Mohon tunggu...
Fajar Billy Sandi
Fajar Billy Sandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm a hidden king of rock and roll

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"The Tree of Life" - Awal Dunia, Eksistensi, dan Tuhan dalam Kacamata Terrence Malick

12 September 2011   14:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:01 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_141504" align="aligncenter" width="535" caption="Poster"][/caption] The Tree of Life (2011) ★★★★ Directed by: Terrence Malick Starring: Brad Pitt, Sean Penn, Jessica Chastain, Hunter McCracken Terrence Malick sudah berkarir selama kurang lebih empat dekade. Namun, selama empat dekade liar tersebut, dia hanya "menyelesaikan" lima film saja. Tetapi hanya dengan lima film tersebut, publik dunia sudah dibuat takjub dan terkejut dengan berbagai karya yang Terence Malick buat (2 nominasi Oscar serta Golden Bear untuk The Thin Red Line dan Golden Palm untuk film ini). Lalu, apa sebenarnya yang membuat seorang Terrence Malick begitu spesial? Dia merupakan orang yang pemalu, film-filmnya absurd (jujur saya bukan penggemar karya-karyanya), dan tidak familiar untuk publik di Indonesia. Tapi tahun ini, dia membuat sebuah gebrakan berani dengan merilis film The Tree of Life. Ok, saya akan pelan-pelan di sini. Sudah dari awal tahun 2011, The Tree of Life melakukan promo dengan meluncurkantrailerfilmnya. Saya sendiri kagum melihatnya dan yakin bahwa film ini akan menjadi perbincangan. Lalu pada bulan Mei 2011, The Tree of Life pertama kali rilis pada Festival Film Cannes ke-64 pada seksi In Competition. Menurut informasi yang saya baca, terjadi sedikit kericuhan pasca pemutaran perdana film ini. Publik Cannes yang sangat jujur dan blak-blakan mengatakan bahwa mereka tidak suka dengan film yang diputar, tanpa rasa pamrih mereka mencaci maki film ini (get booed). Dan The Tree of Life mendapat sambutan yang mixed antara disukai dan dibenci dari para kritikus. Sampai pada malam penghargaan Festival Film Cannes, juri presiden Robert de Niro memberikan Golden Palm untuk film ini (Terrence Malick tidak datang, pengambilan Golden Palm diwakilkan). Ada sesuatu hal dalam film ini yang semakin membuat saya semakin tertarik untuk menontonnya. Saya mendapat respon negatif dari teman saya yang sudah menonton film ini terlebih dahulu di Perancis dan mengatakan bahwa "The Tree of Life ibarat perpaduan antara Discovery Channel dan renungan rohani di Minggu siang." Seburuk itukan film ini? Ini makin membuat saya penasaran hingga saya mengetahui bahwa film ini tidak didistribusikan oleh "big six studios" sehingga ada peluang untuk rilis di Indonesia. Dan benar saja, sejak pertengahan Agustus, The Tree of Life sudah rilis dalam midnight show di bioskop-bioskop. Akan tetapi saya mencari waktu yang tepat, tidak ingin menonton film ini di waktu tengah malam (banyak celotehan di Twitter yang mengatakan kalau banyak penonton yang walkout sewaktu pemutaran tengah malam film tersebut). Sehingga, akhirnya saya menemukan waktu yang tepat, yaitu Kamis tanggal 8 September 2011 untuk menonton film ini (saya menonton sore hari tapi tetap banyak penonton, sekitar 21 orang, yang melakukan walkout karena "tidak tahan" dengan film ini). Barulah saya masuk ke dalam inti resensi ini. The Tree of Life mempunyai cerita yang sangat sederhana, yang saya yakin bahwa tiap-tiap manusia di muka bumi ini sering mempertanyakan masalah ini yaitu untuk apa kita hidup di dunia ini. Pertanyaan tersebut dilihat dari kacamata Jack (Sean Penn sangat sangat sedikit mengeluarkan dialog di sini, tetapi tetap bermain apik walaupun dia sendiri tidak