Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Review Buku The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia Bagian Inroduction Karya Herbert Feith

21 Desember 2015   00:43 Diperbarui: 21 Desember 2015   00:48 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia bagian Inroduction secara garis besar membahas sejarah kemerdekaan Indonesia dalam masa sebelum kemerdekaan. Pembahasan dimulai dari masa kolonial Belanda masuk ke penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan. Feith dalam buku ini mengatakan bahwa Indonesia yang dalam bahasnya disebut Hindia, memiliki hubungan saling ketergantungan. Posisi Belanda pada masa kolonial sangatlah bergantung pada Indonesia. Ada tiga faktor yang menyebabkan ketergantungan tersebut. Pertama, secara ekonomis, sangat besar dana yang telah diinvestasikan oleh Belanda di Indonesia. Kedua, begitu banyaknya penduduk Belanda yang telah menetap di Indonesia, dan mendapatkan pekerjaan. Ketiga adalah faktor psikologis, dengan menjajah Indonesia Belanda menempati posisi keempat negara penjajah terbaesar tanpa menjajah Indonesai pamor Belanda dapat dipandang sebelah mata.

Pada bagian awal bab ini dibahas pula sejarah belanda yang datang untuk menguasai Indonesia. Selain itu ada bentuk penjajahan Belanda yang berbeda dengan negara penjajah lainya, yang mana penjajahan Belanda bersifat ekploitasi tanpa memperdulikan keadaan masyarkat pribumi. Model kolonial Belanda dengan cepat di reformasi ketika Jepang mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Feith juga mengambarkan posisi masyarakat di Indonesia pada masa pendudukan Jepang yang sudah lebih tercerahkan. Hal ini terlihat dari adanya gerakan-gerakan persiapan kemerdekaan dari para founding father kita.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia resmi memproklamirkan kemerdekaanya. Namun, bayang-bayang Belanda tidak hilang sampai disitu. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia ke II tidak hanya dijadikan momentum Indonesia untuk merdeka, namun dijadikan Belanda sebagai momentum untuk kembali menguasai Indonesia. Hal ini terwujud dengan adanya agresi militer yang dilakukan Belanda yang bekerja sama dengan pasukan sekutu. Indonesia baru benar-benar lepas dari penjajahan Belanda mulai tahun 1950. Belanda mengakui Indonesia merdeka dengan syarat bentuk negarnya Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS).

Kondisi politik masyarakat Indonesia dalam waktu dua dekade berubah derastis. Dari tipikal masyarkat kolonial menjadi masyarakat yang aktif dan lebih tercerahkan dengan politik, meskipun hal ini hanya terjadi pada tokoh-tokoh yang turut ambil peran dalam kemerdekaan Indonesia. Gejolak politk yang terjadi pada awal kemerdekaan ini diperhatikan oleh Feith. Dalam bab ini Feith mengkategorikan kepemimpinan yang terjadi di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Ada dua keterampilan, pertama keterampilan pemimpin sebagai pelaksana administrasi. Keterampilan ini biasanya digunakan untuk mengurusi segala jenis administrasi dan hubungan diplomatik serta kegiatan di luar negeri, tipikal keterampilan ini tercermin pada sosok Mohammad Hatta. Kedua, keterampilan pemimpin yang dapat menggalang rakyat untuk meminta dukungan, yang dalam buku ini Feith menyebutnya solidarity makers, dalam konteks ini Soekarno lah yang memiliki keterapilan ini.

Secara keseluruhan Feith dalam bab ini mengatakan adanya pertentangan dari dua tipe kepemimpinan yang ada di  Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Keterampilan “administrasi” dan “penguat solidaritas” tidak mampu terjembatani dengan baik pada masa itu. Perbedaan ini yang seharusnya jika dapat bersatu, Indonesia dapat menjadi negara yang perkembanganya pesat pasca kemerdekaan. Namun, yang terjadi nyatanya perbedaan ini makin menjadi dan tidak dapat dibendung. Tujuan dari kelompok yang bersifat “administratif” yang mementingkan kondisi ekonomi seharusnya dapat didukung oleh kelompok yang percaya akan “penguat solidaritas” dengan hegemoni tujuan nyata sehingga negara dapat berfokus penuh pada kemajuan.

Feith dalam bab ini juga mulai menunjukan maksud dari buku ini yang lebih mendukung pembahasan pada pemerintahan parlementer. Ide pemerintahan parlementer dikemukakan Feith yang menurutnya cocok dengan tipikal masyarakat Indonesia diadaptasi dari negara-negara Barat yang sukses menerapkan sistem ini. Sistem parlementer juga menjadi sebuah solusi dari dua tipikal pemimpin yang ada di Indonesia pada masa itu.

Pada poin diatas disini penulis kurang sependapat dengan apa yang di utarakan Feith dalam buku ini. Saya sependapat dengan ahli politk Harry Benda yang menganggap pendekatan yang digunakan Feith untuk mengatasi solusi atas permasalah politik di Indonesia pada masa itu terlalu berkiblat ke Barat. Jika kita bandingakan dengan kondisi masa kini yang mana sistem presidensial pada kenyataaanya tidak seburuk yang ditakutkan oleh para pemikir Barat. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi cocok atau tidaknya sistem pemerintahan pada sebuah negara adalah perilaku aktor tersebut dan kondisi masyarakat negara tersebut pada masa itu.

Daftar Refrensi:

Feith, Herbert. 2006. The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.

Benda, Harry. Review of Democracy in Indonesia The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia by Herbert Feith. Association for Asian Studies: The Journal of Asian Studies, Vol. 23, No. 3 (May, 1964), pp. 449-456

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun