Wilayah Maluku Utara, diwakili oleh tentang Islam, sejauh ini dalam berbagai literatur, Kesutanan Ternate tampil menjadi penguasa Islam yang paling dominan di Maluku Utara, yang kekuasaannya menyebar di berbagai wilayah pulau-pulau sekitarnya, bahkan hingga ke wilayah bagian selatan Kepulauan Maluku, yang saat ini termasuk dalam wilayah administratif Provinsi Maluku antara lain meliputi Pulau Seram, Buru, Ambon, Lease dan wilayah-wilayah lainnya. Ternate dikenal sebagai pusat penghasil cengkeh, sebuah hasil dari pengembangan cengkeh yang berjalan cepat pada akhir abad XV dan XVI. Selain itu Ternate juga dikenal sebagai pusatnya Maluku. Ternate menjadi pusat kekuasaan Islam yang bertahan hingga sekarang (Handoko, 2017).
Kedatangan pengaruh Islam ke Indonesia bagian Timur, yaitu ke daerah Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas pelayaran International di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke 14, Islam datang di daerah Maluku; Raja Ternate yang ke-12, Molomateya, (1350-1357) bersahabat karib dengan orang Arab yang memberinya petunjuk dalam pembuatan kapal-kapal.
Islam datang di wilayah Ternate abad ke-15, tepatnya pada tahun 1460 M Islam mulai masuk ke Ternate. Sumber lain mengatakan bahwa raja yang pertama kali masuk Islam adalah Zainal Abidin, ada juga yang berpendapat bahwa raja sebelumnya juga sudah memeluk agama Islam, yakni bapak Zainal Abidin, yang bernama Gapi Baguna, sebagaimana yang dikatakan oleh F. Valentijn. Beliau masuk Islam karena dakwah dari seorang saudagar Jawa yaitu Maulana Husain, sehingga namanya diganti dengan Marhum (Arif, 2017).
Dalam catatan silsilah raja-raja Ternate, berikut diantaranya yaitu:
- Maloma.
- Sultan Zaman.
- Kumalo.
- Baguhu.
- Ngora Malamo.
- Masterdam.
- Sidang Arif Maamo.
- Panji Malam.
- Syah Alam
- Tolu Malamo
- Kijo Mabiji.
- Ngolo Maja.
- Momole.
- Gapi Malamo.
- Gapi Baguna I.
- Kumalo II.
- Gise.
- Gapi Baguna II
- Â Sultan Zainal Abidin.
Sultan Zainal Abidin yang mengubah agama nenek moyang (Syaman) menjadi agama Islam (Hamka, 2016: 595). Agama Islam merupakan tali-temali yang mampu menghubngkan kerajaan-kerajaan, dan manusianya didaerah itu dalam satu lingkungan kehidupan (Ali, 1963: 106).
      Ternate juga memberikan peran besar terhadap seluruh gerak perniagaan Nusantara yang terpusat di Hitu Ambon. Setelah melalui bandar-bandar (pelabuhan) Gresik, Tuban, Jepara, Demak lalu memusat lagi di Malaka dan berpadu dengan perdagangan internasional. Niaga rute Malaka-Jawa-Ternate adalah urat nadi perekonomian Indonesia. Tanpa rempah-rempah dan Maluku, Indonesia hanya menawarkan lada dan barang/binatang aneh di pasar dunia (Ali, 1963: 106). Rempah-rempah itu menggoreskan corak khusus kepada masyarakat Ternate seluruhnya. Disebabkan oleh sifat-sifat alamiah bahan pokok makanan Maluku yang semula adalah sagu, ikan basa yang tersedia di laut-laut, akan tetapi dampak dari perdagangan rempah-rempah yang hebat Kepulauan Maluku (khususnya Ternate-Tidore) dibanjiri beras dari Jawa (Ali, 1963: 105).
      Peranan penting rempah-rempah dalam perekonomian dan politik dalam kerajaan Ternate. Pada dasarnya, perdagangan rempah-rempah menghasilkan kekayaan bagi kerajaan Ternate. Namun, hal ini membuat terjadinya kekacauan politik dan menimbulkan perebutan monopoli perdagangan. Kerajaan-kerajaan di Maluku saling berperang untuk menguasai produksi dan perniagaan rempah-rempah. Perebutan perniagaan berdampak pada pecahnya hubungan politik antara Ternate dan Tidore. Namun pada masa sebelum Portugis menyerbu Maluku, perpecahan ini dapat diatasi oleh rasa kesatuan dan dipilih Hitu menjadi pusat perdagangan di Timur (Ali, 1963: 107).
      Pada tahun 1512, setelah Ternate resmi memeluk agama Isam, Portugis di Malaka mengirim armada kapal perdagangannya ke Maluku tepatnya satu tahun setelah Portugis menguasai Malaka sebagai pusat pangkalan (Loji) di Nusantara. Sebelum armada ini melakukan pelayaran, sebelumnya Portugis terlebih dahuu mengirimkan utusannya yang terdiri dari saudagar-saudagar Melayu ke Ternate untuk menyampaikan bahwa kedatangan mereka bukan sebagai penakluk, tetapi ingin berniaga secara baik-baik di Ternate. Dan mereka disambut dengan baik oleh Sultan Ternate (Hamka, 2016: 59).
      Pada masa Sultan Bayanullah ini, bangsa Potrtugis untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di kawasan Maluku, tahun 1512 M, armada Portugis sudah tiba di perairan Banda dengan kapten Antonio de Abreu. Sultan lalu mengutus adiknya dan beberapa pejabat kesultanan untuk melakukan pembicaraan dan akhirnya berhasil mengajak Fransisco Serrao, salah seorang yang ikut ekspedisi Portugis. Dalam perbincangannya dengan  Fransisco, terdapat beberapa kebijakan Sultan, yang pada perkembangannya melemahkan posisi kesultana Ternate, yaitu; pendatang dari Portugis itu diizinkan untuk membangun benteng di Ternate pada tahun 1522 M, Portugis pun membangun benteng pertamanya bernama benteng Toloko (Rusdiyanto, 2018).
Dalam masa sesudah serbuan Portugis berubah seluruhnya. Akibat dari kedatangan Portugis, berdampak pada naiknya harga rempah-rempah dikarenakan Portugis selalu berusaha untuk membeli seluruh persediaan. Oleh sebab itu sultan-sultan berlomba menjual rempah-rempah kepada Portugis. Dalam perobaan ini, Portugis mendapat tawaran untuk memonopoli cengkih dan mendapatkan izin mendirikan benteng (Ali, 1963).
      Tujuan dari kesultanan Ternate mendukung Portugis adalah untuk mengikat pembeli dan menggunakan kekuasaannya untuk bersaing dengan Tidore (Ali, 1963: 108). Dari pernyataan tersebut sudah tergambar kecakapan Sultan Ternate dalam berpolitik dan berdiplomasi. Disisi lain Portugis diperlukan sebagai pembeli yang berani membayar dan berani bertempur. Namun, Portugis dibenci dan dimusuhi sebagai musuh agama Islam yang dianggap memurtadkan kaum Islam. Portugis dianggap sebagai penakluk yang rakus, sombong dan tamak.