Oleh : Fajar Kurnianto
Rhoma Irama, salah satu tim sukses pasangan calon gubernur Jakarta Fauzi “Foke” Bowo dan Nachrowi, menyampaikan pernyataan menarik, tapi layak ditanggapi secara serius: kampanye SARA dibenarkan. Intinya, kampanye apa pun yang mengusung empat isu ini, menurutnya, tidak melanggar hukum, tidak salah.
Dia pun harus diperiksa Panwaslu karena masalah ini. Pada akhirnya, setelah Panwaslu memeriksa Oma, diputuskan tidak ada unsur SARA dalam pernyataannya.
SARA
Indonesia, harus diakui, adalah bangsa yang heterogen dan multi. Baik itu multiagama, multietnis, multiras, maupun multigolongan. Ada agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu dengan berbagai aliran keagamaan dan keyakinan di tubuh masing-masingnya.
Indonesia juga mutlietnis: Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Batak, Irian, Ambon, dan seterusnya. Indonesia juga multiras; ras Melayu Mongoloid, ras Wedodid, ras Negroid, dan ras Papua Melanesoid. Indonesia juga multigolongan atau multikelompok.
Karena itulah, para pendiri Negara Indonesia membuat slogan yang dicengkeram erat-erat oleh burung garuda Pancasila, lambang negara ini: “Bhinneka Tunggal Ika”. Berbeda-beda, tetapi tetap satu: Indonesia. Beragam, tetapi tetap bersatu di bawah bendera merah putih Indonesia.
Bermacam-macam, tetapi tetap satu, di bawah payung Indonesia. Keragaman di tubuh Indonesia adalah kenyataan, tepatnya takdir yang tak bisa terelakkan.
Berada di antara pertemuan dua benua; Asia dan Australia, serta dua samudera; Hindia dan Pasifik, memungkinkan orang-orang dari seluruh penjuru bumi singgah, menetap, beranak-pinak, dan membangun komunitasnya masing-masing di sini yang bertahan hingga kini.
Keragaman bahkan sudah mendahului entitas negara bernama Indonesia. Upaya-upaya penyeragaman terbukti gagal, para pendiri Negara Indonesia tahu betul hal ini. Ketika, misalnya, sebagian pendiri Indonesia berusaha menyeragamkan Indonesia dalam ideologi tertentu, sebagiannya menolak keras dan mengancam akan keluar dari Indonesia.
Di era Orde Baru (Orba), Soeharto melakukan tafsir ulang terhadap model “kebangsaan Indonesia” yang beragam secara sempit dan bersifat mengekang, seperti dikupas Jacques Bertrand, dalam bukunya Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia (Ombak, 2012). Apa buahnya? Sejak akhir 1990-an, berbagai konflik etnis terjadi di Indonesia. Dari Aceh, Kalimantan, Maluku, Papua, hingga Timor dengan ribuan korban tewas.