Mengenangkan masa-masa di kampus, selalu muncul keinginan untuk kembali mengulanginya lagi. Tetapi hal itu tidak mungkin dan sangat tidak realistis. Yang paling mungkin adalah mengumpulkan kembali memori masa lalu untuk menjadi sebuah kisah yang membentuk benang merah hidup saat ini. Ada sebuah kisah yang bagiku sangat membekas yakni kisah sahabatku.
Sahabatku, sebut saja bernama Igo, seorang yang sangat cerdas, tetapi dari keluarga petani dengan penghasilan musiman. Salah satu komoditi andalan ayahnya di kampung untuk menghidupi keluarga adalah kopi. Mereka mempunyai perkebunan kopi yang cukup luas. Meski demikian, penghasilan dari kopi juga tidak seberapa karena harganya juga tidak stabil, tergantung kehendak para tengkulak. Selain itu, kopi hanya dipanen dua kali dalam setahun dan terkadang hanya sekali dalam setahun. Dengan demikian, ayahnya harus banyak berhutang untuk kebutuhan hidup anggota keluarga yang lain, jika penghasilan dari penjualan kopi hanya diperuntukan bagi biaya perkuliahan Igo.
Oleh karena itu, Igo harus pandai-pandai mengatur kiriman bulanannya yang terbatas sebijaksana mungkin untuk segala macam jenis pembayaran berkaitan dengan kuliah dan juga biaya hidupnya di Kota Bandung yang cukup mahal untuk ukuran orang kampung, dari pedalaman luar Jawa. Selain itu, ia juga tidak malu ketika diminta kawan-kawannya di kampus untuk mengerjakan tugas-tugas mereka dengan sekedar traktiran makan siang atau pun uang saku seperlunya. Intinya, semua peluang halal yang menghasilkan tambahan uang sakunya, pasti tidak disia-siakannya, langsung diembat.
Suatu ketika, Igo yang biasanya selalu tampak ceria berubah menjadi sosok yang pendiam dan sulit diajak bicara. Pasalnya, udah tiga bulan tidak ada kabar berita dari ayahnya di kampung dan berarti selama tiga bulan ayahnya tidak mengirimkan uang. Empat pucuk surat telah dilayangkan Igo ke rumah (waktu itu signal dan HP belum ada), tetapi tidak satu pun dibalas.
Suatu siang, ia mendapatkan ide. Setelah ditraktir makan siang oleh seorang sahabat, ia meminjamkan lembaran uang Rp 50.000. Sahabatnya mengiklaskannya saja dan bahkan memintanya untuk tidak menggantinya kembali. Dia mengambil lembaran Rp 50.000 dan langsung menuju ke tempat foto copi. Betapa terkejutnya kawan-kawannya, yang masing nongkrong di kantin kampus. Pasalnya, ia kembali sambil membawa setumpuk lembaran foto copian uang Rp 50.000 dan sebuah envlope gede. Diambilnya selembar foto kopian uang yang sengaja tidak dikopi satu sisinya saja dan menuliskan kalimat singkat:
"Ayahnda yang tersayang, ini foto copiannya, dan anak tunggu aslinya"
salam dan doa
ananda
Igo.
Setelah menuliskannya, lembaran yang berisikan tulisan diletakan di tumpukan duit kopian paling atas dan dimasukan ke dalam envlope. Lalu, ia menuliskan alamat dan pamit ke sahabat-sahabatnya ke kantor pos di pusat kota.
Sebulan kemudian Igo menerima paket balasan dari ayahnya. Betapa terkejutnya Igo karena isinya setumpuk foto copian bungkusan Extra Joss. Dan pada lembaran terdepan tertulis pesan singkat: