[caption id="attachment_125419" align="aligncenter" width="478" caption="Sumber Ilustrasi: mitraatefulawan.blogspot.com"][/caption]
Akhir-akhir ini saya semakin merasa miris dengan mentalitas kaum muda, terutama anak kuliahan yang berasal dari daerah (kampung). Kebanyakan bercita-cita menjadi Pegawai Negeri Sipil (pegawai kantoran) setelah lulus dan pulang ke kampung halaman. Fenomena ini semakin menguat di beberapa tempat di mana saya bekerja. Bukan berarti tidak ada yang bermental PNS seperti itu. Ada juga yang setelah menyelesaikan kuliah, berusaha berwiraswasta dan mempekerjakan banyak anak sekampungnya yang tidak sempat menikmati pendidikan sama sepertinya. Ada juga yang setelah menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar insiyur pertanian, pulang kampug, ambil cangkul, mengolah tanah, menularkan ilmunya melalui teladan bagi warga sekampungnya.
Untuk yang bermental atau berorientasi "PNS", saya mempunyai contoh. Seorang Mahasiswa, lulusan kampus swasta ternama di Pulau Jawa dengan predikat Cum Laude. Pulang kampung, bawa ijazah, tunjukkan ke orang tua, dan dipestakan oleh keluarga besar karena menjadi sarjana pertama di keluarganya. Ketika ada lowongan CPNS, ikut melamar, test dan tidak gol di tahun pertama. Sambil menunggu CPNS tahun berikutnya, kerjanya keluyuran, nyantai di rumah, diminta menoreh batang karet di kebun orang tuanya: ogah dan gengsi dengan alasan: masa sekolah tinggi-tinggi, pulang noreh batang karet sama seperti orang kampung. Setahun pertama dan kedua, dia sungguh-sungguh menjadi Pengacara alias "pengangguran banyak acara" karena di mana ada keramaian, di situ dia hadir. Baru tahun ketiga setelah kelulusannya, ia akhirnya diterima menjadi PNS. Dengan demikian, dua tahun menganggur dengan banyak acara dan harus menjadi BENALU bagi orang tua dan saudaranya. Ironisnya lagi, anak ini lulusan pertanian: masa gengsi memegang cangkul, meremas tanah, dan menggenggam pisau untuk menoreh karet? Sialnya lagi, golongan ini banyak saya jumpai di kampung-kampung di beberapa pulau di Indonesia di mana saya pernah berkarya.
Akan tetapi, saya pernah berjumpa juga dengan dua sosok yang bagi saya menjadi inspirator ulung bagaimana seharusnya menjadi seorang yang sungguh-sungguh terdidik dan tercerahkan (meminjam istilah Anhar Gonggong). Sosok pemuda pertama, seorang insiyur pertanian, lulusan IPB. Ia anak seorang petani dan bisa kuliah karena hasil keroyokan keluarga besar dengan cara arisan uang sekolah. Setelah menamatkan kuliah, pulang kampung, langsung minta bagian tanah miliknya dari bapaknya, dan mulai mengolahnya dengan ilmu yang didapatkannya. Dia mulai membudidayakan tanaman vanili, coklat, dan kopi dengan cara modern dan perlahan-lahan mempengaruhi orang sekampung untuk mengikuti jejaknya, sehingga kehadirannya perlahan-lahan menjadi virus inovasi dalam bidang pertanian bagi masyarakat baik di kampungnya sendiri maupun di kampung lain. Dia memilih untuk "menjadi penyuluh pertanian" tanpa kata, tetapi dengan kebun percontohan yang dikerjakannya sendiri. Berkali-kali ditawari untuk menjadi PNS agar menjadi kepala dinas pertanian, dia tetap menolak dan mengatakan: "sebagai insinyur pertanian, rasanya saya tidak cocok menjadi orang yang hanya duduk di balik meja dan berteori, tetapi sungguh-sungguh terjun langsung untuk bergaul akrab dengan tanah dan mengolah tanah saya yang tandus menjadi kebun percontohan bagi orang-orang di kampung." Ternyata dia sukses menjadi petani dan bahkan dihargai pemerintah setempat sebagai petani teladan karena berhasil membantu masyarakat membudidayakan vanili sampai dengan proses pengeringan serta pemasarannya.
