Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lalang

21 Juni 2011   02:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:19 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pergilah! Pergi bersama mimp-mimpimu. Aku terlahir bukan untuk mimpi-mimpimu. Aku terlahir untuk mimpi-mimpiku. Jangan pernah berharap untuk memilikku. Aku bukan jawaban atas mimpi-mimpimu.

Ilalang. Nama yang pernah singgah di hatiku. Tapi sayang, cinta bukanlah persinggahan. Cinta adalah hidup. Kenyataan yang membuat engkau mempunyai alasan untuk hidup seribu satu tahun lagi. Cinta adalah keabadian. Setiap kali ia datang, ia akan mengingatkan kamu tentang keabadian, tentang pengorbanan. Bukan tentang saat-saat persinggahan dalam hidup.

***

Januari yang lusuh. Ketika kota sesak oleh himpitan kendaraan, manusia lalu lalang entah mereka pergi ke mana. Ia datang padaku. Membisikan kata yang telah lama di dipahatnya dalam hati. Aku telah lama memahat kata ini dalam hati, katanya. Bertahun-tahun, semenjak pertemuan kita yang pertama dan terakhir, aku melukisnya dengan tinta kesetiaan. Kalau aku datang padamu saat ini, aku hanya mau menunjukkan padamu, sudah waktunya engkau harus tahu aku memendam rindu. Begitu ia membisikan kalimat itu penuh kelembutan.

Tapi aku pergi untuk mimpi-mimpiku. Bukan untuk mimpi-mimpimu. Begitu aku menyahutnya. Aku telah berkelana jauh, melintasi gurun, padang belantara, hutan rimba untuk menggapai mimpi-mimpiku. Setiap aku melangkah, kutinggalkan jejak-jejak yang mengingatkan aku pada masa lalu. Tetapi engkau tahu, jejak-jejak itu bercerita tentang mimpi-mimpi yang telah aku lalui. Jejak-jejak itu saksi bahwa aku sedang di jalan mimpi-mimpiku melawan badai gurun, menantang binatang buas di rimba kehidupan, dan menghembus nafas bersama ilalang di padang. Dan engkau memintaku meninggalkan itu semua? Tidak! Tidak! Masih banyak mimpi yang belum aku rajut di bawah semesta ini. Aku akan terus di jalanku. Mimpi kita berbeda. Engkau akan lebih berbahagia di jalan mimpimu.

Mendung di matanya menebal mendengar sahutku. Tampaknya ia kecewa. Aku tahu ia amat kecewa. Bahasa tubuhnya tidak dapat menyembunyikan apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Bahasa tubuhnya berbicara tentang kepedihan yang amat dalam.

Ia menatapku dengan mata kecewa, tak mengira mendengar jawaban seperti itu. Aku telah meninggalkan segala-galanya, orang tuaku, saudaraku, tanah warisan kedua orang tuaku. Dan aku mau mengikuti-Nya.

Lalu, apakah engkau akan meninggalkan aku juga? Sahut perempuan bermata indah di depanku. Aku tidak menjawabnya seketika. Aku menunggu saat yang tepat, saat di mana ia siap untuk mendengar keputusanku. Dunia kita terlampau berbeda. Kita terlahir untuk mimpi-mimpi kita masing-masing. Aku terlahir untuk mimpi-mimpiku. Engkau juga terlahir untuk mimpi-mimpimu. Yang Ilahi memahat dalam hatiku sesuatu yang istimewa bagiku. Dan ia melakukan hal yang sama untukmu.

Engkau belum menjawab pertanyaanku, sahutnya dengan nada kian menyayat. Aku membiarkan emosinya mengalir. Aku tidak akan menyiramkan bensin ke tengah api. Itu berbahaya. Aku berdiam, mencoba menenangkan dirinya yang semakin gusar. Pada waktunya kita akan dihadapkan pada dua pilihan, tetap berada di dunia atau lari darinya? Aku mempunyai opsi pertama. Tetap berada di dunia. Dunia ini indah walau ia seringkali tidak menghiraukan kepedihan kita.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun