Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Saudara Ijal Kalbar yang mengeluhkan sulitnya mempekerjakan orang-orang lokal yang sedang HLÂ Di Sini.
Dari pengalaman pergaulan dengan masyarakat lokal di Kalbar, baik yang telah dimasuki perkebunan kelapa sawit maupun yang belum diinfiltrasi oleh perkebunan kelapa sawit saya menemukan ada beberapa faktor utama penyebabnya. Penyebab-penyebab ini tidak bisa serta-merta dianggap "negatif" dan harus dipangkas demi efektivitas dan efisiensi kinerja perusahaan.
Pertama, umumnya masyarakat lokal di Kalbar, terutama masyarakat Dayak masih melihat alam sebagai Toko Serba Ada (Minimarket), sehingga tingkat ketergantungan kepada alam sangat tinggi. Alam yang kaya dan menyediakan segala hal membuat masyarakat lokal merasa tidak perlu bekerja keras karena lauk-pauk dan sayuran bisa didapatkan dari hutan, sungai, dan danau yang ada. Karena itu, etos kerja keras yang menjadi ciri khas masyarakat industri jelas belum menjadi sebuah habitus bagi mereka. Mereka masih mengganggap alam telah menyediakan segala hal yang perlu untuk kehidupan harian mereka, sehingga mengambil seperlunya dari alam untuk kehidupan mereka tanpa merusak keharmonisannya bagi mereka adalah sebuah kearifan tertinggi. Masuknya aneka perusahaan dan industri modern yang terkadang dipaksakan kepada masyarakat lokal jelas mengganggu stabilitas pola berpikir dan pola relasi mereka dengan alam yang menjadi habitat hidup mereka. Di sini, mereka "dipaksa" agar menyesuaikan diri dengan loncatan perubahan yang terjadi. Yang namanya paksaan dari luar dan bukannya lahir dari kesadaran bahwa mereka sungguh memerlukannya pastilah tidak akan diterima dan diadaptasi dengan mudah. Mengapa? Karena sesungguhnya mereka belum siap dan dipersiapakan untuk itu baik oleh PEMDA setempat maupun oleh para investor aneka perusahan yang masuk. Orientasi kedua pihak tersebut memang bukan pertama-tama dan utama untuk memajukkan masyarakat lokal sehingga perusahaan itu datang dan dibangun di atas tanah leluhur mereka. Yang ada di benak para investor dan Pemda adalah modal, uang, dan uang. Apakah salah jika masyarakat lokal kemudian sepertinya sulit menyesuaikan diri dengan perubahan "mendadak" seperti itu?
Kedua, masih terkait dengan alasan pertama, perlu disadari bahwa umumnya masyarakat lokal (di Kalbar) sejauh yang saya kenal masih mengandalkan sistem pertanian tradisional seperti diwariskan oleh leluhur mereka dengan sistem "gilir balik." Banyak kalangan yang tidak memahami sungguh apa yang dimaksudkan dengan sistem "gilir balik" ini akan dengan mudah mengadilinya sebagai primitif bahkan ada juga yang menuduh sebagai biang deforestasi hutan tropis di kalimantan. Padahal jika mengacu pada penelitian Dr Willie Smit, sistem pertanian tradisional ini justru lebih ramah lingkungan. Mengapa? Karena dengan sistem ini, leluhur masyarakat lokal sebenarnya mempunyai kearifan agar membiarkan tanah untuk memulihkan dirinya sendiri sebelum dibuka lagi beberapa tahun kemudian. Dengan demikian, mereka tidak memerlukan pupuk kimiawi yang pada akhirnya nanti akan sulit dibaharukan lantaran juga mengandung mineral takterbarukan. Jelaslah masyarakat lokal masih akrab dengan pola pertanian tradisional yang ramah lingkungan seperti ini. Karena itu, masuknya pola pertanian industri modern semacam perkebunan kelapa sawit yang menuntut PERUBAHAN DAN PENYESUAIAN RADIKAL belum bisa mereka ikuti. Yang terjadi di sini adalah LONCATAN KUALITATIF dari pola tradisional ke pola modern tanpa melalui tahap-tahap yang berkelanjutan. Dari sebab itu, wajar jika mereka sulit menjadi profesional karena pola pikir mereka masih tradisional dan lagi-lagi dipaksa untuk meloncat ke pola pikir efisiensi dan efektif. Lagi-lagi saya berpihak kepada sikap warga lokal. Jangan salahkan mereka jika mereka belum siap untuk dipaksa meloncat terlalu tinggi menurut tuntutan perusahan atau industri modern.
Ketiga, kenapa harus sawit yang harus dibawa dan dipaksa masuk ke warga Kalbar yang nota bene sejak leluhur mereka mendiami bumi khatulistiwa tanaman sawit adalah tanaman asing. Mereka memang masih awam dengan tanaman sawit karena dalam sejarahnya, tanaman ini adalah tanaman impor. Jika ingin menyejahterahkan warga lokal, mengapa tidak membudidayakan tanaman-tanaman produktif yang memang sudah akrab dengan kehidupan mereka? Tidak bisa serta-merta mereka dipersalahkan karena untuk menanam, merawat, dan memelihara tanaman asing ini bukan perkara mudah bagi mereka. Lagi-lagi sebenarnya mereka dipaksa dan dikondisikan untuk menerima dan mencintai tanaman asing ini di bumi leluhur mereka. Pantaslah sikap ogah akan muncul karena perasaan keterasingan itu. Inilah proses alienasi yang dilakukan terhadap penduduk lokal demi jargon "kesejahteraan" bagi penduduk lokal yang terkadang jauh panggang dari api dalam kenyataan yang saya jumpai di lapangan. Jangan-jangan konsep kesejahteraan yang diusung oleh pemerintah dan investor justru bertentangan dengan konsep kesejahteraan berdasarkan kearifan lokal masyarakat adat setempat. Jika demikian yang terjadi, maka perlu duduk bersama dahulu untuk menyamakan persepsi soal ide besar dalam jargon kapitalis kesejahteraan (uang).
Keempat, berbicara tentang masyarakat lokal tidak serta merta menggunakan logika perusahaan yang hanya memandang manusia sebagai sumber atau alat produksi. Manusia lokal jangan direduksi hanya sebagai alat/sarana produksi yang bisa disejajarkan dengan mesin-mesin produksi. Mereka bukan robot yang serta-merta bisa dikondisikan untuk bereaksi dan berkinerja seturut keinginan perusahaan. Mereka manusia yang memliki kehendak bebas untuk memilih dan menentukan nasib hidup mereka. Mereka adalah manusia yang memiliki adat istidat dan kebudayaan yang tidak semuanya bisa dianggap negatif seturut alat ukur kapitalisme. Mereka memiliki rasa budaya yang terkadang dan sering kali "tidak diindahkan" oleh para penguasa dan pemilik modal. Mereka jangan dijadikan objek pembangunan, tetapi berdayakanlah mereka sebagai subjek pembangungan di atas tanah tumpah darah mereka. Menjadikan mereka sekedar alat produksi sama dengan menjadikan mereka penonton di atas tanah yang memang harus diakui secara defacto adalah warisan leluhur mereka sejak Republik ini belum terbentuk. Ini bukan soal isu sparatisme, tetapi soal menghargai dan mengakui keberadaan masyarakat lokal sebagai subjek real yang membentuk kesatuan abstrak Republik Indonesia tercinta ini. Sebab jika tidak demikian, maka yang terjadi bahwa pembangunan melalui usaha mendirikan perusahaan dan industri modern di tengah masyarakat lokal bukannya semakin memanusiakan manusia, melainkan merupakan proses dehumanisasi terhadap masyarakat lokal.
Oleh sebab itu, lihatlah persoalan ini jangan hanya dari "kaca mata kuda" perusahaan atau pihak pemilik modal, tetapi pandanglah dari sudut pandang masyarakat lokal juga. Persoalan sulitnya mempekerjakan masyarakat lokal di perusahaan kelapa sawit  tidak bisa dilihat secara pragmatis semata khas mentalitas kapitalisme, tetapi harus dilihat secara holistik dengan mempertimbangkan semua faktor karena yang anda hadapi di sana adalah MANUSIA DENGAN SEGALA PROBELEMATIKANYA dan bukan MESIN atau ALAT PRODUKSI semanta yang bisa dengan cara instan dikondisikan seperti maunya para pemilik modal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H