Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Media vs Pejabat Publik: Duh, Kejamnya

4 Januari 2014   16:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:09 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak bisa disangkal bahwa power media semakin diperhitungkan dewasa ini. Bahkan media cenderung menjadi ‘penguasa baru’ tanpa kekuasaan kasat mata (ibaratnya Bupati, Gubernur, Presiden), tetapi mempunyai pengaruh mengatasi lokalitas kekuasaan dalam ruang dan waktu. Power media telah mengatasi ruang dan waktu, apalagi di era teknologi informasi seperti saat ini. Menyudutkan media sama saja dengan ‘anjing menyalak, kafila berlalu’ atau ibarat ungkapan ‘anda akan seperti berteriak di ruangan hampa udara.’

Media, baik mainstream ataupun bukan, semakin menujukkan kedigdayaannya dalam mengontrol aneka kebijakkan publik. Media menjadi salah satu penjamin hadirnya roh demokrasi di sebuah negara. Karena itu, kehadiran media untuk menjamin keberlangsungan tatanan demokrasi sangatlah diperlukan dan ruang untuk itu juga semakin difasilitasi oleh hadirnya berbagai jejaring sosial dewasa ini semacam Twitter, Facebook, Google +, dan kawan-kawan sejenisnya. Melalui aneka media ini, publik, siapa pun dia, baik pewarta surat kabar resmi maupun warga biasa (jurnalisme warga) bisa melaporkan dan mengritisi aneka kebijakkan publik dari para pemimpinnya yang bertentangan dengan tupoksi maupun nurani warga.

Oleh karena itu, ruang bagi arogansi penguasa dalam memainkan dan menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya di saat masyarakat semakin diberi kanal oleh media untuk menyuarakan kritikkannya ini sebenarnya semakin dipersempit.

Tengok saja peristiwa pemukulan dengan gulungan Koran yang dilakukan oleh seorang pejabat Babel terhadap seorang pramugari sebuah maskapai penerbangan, karena tidak menerima ketika diminta untuk menonaktifkan HP-nya ketika pesawat sudah take off. Dalam waktu relatif singkat, kasus ini di-blow up media, pejabat bersangkutan di-bully abis-abisan di media baik mainstream maupun jejaring sosial (medsos). Sebalinya, sang pramugari yang menjadi korban arogansi kekuasaan pejabat yang satu ini mendapatkan simpati publik. Akibatnya, pejabat ini didesak oleh warga bukan hanya di wilayahnya tetapi dari berbagai penjuru Indonesia, agar ditindak tegas secara hukum. Hasilnya, polisi bergerak cepat menangkap dan menahannya. Instansinya pun langsung merespon dan memberikan tanggapan dengan mencopot jabatannya.

Kasus teranyar adalah (peristiwa blokade bandara?) yang dilakukan oleh Bupati Ngada, Marianus Sae. Dalam waktu relatif singkat kasus ini langsung menjadi sorotan publik, bukan hanya di tingkat lokal (Ngada), tetapi nasional bahkan juga disorot dunia internasional. Desakan publik untuk segera mengusut tindakan satpol pp dibawah perintah bupatinya untuk membokade bandara yang dianggap ilegal ini berdatangan dari mana-mana. Di berbagai jejaring sosial pun muncul hujatan terhadap tindakan satpol pp dan terutama Bupati Ngada yang dianggap telah menyalahgunakan kekuasaannya.

Apakah publik peduli dengan alasan yang dikemukan oleh Bupati Ngada? Tidak. Publik seakan tidak mau peduli dengan alasan yang katanya hal itu dibuat demi rakyat Ngada karena harus mengikuti rapat terkait anggaran. Yang publik peduli dan menjadi sorotan utamanya hanyalah bahwa Bupati Ngada, sebagai seorang pejabat publik telah menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya. Selebihnya, seolah publik mengatakan seperti orang Jakarta: emangnya gue pikirin atau meminjam tagline mop Papua yang beredar di You Tube: epen-kah, cupen-toh!

Apakah ini merupakan ‘dosa media’ dan ‘hegemoni media massa?’ Bisa ya, bisa tidak, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan apa kita melihat dan mengevaluasinya. Apakah kita bisa melawannya? Salah satunya dengan hak menjawab atau menjelaskan via media juga dan berharap publik bisa memahaminya. Lalu, apakah ada cara lain? Cara lain hanya satu: gugatlah media secara hukum jika memang dipikirkan bahwa media telah tidak berimbang dalam memberitakan suatu hal terkait kepemimpinan anda!

