[caption id="attachment_311923" align="aligncenter" width="517" caption="Illustrasi (remotivi.or.id)"][/caption]
Isu pelanggaran HAM masa lalu menjelang lengsernya ORBA akan tetap menjadi 'momok' ketika negara tidak benar-benar serius mengungkap dan mengadili para pelaku sampai ke aktor intelektual yang sebenarnya serta ada upaya rekonsiliasi terhadap keluarga korban. Ini ibarat luka terpendam yang kalau mau sembuh harus dibuka agar nanahnya keluar, sehingga bisa diobati. Jika tidak, isu ini akan terus menjadi borok dan kutuk bagi bangsa ini. Mengapa? Karena darah para korban akan selalu berteriak lantang menuntut keadilan!
Setiap pergantian kekuasaan, sejak lengsernya rezim Orba, isu ini selalu muncul kembali ke permukaan entah disengaja ataupun tidak dengan berbagai macam kepentingan, termasuk kepentingan politik di dalamnya.
Jelang pergantian kekuasaan dari rezim SBY kepada yang baru, isu ini kembali menghangat karena ada orang yang diduga terlibat di dalam isu ini menjadi salah satu kandidat capres. Tudingan kepada Prabowo Subianto sebagai pelanggar HAM kian kencar dilontarkan dari kubu PDIP. Para pensiunan jendral yang berada di kubu PDIP menuding bahwa Prabowo Subianto terlibat di dalam persoalan ini. Bahkan dokumen negara yang bersifat rahasia beredar ke publik melalui media sosial dan media online lainnya.
Akan tetapi, kubu Prabowo Subianto pun tidak mau dikalahkan. Berkali-kali mereka selalu membantah bahwa tudingan tersebut tidak benar. Prabowo Subianto dianggap tidak bersalah sama sekali terkait pelanggaran HAM tahun 1998. Bahkan salah seorang pensiunan Jendral yang merapat ke kubu Prabowo Subianto menuding balik bahwa para pelaku pelanggaran HAM bersembunyi di balik kubu Jokowi-JK. Prabowo Subianto pun membantah tudingan tersebut dengan mengemukakan pernyataan diplomatis ketika ditanya Jusuf Kalla dalam debat capres I: 'tanyakan atasan saya!"
Sekarang, salah satu atasan Prabowo Subianto pada saat itu, Wiranto sudah mulai buka suara dan membantah tudingan Kivlan Zein sembari membenarkan bahwa Prabowo Subianto memang dipecat dengan alasan seperti yang dikemukakan dalam DKP yang terlanjur bocor ke publik.
Lantas: apakah kami sebagai rakyat biasa termasuk para keluarga korban hanya disodorkan kebenaran yang masih abu-abu dalam polemik berkepanjangan ini? Di manakah otoritas negara yang seharusnya bisa menjadi wasit dan hakim untuk menjernihkan persoalan ini agar rakyat Indonesia bisa tahu siapakah sesungguhnya yang menjadi aktor intelektual di balik pelanggaran HAM berat tersebut?
Sebagai warga negara Indonesia, kami punya hak untuk mengetahui kebenaran dari semua cerita ini. Hanya negaralah yang bisa memberikan kepastian dan kejelasan kepada seluruh warga negara Indonesia tetang semuanya. Presiden SBY tidak boleh bisu dan tinggal diam ketika isu ini terus menjadi bola panas nan liar yang bergulir di tengah masyarakat sebagai alat politik kekuasaan semata. Negara harus berani berdiri pada posisi keluarga korban dan bukan pada salah satu kubu yang sedang saling menuding untuk memperjelas kepada masyarakat Indonesia siapakah sesungguhnya yang terlibat di dalamnnya serta mengusahakan rekonsiliasi bagi korban.
Otoritas negara harus mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa memang Prabowo Subianto tidak terlibat dan tidak bertanggung jawab terhadap putra-putra bangsa yang dihilangkan secara paksa pada tahun 1998. Â Jangan membiarkan masyarakat Indonesia harus memilih kucing di dalam karung. Perjelaslah melalui mekanisme peradilan seturut hukum yang berlaku agar isu ini tidak terus menjadi borok dan momok bagi bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H