suka dengan film ini) dan cerita kilas balik antara hubungan dia dengan sang Ayah yang otoriter (banyak penonton Indonesia yang tertipu dengan peran Brad Pitt di sini, tetapi dia berhasil menjadi seorang ayah yang sadis), sang Ibu yang sangat konservatif (Jessica Chastain adalah aktris masa depan), dan ke dua adiknya. Alur film non-linear, sebagai penonton kita harus hati-hati untuk mengukiti rangkaian konflik demi konflik yang terjadi. Akan tetapi semua hal itu tidak menjadi masalah karena beberapa hal yang membut The Tree of Life sangat layak untuk di tonton yaitu suguhan gambar yang apik (serta akting kaliber pemainnya, terutama si kecil Hunter McCracken). Dari pertanyaan yang sederhana tersebut, kita di bawa jauh kebelakang sejak proses terciptanya bumi hingga zaman sekarang. Sama seperti 80% penceritaan tentang terciptanya bumi, ada ledakan, api, air, udara, tanah, es, dan dinosaurus. Semua itu dihadirkan dengan gambar yang teramat sangat indah oleh sinematografer Emmanuel Lubezki, musik tema yang menghasilakn simfoni indah dari Alexandre Desplat, dan editing yang tertata rapih. Hampir 85% film ini adalah gambar bukan dialog dan saya mengkategorikan film ini sebagai film puitik. Terrence Malick dengan detail memperlihatkan bagaimana bumi tercipta (banyaknya adegan dan gambar yang simbolik, favorit saya adalah simbolik ketika proses kelahiran yang benar-benar disajikan dengan indah, penuh perhitungan, dan teramat bagus sehingga membuat saya ternganga) hingga pertemuan terakhir manusia di alam barzah. Semua itu memakai kacamata yang ada di bible tetapi semua orang dari ras, agama, etnis manapun bisa menikmati film ini. Minimnya dialog pada The Tree of Life bagi saya mempunyai makna tertentu, bahwa Terrence Malick mencoba berinteraksi dengan penonton agar mereka bisa menginterpretasikan pertanyaan sederhana tentang eksistensial manusia dari cara yang paling absurd (seperti penciptaan dunia dan dinosaurus) hingga eksistensi manusia dengan manusia lain. Sebelum The Tree of Life, sudah banyak beberapa film yang menurut saya memiliki konsep seperti ini yaitu film puitik dengan banyak gamabr minim dialog seperti Wim Wenders' Wings of Desire, Gus van Sant's Last Days, Darren Aronofsky's The Fountain, dan yang paling mendekati atau sebagai cetak biru film-film seperti ini adalah film klasik Stanley Kubrick's 2001: a Space Odyssey yang kala itu juga menjadi kontroversi. Bahwa film-film ini berani keluar dari pakemnya dengan mencoba hal-hal diluar mainstream untuk menciptakan sebuah seni. Dan The Tree of Life tidak mencobanya dengan terlalu keras tetapi perlahan-lahan dalam durasi yang cukup lama (139 menit). Mungkin ini sebagai simbol dari penciptaan dan proses kehidupan yang bertahap. Banyak penonton Indonesia yang tertipu dengan film ini, karena yang ada dibayangan mereka adalah sebuah drama keluarga (saran saya sebelum menonton film The Tree of Life, cari sebanyak-banyaknya info mengenai film ini agar Anda bisa menikmatinya di bioskop). Sehingga pada akhirnya kita sendiri masih mempermasalahkan segala macam pertanyaan tentang eksistensi Tuhan, alam semesta, keyakinan, dan interaksi antar sesama manusia. Dari The Tree of Life, kita bisa banyak belajar tentang hal itu semua tanpa merasa digurui dan melihatnya dari potret sebuah keluarga. Bahwa tanpa keluarga, tidak akan ada sebuah kehidupan dan sebuah keluarga juga bisa menciptakan kematian. Untuk mencari jawaban tersebut butuh proses panjang dan penginterpretasian makna sendiri. Manusia sebagai "catur" kehidupan yang dibuat oleh Tuhan juga sering berbuat salah. Direkomendasikan. (FBS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun