Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Bukan Dewa, Tapi Jongos Rakyat

15 Agustus 2013   07:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:17 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13765293041909255535

[caption id="attachment_259677" align="aligncenter" width="614" caption="Antologi Kerinduan Rakyat Hadirnya Presiden Jongos "][/caption]

“Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya."

Ketika diwawancara oleh Andi F. Noya dalam acara Kick Andy beberapa waktu lalu ada sebuah pernyataan dari Butet  Kertadjasa yang cukup menohok. Andy mempertanyakan mengapa sebagai jongosnya ndoro dalam lakon Sentilan-Sentilun, Butet selalu mengenakan seragam PNS yang kesannya jadul dan katrok. Menurut Butet, pakaian yang dikenakannya merupakan bagian dari parodi untuk mengingatkan bahwa seorang PNS adalah seorang jongos, seorang hamba, seorang pelayan masyarakat.

Pada dasarnya memang demikian. Seorang PNS, apalagi seorang pejabat publik yang dipilih dan digaji oleh rakyat adalah jongos. Namun, kenyataan hidup sehari-hari sering mempertontonkan lakon sebaliknya di mana seorang pejabat publik bukannya bertindak sebagai jongos masyarakat, melainkan menjadi bos, tuan, raja, yang harus disembah-sembah oleh tuannya atau rakyat yang memilihnya.

Gaya hidup borjuis dan aristokrat yang lazim dipertontonkan oleh para para pejabat publik yang seperti 'kacang lupa kulit' semakin membuat masyarakat skeptis: apakah ada pemimpin negeri ini yang bisa memahami dan melakoni fungsi sejatinya sebagai jongos bagi masyarakat?

Di tengah skeptisisme massal yang kian memuncak ini tiba-tiba muncul sosok yang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mulai dirasakan mewakili fungsi jongos dalam kepribadian dan gaya kepempinannya. Dia tampil sederhana, plastis, apa adanya, natural, dan terkesan jujur/polos dalam kata dan tindakan. Kesederhanaan yang ditampilkannya oleh nurani rakyat yang jujur memang membekaskan kesan bahwa dia tidak sedang bersandiwara/berakting demi menuai citra positif untuk sebuah kursi kekuasaan. Kesederhanaan memang menjadi bagian dari rekam jejak hidupnya yang takterbantahkan.

Kesederhanaan memang sudah menjadi latar belakang kehidupannya. Ia pernah mengalami semua level kehidupan dan pernah merasakan sulitnya menjadi masyarakat biasa, masyarakat kecil. Latar belakang keluarga sederhana yang menuntutnya berjuang ekstra keras "memperbaiki nasib" membuatnya tahu apa artinya menjadi bagian dari orang kebanyakan, menjadi bagian dari rakyat pemilihnya. Dia bukanlah anak yang terlahir dari keluarga borjuis yang semuanya serba ada ketika dilahirkan dan dibesarkan. Dia bukanlah anak gedongan yang lahir dan dibesarkan dalam dinasti politik. Karir politiknya merangkak dari bawah, dari pentas lokal menuju pentas nasional tanpa melewati jenjang karier dalam sebuah partai politik.

Kesederhanaan juga tampak dalam gaya kepemimpinannya: blusukan. Benar bahwa blusukan sudah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin lain sebelumnya. Tetapi blusukan -nya tetap terasa bedanya. Kata ndeso dan katrok ini justru menjadi tenar oleh-nya seolah-olah dia sebagai inisiotor satu-satunya. Meski dikritik, ia tidak menyerah untuk terus blusukan karena itulah gaya kepemimpinnya yang bertujuan memutuskan mata rantai birokrasi berbelit antara rakyat dan pemimpin, antara eksekutif dan konstituen. Ia ingin melihat langsung, mendengarkan langsung, dan mengalami langsung apa yang paling dibutuhkan rakyatnya. Karena itulah ia dinantikan, dicintai, dan didekati oleh rakyatnya. Ia  dielu-elukan, meski mungkin saja ia pun tidak ingin dijadikan demikian oleh rakyatnya.

Semuanya itu mau mengatakan bahwa ia memang ingin mengembalikan fitrah kepemipinan pada tempatnya. Bahwa menjadi pemimpin pada hakekatnya menjadi pelayan bukan raja, menjadi jongos dan bukan tuan besar, menjadi pekerja dan bukan politikus omong doang. Inilah hakekat pemipin-pelayan, pemimpin yang melayani dalam kesederhanaan.

Kehadirannya menjawab apa yang sesungguhnya paling dirindukan mayoritas rakyat negeri ini. Kehadiran sebagai sosok jongos atau pelayan yang dekat dengan rakyat kecil, selalu tampil informal, praktis, tidak banyak bicara tetapi lebih banyak berbuat, sederhana, berpikir dan bertindak efektif dan efisien tanpa birokrasi berbelit, bermental “wong cilik” langsung membetot hati masyarakat Indonesia tanpa pandang suku, agama, dan budaya.

Figurnya yang terbukti dari rekam jejaknya selama ini langsung menyingkirkan sekat-sekat primordialisme yang sering dimainkan di pentas politik negeri ini. Keberdaannya saat ini mampu menjawab apa yang sesungguhnya sangat dirindukan oleh masyarakat akar rumput di negeri ini. Dialah tipe pemimpin pelayan, yang menjadikan kekuasaan bukan tujuan tetapi sekedar alat untuk melayani kepentingan bangsa dan segenap rakyat yang mereka pimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun