Di tengah hiruk-pikuk industri musik Indonesia, ada satu lagu yang muncul sebagai suara perjuangan: "Di Udara" oleh Efek Rumah Kaca (ERK). Dirilis pada tahun 2007, lagu ini bukan hanya sekadar melodi yang enak didengar, tetapi juga sebuah karya yang sarat makna, terinspirasi oleh tragedi kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib. Munir, yang dikenal karena keberaniannya dalam memperjuangkan keadilan, meninggal dunia secara tragis pada tahun 2004 akibat peracunan saat dalam penerbangan menuju Belanda. Kematian Munir menyisakan banyak pertanyaan dan rasa duka di hati masyarakat Indonesia.
Â
Lirik "Di Udara" ditulis oleh Cholil Mahmud, vokalis ERK, yang dengan cermat menangkap esensi perjuangan para aktivis. Dalam penggalan liriknya, ia menuliskan:
Â
"Aku sering diancam, juga teror mencekam"
Â
Ku bisa dibuat menderita, aku bisa dibuat tak bernyawa."
Â
Lirik ini menggambarkan ketegangan dan risiko yang dihadapi oleh mereka yang berjuang untuk keadilan. Namun, ada juga semangat tak tergoyahkan yang tercermin dalam bait:
Â
Â
"Tapi aku tak pernah mati, tak akan berhenti."
Â
Melalui lirik ini, ERK tidak hanya menghormati perjuangan Munir tetapi juga mengajak pendengar untuk merenungkan pentingnya berani bersuara meskipun dalam situasi yang berbahaya.
 Â
Sebelum menciptakan lagu ini, Cholil dan rekan-rekannya melakukan riset mendalam tentang kasus Munir dan menonton film dokumenter Garuda's Deadly Upgrade. Mereka ingin memastikan bahwa setiap kata dalam lirik dapat menggambarkan realitas pahit yang dialami oleh aktivis HAM di Indonesia. Dengan pendekatan ini, "Di Udara" menjadi lebih dari sekadar lagu; ia adalah sebuah narasi yang menggugah kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia.
Â
Sejak dibentuk pada tahun 2001, Efek Rumah Kaca telah dikenal sebagai band yang kritis terhadap isu sosial dan politik. Dengan lagu-lagu mereka, ERK berusaha membuka mata masyarakat terhadap ketidakadilan yang ada. "Di Udara" adalah salah satu contoh nyata dari komitmen mereka untuk menggunakan musik sebagai alat perubahan sosial.
Â
Walaupun dua dekade telah berlalu sejak kematian Munir, perjuangannya tetap relevan. Kasusnya masih menjadi simbol harapan bagi banyak orang yang memperjuangkan keadilan dan transparansi di Indonesia. Putri bungsunya, Diva Suukyi Larasati, kini menjadi suara baru dalam perjuangan ini, menuntut agar pemerintah menuntaskan kasus pembunuhan ayahnya.Diva mengingatkan kita bahwa meskipun waktu berlalu, semangat untuk mencari keadilan tidak boleh padam. Lagu "Di Udara" menjadi pengingat bagi generasi muda bahwa perjuangan untuk hak asasi manusia adalah tanggung jawab bersama.
Â
"Di Udara" bukan hanya sebuah lagu; ia adalah panggilan untuk berpikir kritis dan bertindak demi keadilan. Melalui karya ini, Efek Rumah Kaca berhasil menyampaikan pesan penting bahwa setiap individu memiliki peran dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi ketidakpastian dan ketidakadilan, musik dapat menjadi alat yang kuat untuk menginspirasi perubahan.
Mari kita teruskan semangat perjuangan ini dan ingat bahwa setiap suara memiliki kekuatan untuk membawa perubahan. Seperti lirik dalam "Di Udara", kita semua harus berani berkata: "Tak akan berhenti!"Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H