Fajar Junaedi (@fajarjun)
Peran anak muda dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Dari era Budi Utomo, tanggal 20 Mei 1908 yang dibangun oleh anak muda bernama dr. Soetomo. Kemudian berlanjut dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 yang dari nama sumpahnya saja sudah jelas merujuk kata “pemuda”. Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang dibaca oleh Soekarno – Hatta juga tidak lepas dari peran pemuda. Jika kedua proklamator ini di masa tersebut sudah dianggap sebagai golongan tua, maka Sukarni, Chaerul Saleh dan SK. Trimurti adalah representasi anak muda yang mendorong dibacanya proklamasi kemerdekaan. Jadi proklamasi kemerdekaan yang bisa dianggap sebagai sebuah kontrak sosial dalam pembentukan negara-bangsa (nation-state) bernama Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran kesejarahan anam muda. Ketika Belanda, yang membonceng pasukan Sekutu – yang niat awalnya hendak melucuti tentara Jepang – hendak menggagalkan kontrak sosial pembentukan negara-bangsa Indonesia, anak muda yang maju ke depan menjadi martir untuk mempertahankan kemerdekaan. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, sebuah pertempuran yang secara heroik menyebabkan kematian Brigadir Jendral Mallaby dari Inggris, tidak bisa dilepaskan dari peran arek-arek Suroboyo, anak muda di Kota Surabaya yang gagah berani melawan pemenang Perang Dunia II.Sekutu yang berhasil mengalahkan Jerman dan Italia di front pertempuran Eropa dan menghancurkan Jepang di front pertempuran mematikan di Pasifik kehilangan jenderal bintang satunya di tangan arek-arek.
Subkultur arek, sebuah subkultur anak muda yang berasal dari pesisir pantai kawasan Surabaya dan kota-kota satelit di sekitarnya telah mengilhami nyali dari anak muda di Surabaya untuk melawan pemenang Perang Dunia II walaupun dengan hanya bersenjatakan bambu runcing.
Lebih dari setengah abad setelah arek-arek Surabaya mengusir pasukan Sekutu, kini imperialisme model baru dari negara-negara eks Sekutu dalam Perang Dunia II mendatangi Indonesia dalam wajah baru yang lebih ramah. Jika di masa sekitar proklamasi kemerdekaan, pasukan Sekutu datang dengan kapal perang, meriam, pesawat tempur dan senapan yang berhasil mengalahkan superioritas pasukan Jerman dan Jepang yang pada awal Perang Dunia II sangat mendominasi, maka kini mereka datang dalam artefak budaya yang tidak lagi menyeramkan. Merek-merek global, yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat, merasuki ranah budaya populer anak muda di berbagai belahan negara Ketiga.
Fenomena ini juga tidak luput terjadi di Indonesia. Artefak budaya populer menjadi kesadaran semu (false conciousness) dari anak muda di Indonesia. Salah satu medai yang berperan dalam menebar keasadaran semu ini adalah film Hollywood. Jika ditanya siapa superhero yang diidolakan anak muda, maka kemungkinan terbesar jawabannya adalah Superman, Batman, Spiderman dan Captain America. Mereka adalah karakter yang diciptakan oleh industri budaya Hollywood yang dikemas bukan hanya untuk kebutuhan keuntungan ekonomi, namun juga menanamkan hegemoni tentang kepemimpinan Amerika. Mari kita melihat dari keempat karakter tokoh pahlawan super tersebut. Pertama, keempatnya berkulit putih, sebuah penggambaran untuk memperlihatkan bahwa kulit putih adalah karakter yang layak menjadi karakter protagonis. Hampir secara keseluruhan kulit putih telah menjadi ideologi dari film Holywood, terutama film-film tentang pahlawan super. Sejak kecil, karakter seperti ini ditanamkan oleh film Hollywood yang secara jelas memperlihatkan ideologi superioritas bangsa kulit putih. Serempak pula penggambaran ini memperlihatkan bagaimana Amerika hendak mengidealkan bahwa yang ideal adalah yang berkulit putih, dengan tubuh yang berotot namun dengan wajah yang tampan ala kulit putih. Kedua, musuh dalam film Hollywood digambarkan berasal dari bangsa non-Amerika. Dalam hal ini terjadi marjinalisasi dan pembedaan bangsa kulit putih dan bangsa non kulit putih dalam kerangka oposisi biner. Kulit putih adalah pihak yang baik, dan non kulit putih adalah yang jahat. Kulit putih adalah pahlawan dan non kulit putih adalah penjahat, begitulah oposisi biner beroperasi.
Tidak hanya melalui karakter pahlawan supernya, artefak budaya dari bekas-bekas negara kolonialis berbentuk juga dalam merek-merek global yang menggeser bukan hanya merek lokal, namun juga mengenyahkan perilaku yang memiliki lokalitas yang khas. Di Yogyakarta, tradisi nongrong, ngopi dan diskusi di angkringan kini harus menghadapi kompetitor bernama KFC dan Mc Donald yang buka dua puluh empat jam sehari. Kedua merek global asal Amerika Serikat ini menggerus angkringan yang sebelumnya menjadi ruang publik untuk saling berdiskusi. Yang lebih fatal lagi, tradisi nongrong dan ngopi ini mengalami komodifikasi di tangan merek-merek global ini. Mereka menyediakan tempat nongrong bagi anak muda dengan kemasan yang terstandar secara global.
Budaya populer yang dikuasai oleh segelintir perusahaan transnasional inilah yang kini menjadi bagian dari budaya anak muda, termasuk mahasiswa di Indonesia. Mahasiswa tidak lagi berperang melawan kolonialisme yang seronok ala di masa penjajahan sebelum tahun 1945, namun kolonialisme yang dikemas secara halus melalui budaya populer. Patriotismekini pun berada di tengah aras persimpangan jalan.
Makalah disajikan untuk Diskusi Refleksi dalam Rangka Memperingati Hari Pahlawan Jumat/ 9 November 2012 yang dilaksanakan oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Fajar Junaedi adalah peminat kajian budaya populer. Mengajar di Departemen Ilmu Komunikasi UMY. Untuk diskusi bisa melalui fajarjun@gmail.com atau twiter @fajarjun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H