Akan tetapi, ada satu cara yang lebih baik, murah ongkos pada tingkat preventif yakni: kalau mau jadi pemimpin dan panutan publik, jangan bikin ulah yang aneh-aneh, jangan asal tabrak aturan, jangan menyalahgunakan kekuasaaan/kewenangan! Mengapa? Karena mata seluruh dunia sedang mengawasimu sejak anda diangkat, dipilih, dan dilantik sebagai pejabat publik! Bukan hanya mata wartawan resmi yang memang hidupnya dihidupi oleh aktivitas mengais berita, tetapi mata seluruh wargamu yang sekarang ini dipermudah oleh HP-nya masing-masing untuk berselancar di dunia maya dan bisa menyebarkan berita apa pun via jejaring sosial ke mana pun.

Pemimpin yang dianggap baik semacam Jokowi-Ahok saja masih selalu dikritik oleh warga tentang macet dan banjir yang belum sepenuhnya mereka atasi, apalagi pemimpin lain yang bukan media darling. Hal ini mau mengatakan apa? Pemimpin yang berbuat baik saja, masih bisa dikritik, apalagi kalau melakukan hal-hal yang melanggar aturan atau terkait penyalahgunaan kewenangan. Bersiap-siaplah anda untuk menjadi ‘bulan-bulanan’ media dan ‘hujatan’ masyarakat.

Apalagi ada slogan yang seolah telah menjadi konsumsi publik dewasa ini: berita buruk, adalah berita baik! Adalah sebuah kelaziman, jika kita mendengarkan berita atau membaca koran, semuanya memang didominasi oleh berita-berita tentang hal-hal buruk yang terjadi misalnya: kejahatan, perampokkan, pemerkosaan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, bencana alam, perselingkuhan publik figur, dll. Mengapa porsi media lebih besar menyoroti hal-hal buruk? Karena hal-hal tersebutlah yang dikontrol media agar diperbaiki untuk menjadi lebih baik. Selain itu, masyarakat pun sepertinya juga lebih doyan berita-berita negatif karena masyarakat juga gemas ketika melihat ada pejabatnya yang menyimpang. Lihat saja berita-berita tentang ‘skandal’ pejabat publik, pasti ratingnya naik (TV) dan jumlah hits-nya ribuan (media online).

Oleh karena itu, tidak mudah menjadi pemimpin/panutan publik dalam dunia yang seolah sudah ‘tanpa batas ini,’ dalam dunia yang telah dilipat oleh pemadatan ruang dan waktu melalui aneka media. Mengapa? Karena meskipun kita hanyalah pemimpin lokal, tetapi oleh media dan jejaring sosial setiap pernyataan, kebijakkan, dan tidakan kita ‘diawasi’ oleh banyak orang baik orang-orang yang kita pimpin maupun orang-orang yang tidak dalam lingkup kepemimpinan kita atau di luar jangkauan kekuasaan kita pun turut mangawasi. Dan melalui HP mereka bisa saja melaporkan dan menyebarkan ke dunia apa yang sedang terjadi dan dalam hitungan detik atau menit seluruh dunia pun akan tahu. Dan jika hal yang diberitakan atau disebarkan oleh wargamu itu baik dan positif maka akan menjadi berkat bagi kepempinanmu, namun jika sebaliknya maka akan menjadi ‘kutukan’ bagi kepemimpinanmu.

Kejam? Ya kejam bagi pemimpin yang memang antikritik. Jika pemimpinnya punya jiwa yang luas/hatinya terbuka, maka kritikkan sejelek apa pun akan selalu dilihat sebagai energi positif plus untuk memperbaiki diri dan kinerja kepemimpinannya.

Pemimpin yang tidak banyak berbuat ulah saja masih disorot dan dikritik, apalagi membuat ulah!, Mawas dirilah sebagai pemimpin, jangan mentang-mentang punya kuasa lalu seenaknya memainkan kekuasaan untuk tujuan apa pun. Dinsinilah letaknya ruang bagi kecerdasan spiritual seorang pemimpin. Pemimpin yang cerdas secara spiritual akan bertahan meskipun diterpa badai ktritik. Sebab, hati/nuraninyalah yang akan mengontrol pikiran, kata-kata, dan tindakkannya termasuk keputusan dan kebijakkannya. Dia tidak akan menjadi pemimpin yang bertindak reaktif dan impulsif tetapi bertutur dan bertindak secara terukur karena nuraninya bening, sebening tetesan embun di pagi hari setelah hujan.

Sederhana saja, tetapi tidak mudah: mau jadi pemimpin dan figur publik berarti harus siap dikuliti media dan warga. Agar tidak banyak dikuliti dalam arti dijadikan bulan-bulanan media dan warga: jangan bikin ulah! Karena nila setitik, bisa rusak susu sebelanga. Media dan warga lebih peka dengan ‘nila setitik’ daripada ‘susunya yang sebelanga.’

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun