sumber: afandri81.wordpress.com
Ketika menelusuri kampung-kampung di wilayah perbatasan khususnya di Kecamatan Embaloh Hulu, kesan pertama yang muncul adalah sepinya penduduk dan banyak rumah yang terkunci rapat. Bahkan ada beberapa rumah yang di kolong rumahnya telah ditumbuhi aneka jenis rumput liar. Misalnya saja di kampung Pa'at, Ulak Pauk, Kelayam, Sadap, Madang, Sungai Tebelian, Apan, Laurugun, dll. Ternyata sepinya penduduk disebabkan kebanyakan penduduk merantau ke Malaysia, bahkan dengan mengajak seluruh anggota keluarganya. Selain itu, sangat sulit sekali menemukan kawula muda di kampung-kampung tersebut. Kebanyakan kawula muda yang putus sekolah dan tidak mampu melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi selalu berpikir untuk meraup ringgit di Malaysia karena akses ke sana cukup mudah.
Ironinya, tanah dan rumah mereka ditelantarkan begitu saja dan biasanya mereka akan kembali ke kampung menjelang Natal dan Paskah. Pada kedua hari raya ini, mulai bermunculan mata uang ringgit di kotak amal Gereja mulai dari angka 1 Ringgit Malaysia sampai dengan 10 Ringgit Malaysia. Bagi sebagian masyarakat di kecamatan Embaloh Hulu, Ringgit adalah solusi bagi perekonomian keluarga. Menurut kesaksian beberapa mantan pengumpul ringgit, mereka merasa terbantu secara ekonomis ketika bisa mengumpulkan ringgit meski pekerjaan yang mereka lakukan di negara tentangga adalah pekerjaan kasar yang biasanya enggan dilakukan oleh penduduk asli Malaysia. Ada juga yang bisa membiayai pendidikan anak-anaknya dengan mengais ringgit di Malaysia.
Namun tidak semuanya memiliki cerita sukses karena ada juga yang taraf kehidupannya bukannya jauh lebih baik malah semakin terpuruk. Karena ringgit yang dibawa pulang biasanya habis juga untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari selama masa cuti di kampung halaman. Mereka harus membeli beras karena mereka tidak berladang selama merantau ke negara tetangga. Adakalanya barang-barang elektronik seperti TV, HP, VCD yang dibeli di Malaysia yang sedianya sebagai oleh-oleh, terpaksa harus dijual kembali untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok.
Kisah sukses bersama ringgit biasanya dialami oleh keluarga-kelurga yang hanya mengutus bapak keluarga saja merantau ke negeri tetangga sementara istri dan anak-anaknya tetap mengerjakan ladang di kampung halaman. Biasanya suami/ayah mereka mengirimkan helaian-helaian ringgit kepada istri dan anak-anak untuk ditukar dengan rupiah sebelum sebagiannya disimpan di Credit Union (CU) Keling Kumang atau CU Tilung Jaya dan sisanya dipergunakan untuk mengupah orang mengerjakan ladang. Dengan cara ini, mereka tidak perlu membeli beras karena ladang mereka juga menghasilkan padi setiap 6 bulan sekali. Uang yang disimpan di CU biasanya digunakan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka.
Di tengah-tengah kisah sukses dan terpuruk dari keluarga para pencinta ringgit ini, yang menarik adalah ringgit tetap lebih dicintai dibandingkan rupiah. Karena bagi mereka 1 ringgit jauh lebih tinggi nilainya dibanding seribu rupiah yang tidak ada artinya sama sekali jika dibawa ke warung-warung untuk ditukar dengan barang-barang kebutuhan pokok. Karena itu, ringgit tetap dicintai dibandingkan rupiah dan akan selalu dikejar dibandingkan mencintai rupiah dengan mengolah tanah untuk ditanami karet, coklat, ataupun tanaman perdagangan lainnya. Apalagi akses ke Malaysia melalui Badau cukup mudah bagi penduduk Iban Indonesia yang memiliki kesamaan bahasa dan budaya dengan penduduk Iban Malaysia di wilayah perbatasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H