Mohon tunggu...
Fajar Junaedi
Fajar Junaedi Mohon Tunggu... -

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, meminati kajian di bidang cultural studies, broadcasting dan supporter studies

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sepak Bola dan Menpora Baru

25 Februari 2013   00:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:45 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Fajar Junaedi

Penunjukan menteri merupakan hak prerogatif presiden, sehingga layak tidaknya penunjukan satu individu menjadi menteri merupakan penilaian presiden. Namun, penunjukan Menteri Pemuda dan Olahraga(Menpora) yang baru, Roy Suryo menggantikan Andi Malarangeng mengundang beragam kontroversi. Salah satu kontroversi yang menyeruak adalah bagaimana kemampuan menpora dalam menyelesaikan konflik di tubuh Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Semua orang, baik yang suka sepak bola maupun tidak, sudah paham bahwa sepak bola Indonesia sedang dihadapkan dengan dualisme antara kubu PSSI di bawah kepemimpinan Djohar Arifin berhadapan dengan kubu Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI) di bawah komando La Nyalla Matalliti. Konflik yang justru semakin parah, sebagaimana yang terlihat dari terjadinya dualisme kompetisi. PSSI menggelar Liga Primer Indonesia (LPI) dan KPSI menggelar Liga Super Indonesia (LSI). KPSI dengan tegas menyatakan penolakan untuk mengirimkan pemain yang bermain di klub yang berkompetisi dalam LSI untuk menjadi bagian dari tim nasional sepak bola. Akibatnya, prestasi sepak bola Indonesia di level internasional semakin turun. Hanya Bambang Pamungkas, pemain Persija, yang bersedia bergabung dalam tim nasional kala bertanding dalam AFF Cup 2012. Indonesia, dengan stok pemain terbatas, akhirnya harus menelan kegagalan tidak lolos ke semifinal dalam AFF Cup.

Perseteruan kedua kubu sebenarnya telah berlangsung lama. Sejak era Nurdin Halid, oposisi yang menolak kepemimpinan Nurdin Halid berusaha menggulingkan rezim Nurdin Halid. Penyelenggaraan LPI di masa Nurdin Halid, yang sempat disebut sebagai breakaway league, menjadi motor untuk mendeligitimasi kepemimpinan Nurdin Halid. Akhirnya dalam kongres PSSI di Solo, pihak oposisi berhasil menggulingkan rezim Nurdin Halid.

Awalnya muncul optimisme tentang masa depan sepak bola Indonesia. Kemudian optimisme ini berubah menjadi petaka, ketika terjadi konflik di Exco PSSI. Akhirnya terciptalah dua kubu, yang masing-masing merasa menjadi otoritas sepak bola tertinggi di Indonesia. Pemerintah,melalui mantan Menpora Andi Malarangeng tidak mampu berbuat banyak untuk menyelesaikan konflik PSSI. Kebijakan FIFA yang melarang keras intervensi pemerintah dalam sepak bola semakin menyulitkan posisi pemerintah. Apalagi, menpora berasal dari representasi partai politik, dalam hal ini adalah Partai Demokrat. Latar belakang menpora yang berasal dari partai politik, rentan terhadap perlawanan kubu-kubu lain yang berseberangan dengan menpora secara politik. Pihak-pihak yang selama ini menjadi otoritas sepak bola nasional kebanyakan memiliki latar belakang politik, sehingga rentan terjadinya konflik kepentingan, antara kepentingan politik dan kepentingan olah raga.

Di masa Orde Baru, ketika kompetisi Galatama (Liga Sepak bola Utama) dilebur dengan kompetisi Perserikatan dalam kompetisi Liga Indonesia, konflik kepentingan ini mulai dengan jelas terjadi. Galatama adalah kompetisi yang diikuti oleh klub semi-profesional dengan klub peserta yang dimiliki oleh individu swasta, sedangkan Perserikatan merupakan kompetisi amatir. Bagi pejabat di daerah, klub sepak bola bisa digunakan sebagai mesin politik yang efektif dalam meraup dukungan publik. Di masa Orde Baru, pemanfaatan klub sebagai media komunikasi politik secara telak dikuasi oleh politisi yang berafilasi ke Golongan Karya (Golkar). Sampai sekarang, dominasi politisi Partai Golkar bisa dilihat dari afiliasi klub yang memilih bergabung dengan LSI. Klub-klub yang memilih bergabung dengan LSI umumnya adalah klub yang di daerah tersebut dimenangkan oleh Partai Golkar atau setidaknya politisi partai ini kuat pengaruhnya di daerah tersebut.

Selama Orde Baru nyaris tidak ada suara kritis yang menolak penggunaan klub sebagai mesin komunikasi politik oleh elit politik. Imbas dari pemanfaatan klub sepak bola sebagai mesin politik adalah runtuhnya klub-klub eks Galatama, dan semakin kuatnya dominasi klub-klub eks Perserikatan. Para politisi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk menghidupi klub dan mereka mendapatkan publisitas dari kesuksesan klub. Hanya segelintir klub Galatama yang mampu bertahan, seperti Arema, Pelita Jaya dan Semen Padang, walaupun dalam perkembangannya klub eks Galatama juga dimanfaatkan oleh para politisi, seperti Pelita Jaya yang dimiliki keluarga Bakrie dan Arema yang dipayungi oleh Rendra Krisna, bupati Malang yang aktif di Partai Golkar.

Konflik kepentingan dalam persepakbolaan Indonesia mulai terlihat pasca reformasi. Jika di masa Orde Baru, politisi yang aktif dalam sepak bola didominasi oleh politisi dari Golkar, maka reformasi mengubah konstelasi pertarungan politisi yang memanfaatkan sepak bola. Para politisi dari berbagai partai lain tergiur untuk memanfaatkan sepak bola sebagai mesin komunikasi politik yang efektif.

Partai Demokrat juga turun gelanggang dalam ranah sepak bola. Penunjukan Adjie Massaid sebagai manajer tim nasional sepak bola membuktikan hal ini. Yang tidak bisa diabaikan juga adalah kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Gelora Bung Karno untuk menyaksikan tim nasional merah putih bertanding. Kedatangan pembina Partai Demokrat ini jelas memperlihatkan keinginan politisi partai ini untuk menggunakan sepak bola sebagai kendaraan politik.

Kompetisi para politisi yang menggunakan sepak bola sebagai kendaraan politik semakin berkobar ketika media massa yang berafiliasi pada kubu yang bersengketa memanaskan situasi. Kubu LSI yang didominasi oleh politisi dari Partai Golkar secara efektif menggunakan dua stasiun televisi yang bernaung dalam kelompok usaha Bakrie, Anteve dan TVOne, untuk menyiarkan kompetisi LSI. Pembingkaian berita (framing) yang dilakukan oleh kedua stasiun televisi secara jelas memperlihatkan keberpihakannya pada KPSI. Agenda setting yang dibangun oleh media massa yang berpihak ini menjadikan opini publik semakin terbelah.

Konflik yang kian melebar antara PSSI dan KPSI menjadi pekerjaan rumah bagi menpora baru. Latar belakang menpora yang berasal dari Partai Demokrat tentu tidak mudah diterima oleh kubu yang berseteru, terutama KPSI yang didominasi oleh politisi Partai Golkar, partai yang menjadi penantang serius Partai Demokrat dalam Pemilu tahun 2014. Seiring hitung mundur menuju pemilu, pihak yang bertikai justru kian keras kepala. Menpora baru dihadapkan dengan pihak keras kepala ini. Sungguh pekerjaan yang tidak ringan.

Fajar Junaedi ( twitter @fajarjun ), dosen Ilmu Komunikasi UMY dan peminat kajian kultur sepak bola. Tulisan ini dibuat pada tanggal 14 Januari 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun