[caption id="attachment_165900" align="aligncenter" width="615" caption="Poster film The Artist (film.com)"][/caption] The Artist (2011) ★★★☆ Directed by: Michel Hazanavicius Starring: Jean Dujardin, Bérénice Bejo, John Goodman, Uggie Ketika Tom Cruise membuka amplop dan membacakan pemenang Film Terbaik Oscar 2012 "And the Oscar goes to... The Artist" sontak seisi ruangan Hollywood & Highland Center bertepuk tangan. Bagaimana tidak, sejarah terulang kembali setelah 83 tahun lalu Wings memenangkan penghargaan dikategori yang sama pada saat piala Oscar dilangsungkan. Ketika akhirnya The Artist, film bisu hitam putih asal Perancis, memenangkan Film Terbaik Oscar di tengah gempuran teknologi CGI dan 3 dimensi di dunia perfilman Hollywood. Sebenarnya, kemenangan ini tidak terlalu mengejutkan, sebab sejak Mei 2011 kemarin, The Artist yang diputar pertama kali pada Festival Film Cannes 2011 di Perancis sudah berhasil mengambil hati para juri. Walaupun pada saat itu tidak berhasil membawa pulang Golden Palm (diraih oleh The Tree of Life - baca resensinya di sini), The Artist memunculkan bintang menawan internasional baru (tidak juga sebenarnya) yang bernama Jean Dujardin. Dan pada enam bulan berikutnya, tiga trio utama The Artist, baik filmnya sendiri, sang sutradara Michel Hazanavicius (dibaca [mi.ʃɛl a.za.na.vi.sjus] susah memang untuk dibaca), dan George Valentin's Jean Dujardin dihujani banyak penghargaan. Mulai penghargaan dari Festival Film Cannes, AFI, BAFTA, Golden Globes, César, DGA, PGA, SAG, dan lain sebagainya hingga pemberhentian terakhir yaitu piala Oscar itu sendiri. Apa sebenarnya keistimewaan film ini hingga mampu menyihir kritikus dan/atau publik dunia? (Saya berikan opsi dan/atau dikarenakan dollar yang diperoleh The Artist belum terlalu "memuaskan.") The Artist adalah sebuah homage pada film bisu hitam putih atau menurut sang sutradara sendiri "a love letter to cinema ... admiration and respect for movies throughout history." Sangat jarang memang ada sebuah film bisu dengan intertitles bahasa Inggris yang diproduksi pada masa kini. Saya sendiri juga bukan pecinta film bisu. Jujur, hanya sedikit film bisu yang saya tonton seperti City Lights, The Gold Rush, dan film-film pendek Georges Méliès. Dan kalau boleh dikatakan dengan sangat jujur, cerita yang ditampilkan pada The Artist tidak terlalu orisinil. The Artist bercerita tentang bintang film bisu tahun 1927, George Valentin (Jean Dujardin), yang tengah berada di puncak karirnya. Valentin memiliki segalanya hingga akhirnya bertemu dengan Peppy Miller (Bérénice Bejo) yang ternyata tanpa sengaja merubah peta perindustrian film bisu yang berganti dengan film bersuara atau yang lebih dikenal dengan era transisi. Valentin merasa tidak perlu adanya perubahan karena dia sudah merupakan seorang bintang dan orang-orang akan selalu terus mengaguminya. Hingga tebakan Valentin salah; film bersuara sukses, begitupun dengan karir Miller, dan semakin menjatuhkan karir Valentin. Akhir cerita sebenarnya sudah bisa ditebak akan seperti apa, karena memang tidak adanya yang baru. [caption id="attachment_165901" align="alignleft" width="259" caption="Gloria Swanson dalam adegan ikonik "]
[/caption] Sebenarnya ini bukanlah
homage pertama untuk sebuah penghormatan terhadap film bisu. Mungkin, yang paling banyak diingat publik adalah drama noir
Sunset Boulevard karya Billy Wilder di tahun 1950 dan musikal-komedi
Singin' in the Rain dengan bintang Gene Kelly di tahun 1952. Dengan tema yang sama, yaitu transisi film bisu ke film suara dan stardom serta keegoisan bintang film bisu Hollywood,
The Artist mencoba mengikuti langkah dua film legendaris ini dengan sama-sama mengambil perspektif produksi film Hollywood era itu. Bedanya, baik
Sunset Boulevard maupun
Singin' in the Rain menggunakan film suara dan proses dibalik layar, sedangkan
The Artist langsung dibuat secara bisu dan hitam putih bak film tahun 1927. Anehnya, baik
Sunset Boulevard maupun
Singin' in the Rain tidak mendapatkan "kasih sayang" Oscar dan kalah dan bahkan tidak dinominasikan untuk Film Terbaik Oscar. Sang sutradara sendiripun, Hazanavicius, dalam pidato Oscar-nya menyebutkan Billy Wilder dan Gene Kelly sebagai pengaruh besar film The Artist.
[caption id="attachment_165902" align="aligncenter" width="221" caption="Adegan dalam Singin"]
[/caption]
The Artist tiba-tiba datang dan memberi kejutan dengan mengisi banyak daftar sepuluh film terbaik di tahun 2011 (
daftar saya dan
The Artist tidak masuk) dan mulai dijagokan sebagai pemenang Oscar, yang ternyata terbukti. Saya yang waktu itu penasaran, baru bisa menonton film ini pada awal Januari 2012 lalu. Saat pertama kali saya tonton, saya tidak menemukan apa spesialnya film ini. Karena
homage yang ditampilkan tidak semewah yang dirincikan oleh para kritikus (haram untuk percaya pada kritikus film). Dan kebetulan, dalam waktu yang berdekatan, film
Hugo karya Martin Scorsese juga mengangkat tema yang sama, tentang penghormatan pada film bisu. Kalau boleh jujur,
Hugo puluhan kali lebih baik ketimbang
The Artist. Sehingga akhirnya saya menonton film ini lagi sebelum Oscar diselenggarakan dan masih merasakan hal yang sama. Dan masih penasaran juga, akhirnya tadi malam saya menonton kembali film ini dan tetap merasakan hal yang sama pula "apa menariknya film ini" dengan ditemani celotehan orang-orang di bioskop seperti "film apa ini?
Tom and Jerry?" dan beberapa orang yang
walkout ketika film masih diputar. Mungkin publik Indonesia belum terbiasa dengan film
genre ini. Bila dilihat dari sang sutradara sendiri, Michel Hazanavicius bukanlah sutradara yang jelek. Memang baru satu filmnya yang sudah saya tonton sebelum
The Artist, yaitu
OSS 117: Lost in Rio yang saya tonton di Festival Sinema Perancis tahun 2010 lalu. Walaupun bukan film yang bagus sekali, tetapi Hazanavicius mempunyai perspektif yang lucu dan berhasil menciptakan film parodi mata-mata ala James Bond. Juga seperti apa yang dia lakukan pada
The Artist, banyak hal-hal yang begitu otentik dengan film bisu di era 1920-an seperti kostum-kostum yang detil, set dan lokasi yang memang pernah atau ditinggali oleh para bintang film bisu (baca
di sini), tata kamera sederhana, musik yang memukau sebab musik merupakan unsur paling penting di sini (juga jangan lupa kontoversi Kim Novak yang merasa "diperkosa" oleh film ini), dan yang terpenting adalah penyutradaraan yang baik. Banyak referensi yang dipakai sehingga menjadi
The Artist enak untuk ditonton. Tapi semua keotentikan tersebut seperti menghilangkan aroma penghormatan untu film bisu dan lebih menjadikan
The Artist dan menjadikannya sebagai sebuah
gimmick saja. Fim bisu, dibuat bisu, hitam putih, dan selesai dengan sedikit pemahaman baru (seperti adegan mimpi buruk Valentin yang meghadirkan unsur suara). Dan yang paling penting adalah keberanian untuk membuat film bisu ini. Sehingga gelar Sutradara Terbaik di Oscar kemarin sepertinya sedikit berlebihan karena masih banyak yang lebih baik ketimbang dia seperti Scorsese, Malick, atau bahkan Refn yang tidak mendapat nominasi sama sekali. Sedangkan para aktor, terutama Jean Dujardin, juga berhasil berakting dengan sedikit suara dan lebih banyak bermain ekpresi. Dujardin yang lebih dikenal sebagai komedian berhasil bertransformasi menjadi aktor watak. Saya hampir kaget bahwa yang saya lihat di layar adalah sosok konyol
Brice de Nice. Jean Dujardin memang sangat berkharisma di sini walaupun sisi humoris Valentin masih terlihat. Dia mampu memperlihatkan aura bintang George Valentin tanpa berlebihan. Mungkin ini adalah pencapaian tertinggi Dujardin, sebab film lainnya yang saya tonton kebanyakan komedi konyol seperti
Brice de Nice,
OSS 111: Lost in Rio, dan
Lucky Luke. Mungkin efek karisma ini dipengaruhi oleh alis Dujardin yang
uber-seksi! Piala Oscar yang diraihnya adalah sebuah kepantasan, walaupun saya lebih senang bila Brad Pitt yang mendapatkannya. Ada sedikit lelucon sebelum piala Oscar berlangsung, bahwa ada pengandaian bila sosok Valentin tidak dimainkan oleh orang asing (dalam hal ini di luar Amerika, yaitu Perancis) contohnya Jim Carrey, mungkin pujian yang ada tidak akan setinggi ini atau mungkin tidak akan menghasilkan Oscar. Dujardin yang juga sahabat Hazanavicius sendiri, sehingga chemistry yang dibangun terlihat baik. Menarik untuk melihat kiprah Dujardin ke depan, yang bahasa Inggrisnya belum lancar dan berjanji akan selalu berkarya untuk film-film Eropa, film berikutnya berjudul
Les Infidèles tentang komedi sex. Jangan saja karirnya hancur seperti Roberto Benigni. Begitu pula Bejo, yang merupakan istri Hazanavicius mampu menghadirkan sosok
A Star is Born dalam diri Peppy Miller. [caption id="attachment_165903" align="aligncenter" width="618" caption="Jean Dujardin dalam The Artist (film.com)"]
[/caption] Kalau boleh saya bilang, kemenangan
The Artist pada Perhelatan Oscar ke-84 ini bagai dua sisi mata uang yang berlawanan. Di satu sisi baik, sedangkan di sisi lain menimbulakan banyak pertanyaan. Saya mungkin jabarkan seperti ini:
- Di sisi baik itu sendiri adalah ketika akhirnya the Academy memberikan penghargaan tertinggi untuk film asing produksi Perancis. Sebab selama ini film asing mungkin hanya menang di kategori Film Berbahasa Asing atau hanya sekedar nominasi saja, seperti Crouching Tiger, Hidden Dragon, Grand Illusion, Letters from Iwo Jima. Ini pembuktian bahwa industri film Perancis semakin kuat dan bisa saja menaklukan dunia. Sehingga memunculkan harapan, mungkin ke depan nanti akan makin banyak film-film bahasa asing yang menang Film Terbaik. Juga ketika akhirnya pihak juri memilih film berdasarkan kualitas bukan dari keuntungan dollar semata.
- Sedangkan sisi lain, kemenangan The Artist adalah sebuah gimmick belaka. Bahwa the Academy yang memang masih diisi oleh orang-orang tua, kulit putih, dan laki-laki masih berpikir konservatif (baca di sini). Terbukti selama dua tahun belakangan ini, film yang memenangkan Oscar untuk film terbaik adalah film-film tema manis yang disukai pihak juri ketimbang film pintar. Karena selalu ada perdebatan mengenai "the heart" dan "the brain" pada tiap penghargaan Oscar. Terlebih, film-film ini banyak yang mengambil tema penghormatan terhadap film lain, seperti yang dilakukan Hugo, Rango, Midnight in Paris, dan Drive. Bila The Artist menjadi yang terbaik, rasanya seperti ada udang dibalik batu. Mungkin yang harus diberikan ucapan terima kasih terbesar adalah sang raja kampanye, produser Harvey Weinstein, yang juga menjadi cermin bahwa politik masih sering campur tangan ditiap penghargaan Oscar.
Kata overrated atau berlebihan mungkin terlalu kasar untuk The Artist. Dengan 5 Oscar, Film, Sutrada, Aktor, Musik, dan Kostum Terbaik, The Artis membuktinkan bahwa diam adalah emas yang sesungguhnya. Saya masih suka dengan The Artist namun tidak sampai ke level jatu cinta. Mungkin saya lebih jatuh cinta pada musik latar yan dibuat oleh Ludovic Bource (download di sini) film ini, anjing bernama Uggie yang sangat menggemaskan dan mencuri perhatian di film ini, serta alis Jean Dujardin (lihat foto-fotonya di sini). People said "three times a charmer" (yes, I watched it three times in cinema) but I tried and 'The Artist' still didn't impress me. Tapi saya rekomendasikan untuk merasakan sensasi menonton film bisu di layar bioskop kita. (FBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Lyfe Selengkapnya