Sosok inspirator yang satunya lagi adalah seorang sarjana ekonomi dari sebuah kampus swasta di Jogjakarta. Kuliahnya lama dan baru lulus sesudah 6 tahun menjadi mahasiswa. Bukan berarti dia bodoh. Dia harus kuliah sambil kerja dan terlibat dalam aktivitas sosial pendampingan para pemulung. Setelah lulus di tahun keenam, memutuskan pulang kampung. Setelah berada di kampung, dia mengamati bahwa belum ada yang mulai usaha pengepulan barang bekas. Berbekalkan ilmu ekonomi yang dipelajarinya dan pengalamannya mendampingi para pemulung, dia mulai membidik usaha pengepulan barang bekas dan besi tua. Awalnya, dia berkeliling dari kampung ke kampung memakai sepeda butut milik ayahnya dan mengumpulkan paku-paku bekas, panci bekas, besi tua, dan barang rombengan lainnya. Setahun pertama merupakan masa sulit baginya. Ia dicibir dan diolok oleh orang sekampung bahkan oleh teman-teman seangkatannya yang telah menjadi PNS. Masa seorang sarjana ekonomi mau-maunya menjadi seorang pemulung! Meski dicibir, semangatnya tidak memudar. Berkat keuletan dan kerja kerasnya, di tahun kedua dia bisa membeli sepeda motor, mulai mempekerjakan beberapa anak putus sekolah untuk mengumpulkan barang-barang bekas di kampung-kampung. Pada tahun yang ketiga, dia berhasil membeli mobil pick up, mendirikan bengkel las besi dan mempekerjakan 20 anak-anak putus sekolah dari kampungnya. Saat ini, rumahnya menjadi pusat pembinaan dan kursus bagi anak-anak yang kurang mampu secara ekonomi untuk melanjutkan sekolah. Baginya, ilmu harus diamalkan untuk mengangkat yang lain, yang tidak memiliki peluang untuk mengecap pendidikan tinggi agar bisa memperoleh lapangan kerja sesuai dengan keahlian praktis yang mereka miliki.
Menilik dua sosok inspitif terakhir ini, saya pun ikut berbangga karena mereka berdua menunjukkan bahwa menjadi seorang sarjana berarti belajar untuk tahu, mengerjakan apa yang diketahui, belajar untuk menjadi diri sendiri dengan mengoptimalkan seluruh potensi diri yang dimiliki, serta membagikannya secara cuma-cuma kepada orang lain sebagai sebuah amal. Mereka adalah pelaku wirausahawan yang berani melawan arus umum orang sekampungnya yang memandang menjadi PNS adalah tujuan hidup yang harus dikejar karena dinilai lebih bergenggi daripada menjadi pelaku usaha atau petani yang tangannya selalu kotor tanpa jaminan masa depan yang jelas.
Melihat tendensi mentalitas orientasi menjadi PNS setelah kuliah yang mulai merasuki kaum muda khususnya yang berasal dari daerah-daerah di mana tanahnya luas dan subur dengan rawa-rawa penuh ikan, maka setelah 66 tahun merdeka, bangsa Indonesia ini melalui lembaga pendidikan harus mulai menanamkan mentalitas wiraushawan-wirausahawati kepada generasi penerus bangsa. Daripada membebani negara dengan APBN yang kian meningkat untuk kesejahteraan PNS, mendingan generasi muda yang sedang sekolah atau kuliah mulai dibentuk untuk berani membuka lapangan kerja bagi yang lain. Sehingga tidak banyak yang harus merantau dan menjadi kuli di negeri orang. Jika sepuluh orang saja membuka lapangan kerja dan mempekerjakan 20 orang, maka semakin banyak orang yang diselamatkan karena memiliki keahlian dan perkerjaan yang cocok untuk kelangsungan hidup mereka.
Dengan demikian, bagi kaum muda masa depan, baik yang di bangku kuliah, maupun yang telah lulus dan sedang menanti lowongan CPNS di daerahnya masing-masing saat ini, sebaiknya mulai memikirkan untuk mencoba menjadi manusia yang berarti bagi yang lain bukan hanya dengan menjadi "pegawai kantoran saja."Â Merdeka bagi kita berarti merdeka dari mentalitas priyayi dan merdeka dari julukan bangsa kuli sehingga menjadi bangsa yang bisa menyediakan lapangan kerja bagi sesama, terutama yang tidak mempunyai peluang untuk studi sama seperti kita. Yakinlah: "ada kemauan, pasti ada jalan, asalkan tujuan kita mulia yakni membangun negeri ini secara bersama-sama mulai dari mengubah paradigma dan orientasi studi kita."Â *** Fajarbaru***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H