[caption caption="Foto Headline Harian Pos Kupang, Minggu 11 Oktober 2015"][/caption]
Sabtu, 10 Oktober 2015 lalu, sebuah pemandangan tidak lazim dan mengharukan terjadi di Gereja Seminari tinggi Ledalero. Hari itu ada pentahbisan 11 orang Diakon yang telah menyelesaikan studi Filsafat dan Teologi menjadi imam Serikat Sabda Allah. Dari barisan para diakon yang biasanya didampingi kedua orang tuanya masing-masing, terlihat sosok seorang wanita paruh baya berjilbab hitam. Dialah Siti Asiyah, Ibunda kandung Diakon Robertus B Asiyanto, SVD yang lazim dipanggil Yanto.
Dengan langkah pasti Ibu Asiyah mengiringi anaknya menuju altar suci untuk ditahbiskan sebagai imam dalam Gereja Katolik oleh Uskup Agung Ende Mgr Vinsetius Sensi Potokota Pr. Puncak keharuan terjadi tatkala sang ibunda tercinta menumpangkan tangan di atas kepala Diakon Yanto untuk mendoakan sekaligus tanda pemberian restu kepada anaknya untuk menjadi seorang imam dalam Gereja Katolik.
Dukungan Ibunda Asiyah atas pilihan hidup Pater Yanto (sapaan resminya saat ini) sudah dimulai sejak Pater Yanto memilih untuk menjadi Katolik ketika ia duduk di bangku SLTP. Ibunya membiarkan Pater Yanto kecil memilih yang menurutnya terbaik untuk kehidupannya. Dukungan sang ibu pun tetap diperlihatkan ketika Pater Yanto menyatakan niatnya melanjutkan pendidikannya ke Seminari Menengah Santo Paulus Labuan Bajo yang merupakan tahap pendidikan pertama bagi seorang calon imam Katolik setingkat SMU.Â
Setelah empat tahun menempuh pendidikan calon imam di seminari menengah, Pater Yanto memutuskan bergabung dengan Serikat Sabda Allah, sebuah tarekat religius dalam Gereja Katolik yang didirikan oleh Arnoldus Yansen. Ia resmi disebut sebagai Frater atau calon imam SVD sejak ia memasuki masa novisiat. Selama kurang lebih 8 tahun digembleng dalam pemahaman terhadap spiritualitas tarekat, pemahaman filsafat, Kitab Suci, dan Teologi sebelum akhirnya ia ditahbiskan sebagai seorang imam.Â
Hal ini tidak berarti bahwa perjalanan Pater Yanto untuk menjadi imam mengalir lancar. Pater Yanto sempat memilih untuk istirahat sejenak di luar biara sebelumnya. Namun, berkat dukungan, dorongan dan motivasi Sang Ibunda, ia pun bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya.Â
Kehadiran dan motivasi Sang Ibu menguatkan perjalanan panggilan Pater Yanto. Puncak dukungan Sang Ibunda terjadi ketika ia merestui putra satu-satunya ini untuk menjadi seorang imam dalam acara pentahbisan tersebut.Â
Apa yang diperlihatkan oleh keluarga Pater Yanto sangat menyentuh hati. Pertama-tama bukan lantaran pater Yanto berpindah keyakinan dan menjadi imam Katolik, tetapi bagaimana sikap Sang Ibu yang menghormati keputusan dan pilihan hidup anaknya. Ketika pada satu titik Pater Yanto memutuskan untuk berbeda keyakinan dengan Ibu dan saudari-saudarinya, Sang Ibu menghargai keputusan itu.Â
Mereka tetap memperlihatkan perbedaan keyakinan dalam sebuah keluarga adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak dan jika hal itu terjadi, maka sikap yang terbaik adalah saling mendukung. Karena mereka melihat bahwa perbedaan keyakinan bukanlah alasan untuk tidak bisa rukun, damai dan toleran.Â
Dan sesungguhnya, itulah wajah keindonesiaan kita yang faktanya berbeda-beda, tetapi tetap satu.
Selamat berbahagia untuk Pater Yanto SVD dan salut untuk Ibunda Asiyah