara calon PDIP. Atau dengan kata lain mencitrakan PDIP identik dengan jokowi telah gagal.
Yang saya sekarang sedang tertarik adalah bagaimana tim PKS berbuat. Jelas PDIP dan PKS punya kelebihan dan kelemahan sendiri (baca: http://politik.kompasiana.com/2013/02/24/peta-kekuatan-partai-2014-531686.html). Kelebihan tokoh di PDIP memang hampir tidak dipunyai PKS, sebaliknya tim yang solid seperti PKS juga tidak dipunyai PDIP. Artinya, tidak ada Jokowi kedua di PDIP. Kalau sekedar kotak-kotak banyak. Nah soliditas tim di PKS ini tentu saja juga punya cara tersendiri untuk selalu update strategi, benchmarking dsb sebagaimana juga terjadi di PDIP.
Seperti apakah bentuknya ? bagaimana caranya ? terus seperti apa hasilnya ? masih banyak pertanyaan yang perlu jawaban. Namun yang jelas perbedaan keadaan itu memang akan mengarah ke perbedaan cara/strategi. Kalau Jokowi dengan kemenangan fenomenal kotak-kotaknya di DKI gagal ditransfer ke daerah lain, apakah PKS akan sukses mentransfer kemenangan kancing beureum ke daerah lain ?
Mari kita tunggu hasilnya, selamat bereksperimen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H