[caption id="attachment_183724" align="aligncenter" width="550" caption="Ilustrasi: Para Wanita Ngada-Bajawa-NTT dalam Balutan Busana Adat Untuk Menari Jai"][/caption]
Klaim-klaim Malaysia atas warisan budaya para leluhur bangsa selama ini sampai dengan yang paling hangat dibicarakan masyarakat Indonesia di mana-mana yakni Tor-tor seharusnya menjadi peringatan bagi rapuhnya pemerintah bangsa ini melindungi, mengamankan, dan memberikan apresiasi atas segala bentuk warisan budaya setiap suku bangsa di negeri ini. Berkali-kali, kita hanya bisa bereaksi atas tindakan penglaiman secara sepihak dari Malaysia. Namun apakah kita hanya bisa bereaksi terus-menerus.
Tindakan Malaysia yang berkali-kali melakukan hal yang sama seharusnya membuka mata hati kita bahwa, karena kita dianggap rapuh, maka mereka bisa sewenang-wenang menglaim kebudayaan leluhur kita sebagai kekayaan budaya mereka. Kerapuhan dan kelemahan inilah yang terbaca oleh pihak Malaysia.
Untuk itu, yang diperlukan bukanlah reaksi secara terus-menerus, tetapi sebuah tindakan proaktif untuk menginventarisasi segala kekayaan budaya kita yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan dipatenkan sebagai kekayaan budaya Bangsa Indonesia.
Mungkin selama ini bangsa ini hanya melihat dan mengandalkan perekonomian dan pembangunannya dari Sumber Daya Alam (SDA) yang dikeruk dari dalam tanah, laut, air, hutan, dll, yang semuanya akan habis. Sekarang ini waktunya segenap masyarakat Indonesia yang sungguh-sungguh mencintai budaya daerahnya sendiri untuk mulai melihat bahwa masih banyak Sumber Daya Kultural (SDK) yang bisa kita gali, angkat, dan apresiasi untuk melestarikannya serentak darinya bisa menjadi salah satu sumber devisa utama bagi daerah dan negara. Jangan terlalu fokus dan mengandalkan SDA karena sifatnya yang terbatas. Mulailah fokus menggali dan menghidupkan SDK, serta bila perlu menjadikannya komersil dan punya nilai jual entah melalui festival budaya, gerakan menggunakan busana-busana lokal di berbagai lembaga dan instasi untuk menghargai usaha tenunan dan kerajinan batik ibu-ibu di daerah, memasarkan produk-produk kerajinan tangan kita ke tingkat dunia, dll.
Namun sebelum itu, kita perlu menginventarisasi apa saja kebudayaan kita di tiap daerah kita masing-masing misalnya: pakaian adat/tradisional; alat musik beserta aneka jenis tariannya; hukum dan pranata adat; aneka sastra lisan/tulisan tentang genealogi suku; pepatah-pepatah/nasihat bijak leluhur; dll. Dari semua hal tersebut, mana di antaranya yang masih hidup dan diapresiasi di setiap daerah? Atau mungkin saja yang sudah diangkat dan dikenal di pentas nasional dan dunia? Mana yang masih tenggelam bahkan mungkin sudah menjadi artefak bagi generasi muda?
Sepertinya di tengah impian untuk menjadikan semua khazanah budaya di setiap daerah semakin dikenal luas, bangsa kita juga harus mengalami tantangan dari dalam diri generasi muda kita sendiri. Hampir bisa diyakini bahwa sebagian besar generasi muda di setiap daerah, pada saat ini tidak mengenal sungguh budaya sendiri. Banyak yang tidak tahu bagaimana cara mengenakan pakaian adatnya sendiri dalam seremoni-seremoni adat. Banyak yang tidak lagi pandai memainkan (menabuh/memetik/memukul) alat musiknya sendiri. Lebih banyak lagi dari antara generasi muda di setiap daerah yang mungkin saja tidak tahu nama dan bagaimana gerakan tarian adatnya masing-masing. Hal ini patut menjadi sebuah keprihatinan bersama. Siapa lagi yang bisa menghargai dan meneruskan warisan kebudayaan leluhur dari masing-masing daerah kalaau bukan generasi penerusnya?
Saya salut dengan salah satu usaha dari sebuah Sekolah Dasar Inpres di Kabupaten Ngada yang memutuskan untuk mengajarkan kebudayaan Bajawa di dalam MULOK (Muatan Lokal) bukan teorinya saja, tetapi langsung dengan praktiknya. Di dalam pelajaran MULOK Â tersebut, para guru menggandeng para tokoh adat sebagai pengajarnya. Berangkat dari keprihatian sulit sekali mencari generasi muda yang bisa membunyikan alat-alat musik untuk Tarian Ja'i, para guru mengundang orang-orang tua yang pandai menabuh gendang dan memukul gong untuk melatik anak-anak SD agar mereka bisa memainkan alat-alat musik. Demikianpun dengan tarian daerahnya teruma tarian Ja'i. Anak-anak SD dilatih untuk bisa menari Ja'i sejak masih di bangku sekolah agar mereka tidak hanya mampu berdugem ria dengan lagu "kucing garong." Untuk alat musik dan pakaian adat bagi kegiatan latihan ini menjadi inventaris sekolah yang dibeli melalui dana operasional sekolah. Selain itu, anak-anak SD juga diajarkan mengenai pepatah-pepatah leluhur yang kosa katanya memang jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Di sini, mereka mulai diperkenalkan dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh leluhurnya sendiri. Banyak pesan moral tentang relasi dengan alam, sang pencipta dan dengan sesama yang terkandung dalam pepatah leluhur.
Usaha para guru SD ini, pada hemat saya, merupakan sebuah terobosan baru dan inovatif untuk membantu anak-anak Bajawa sejak usia dini mengenal khazanah budayanya sendiri, jati diri budayanya sendiri, sebelum mereka melangkah ke luar dan bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan lain di sekitar mereka. Terutama para murid sudah dipersiapkan dengan nilai-nilai budayanya sendiri sebagai filter ketika berhadapan dengan nilai-nilai kebudayaan pop yang mengglobal dan menyusup masuk ke dalam kesadaran mereka via HP, televisi, internet, radio, media massa lainnya.
Cara-cara baru untuk memperkenalkan dan mewariskan dan melestarikan kebudayaan setiap daerah seperti ini merupakan sebuah langkah positif. Akan semakin berdampak luas apabila upaya promosi seperti ini menjadi kebijakan bersama di setiap pemerintahan daerah. Saatnya sekarang, setiap pemerintah daerah berusaha menggali segala kearifan lokal yang ada, sebagai sebuah Sumber Daya Ekonomi yang tidak kecil jika mampu dijadikan bernilai jual tinggi kepada masyarakat Indonesia dan kepada wisatawan yang berkunjung ke masing-masing daerah. Jadikanlah khazanah kebudayaan di masing-masing daerah sungguh-sungguh "go international" demi kelestarian dan perkembangannya. Jangan terlalu terpaku dengan potensi SDA-nya saja yang cepat atau lambat akan habis dieksploitasi dan dieksplorasi.
Oleh karena itu, sepertinya negeri ini perlu "pertobatan nasional" untuk lebih menggalakan rasa cinta kepada kebudayaan sendiri di masing-masing daerah. Rasa cinta ini bisa dipupuk dengan usaha mengenal lebih baik aneka jenis kebudayaan kita dan bila perlu menjadi pelaku kebudayaan itu sendiri. Tujuannya, agar kita, generasi muda tidak justru merasa terasing dengan kebudayaan daerah kita masing-masing. Giliran diklaim oleh negara lain, baru latah mencaci maki beramai-ramai secara reaktif tanpa introspektif.