[caption caption="Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany. TEMPO/Dhemas Reviyanto"][/caption]
Saya akan memulai tulisan ini dengan mengutip C.A. van Peursen bahwa menulis tentang hakikat manusia tak ada habisnya.[1] Manusia makhluk unik dan dinamis. Di samping ia berada dalam struktur dunia yang melingkupinya, manusia pada dirinya selalu dalam proses mencari “jati diri”. Selama proses itu berlangsung, maka selama itu pula narasi tentang manusia tak kan pernah usai. Karena itu, berbeda dengan tulisan lain yang menutup mata mendefiniskan pelbagai dimensi hidup seseorang dengan satu cap/simpulan semata, tulisan ini hanya ingin mengangkat “satu dimensi” dari kepemimpinan Airin Rachmy Diani.
***
Bulan Oktober 2014 menjadi bulan penuh berkah bagi Kota Tangerang Selatan. Bukan karena hajatan besar yang diadakan pemerintah kota berusia enam tahun ini. Bukan pula karena adanya perayaan super meriah yang dihadiri ribuan pengunjung dalam rangka memperingati hari jadi Kota Tangsel. Pada bulan itu, pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda), Kementerian Dalam Negeri, menganugerahi predikat terbaik pertama sebagai daerah otonom baru se-Indonesia.
Tangsel dipastikan meraih predikat itu setelah berhasil mengungguli 32 daerah otonom baru hasil pemekaran tahun 2008-2009. Tangsel mendapat poin 80,5 unggul 0,1 atas peringkat kedua, yakni Kabupaten Miranti, Kepulauan Riau, dengan poin 80,4. Sedangkan peringkat ketiga diraih Kota Sungai Penuh, Jambi, dengan poin 79,0. Pemeringkatan dilakukan berdasarkan penilaian sejak tahun 2013 dan kemudian diputuskan dalam rapat Fasilitasi Pembinaan Daerah Otonom Baru Dirjen Otda.
Didapuknya Tangsel sebagai daerah otonom baru (DOB) terbaik dinilai dari beberapa indikator. Misalnya, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (PAD) yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Begitu pula Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mengalami lonjakan signifikan dalam tiga tahun terakhir. Di samping itu, program Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang diimbangi infrastruktur memadai juga menjadi salah satu pertimbangan. Semua indikator itu telah mengantarkan Tangsel sebagai salah satu DOB yang berhasil di Indonesia, serta layak dijadikan contoh bagi DOB lain.
Tentu saja semua keberhasilan itu tak didapat dengan gratis. Kerja sama antar unit pemerintah daerah, kekompakan antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), juga kerja sama antar pemerintah dengan masyarakat jadi faktor utama. Tangsel tak lagi seperti dulu di mana garis komando dan jalur koordinasi dalam unit pemerintahan kurang jelas dan tegas. Tangsel juga tak seperti empat tahun lalu di mana arah organisasi pemerintahan berjalan apa adanya. Semua serba tegas dan jelas semenjak Airin Rachmi Diany dipercaya rakyat memimpin Tangsel peiode 2011-2016.
Hari pertama menjabat Wali Kota, Airin dihadapkan pada kenyataan yang tak mudah. Ia bahkan hanya menggunakan fasilitas seadanya. Jangankan fasilitas penunjang, kantor saja masih numpang di lantai II Kantor Kecamatan Pamulang. Saat itu, di ruangannya hanya ada dua meja: satu meja ukuran 1x5 meter untuk terima tamu, meja satunya lagi tempat ia bekerja. Meski begitu, tak nampak sama sekali perasaan tak nyaman di wajahnya. Justru, semangat kian menyala kala menjawab beberapa pertanyaan wartawan tentang apa saja yang akan dilakukan ke depan.
Perlahan namun pasti Airin mulai menata Kota Tangerang Selatan yang ia sebut rumah bersama. Langkah pertama yang ia lakukan adalah menata sistem dan struktur organisasi perangkat daerah. Di sini mulai terlihat kecerdasannya meramu organisasi termasuk menempatkan orang berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Ia tak hanya melihat kompetensi, pengalaman atau prestasi, tapi juga integritas, komitmen organisasi dan impersonalitas. Ini dimaksudkan agar perangkat bawahannya nanti tak asal bekerja, tapi benar-benar bertanggungjawab memberikan layanan terbaik pada masyarakat.
Setidaknya, ada tiga hal yang selalu ditekankan Airin terhadap aparatur birokrasi bawahannya. Pertama, visi bersama (shared vision). Hampir di setiap pertemuannya dengan SKPD, ia selalu menjelaskan—juga mengingatkan—visi bersama yang harus dicapai. Visi itu sebagaimana telah ia bawa semenjak pencalonannya sebagai Walikota. Visi itu diinternalisasi ke dalam tubuh sistem sampai akhirnya menjadi kesadaran bersama untuk kemudian diperjuangkan secara bersama pula. Yaitu, sebuah visi yang bertekad memberikan dan mendekatkan pelayanan terbaik pada masyarakat demi terwujudnya “Kota Mandiri, Damai, Asri dan Sejahtera”.
Kedua, persepsi bersama (shared perception). Sebagai konsekuensi adanya visi bersama, Airin berupaya menyamakan persepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan pada bawahannya. Di setiap momen, ia memberi pandangan soal bagaimana paradigma yang harus dikembangkan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab pemerintahan. Paradigma kerja yang tak sesuai dengan upaya perwujudan visi pemerintahan diubah dan diluruskan. Termasuk dalam hal ini ialah paradigma birokrasi yang sejatinya melayani bukan dilayani, menghargai bukan ingin dihormati, juga disenangi bukan ditakuti. Melalui persamaan persepsi ini, ia berharap tujuan bersama organisasi pemerintah bisa diletakkan di atas tujuan lainnya.