Penolakkan Sastrawan terkemuka, Seno Gumira Ajidarma atas penghargaan Bakrie Award semakin menambah deretan manusia-manusia bernurani yang menolak hal yang sama. Mulai dari Romo Franz Magniz Suseno, Daoed Jusuf, Sitor Situmorang, dan Goenawan Moehamad.
Meskipun alasan penolakkan mereka tidak selalu terbuka dan blak-blakkan ke hadapan publik Indonesia, namun di hati kecil masyarakat Indonesia deretan panjang penolakkan ini sesungguhnya bagian dari aksi protes dan perasaan tidak “nyaman” karena nama Bakrie yang ada di balik penghargaan tersebut yang diasosiasikan dengan “Lapindo.”
Bagi saya, aksi penolakkan para budayawan ini merupakan sinyalemen bahwa sebagai sebagai seorang budayawan mereka adalah ikon kritik sosial yang tidak hanya dikenal dari karya-karya mereka, tetapi dari opsi mereka sendiri terhadap situasi sosial yang tidak benar, tidak adil, korup, dan represif kepada kaum yang dimarjinalkan dalam tatanan hidup bersama.
Keputusan pribadi mereka berdasarkan nurani yang diasah oleh situasi sosial negeri ini yang timpang yang di satu sisi menuai pro dan kontra, di sisi lain bagi para korban Lapindo merupakan sebuah dukungan moril, ungkapan rasa empati yang mendalam, dan rasa senasip sepenanggungan meski tidak serta merta menuntaskan kepuasan rasa keadilan mereka di negeri yang sulit memberikan keadilan bagi yang lemah, takbermodal, dan takberkuasa.
Setia pada nurani anak negeri, berarti mengalahkan popularitas semu dari penghargaan itu, demi solidaritas dengan mereka yang sejatinya telah menjadi inspirasi atas untaian kata yang pernah ditorehkan para budayawan tersebut.
Salute untuk Seno Gumira Ajidarma dan yang lainnya. Tetap jadilah pelita bagi negeri ini meski cahaya kalian tidak sebenderang lampu-lampu istana para borjuis tak berhati di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H