Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Di Perbatasan, Banyak Rakyat Belum Merdeka dari Buta Huruf

6 April 2011   13:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:04 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersama Anak Dayak Punan Penghuni Hulu Kapuas (dok.Pribadi)

Dalam sebuah kunjungan ke perkampungan Suku Punan yang berdiam di Hulu Sungai Kapuas, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tepatnya di Kampung Bu’ung dan Belatung, saya dihentakkan oleh sebuah kenyataan miris yang menohok rasa keadilan saya sebagai anak bangsa. Kedua kampung ini merupakan kampung perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Timur (Bu’ung) dan Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah (Belatung). Untuk mencapai kedua kampung ini, dibutuhkan 2 hari perjalanan menyusuri alur Sungai Kapuas dengan menggunakan perahu panjang yang ditempeli mesin 15 atau 40 tenaga kuda. Dua hari perjalanan ini dihitung dari Kota Putussibau, Ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu.

Perjalanan ke Hulu Kapuas tidak bisa dibilang mudah. Kita harus menakhlukan berbagai riam yang ganas misalnya: riam Benda, riam Hororoi, riam Batu Lintang dan riam Bakang. Di sisi kiri-kanan Sungai kita hanya melihat rimbunan hutan sisa-sisa penebangan liar yang diekplorasi sejak tahun 1980-an. Sekali-kali kita akan melihat celeng, rusa, atau monyet di pinggiran sungai. Untuk mencapai kampung Bu’ung, kita harus mendaki bukit dan menyebrangi satu anak sungai Kapuas. Dengan demikian, setelah seharian perjalanan, perahu harus dilabuhkan di Desa Tanjung Lokang dan bermalam di sana. Keesokan harinya, perjalanan ke Kampung Bu’ung dilanjutkan dengan menelusuri jalan setapak, melewati rawa, sungai-sungai kecil, titian kayu, mendaki 2 bukit, menuruni lembah terjal, dan menyebarangi Sungai Bu’ug sebelum masuk ke tengah kampung.

13020906031913911450
13020906031913911450

Masyarakat yang mendiami kampung ini berjumlah 103 jiwa, masuk dalam rumpun Dayak Punan. Kehidupan mereka boleh dikatakan sangat sederhana. Tinggal di rumah-rumah papan dengan ukuran kecil. Mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan makanan dan buah dari tengah hutan, berburu, serta berladang seadanya. Satu-satunya yang menghubungkan mereka dengan dunia luar adalah televisi milik Pak Dusun yang dinyalakan dengan menggunakan genset pada pukul 19.00-22.00 malam, jika masih ada bensin yang dibeli dari Putussibau.

Menurut kesaksian Pak Dusun, dari 103 jiwa penduduk warganya, hanya dialah yang bisa membaca dan menulis karena sempat merantau dan sekolah di kota meski tidak sempat menamatkan SD. Lalu selebihnya? “Warga saya tidak jauh berbeda dengan monyet yang ada di hutan: dilahirkan, dibesarkan, dan kawin. Tidak ada impian lain selain itu,” ujar Pak Dusun. Bagaimana mereka bisa mempunyai impian lain, jika gedung sekolah dan guru-gurunya tidak ada? Semua anak yang seharusnya duduk manis di kelas menyimak pelajaran guru, setiap hari pekerjaannya menyelam ikan atau membantu ayah-ibunya mencari buah dan sayuran di hutan. Dan jumlah mereka tidak sedikit.

Pak Dusun pun berkesah bahwa mungkin pemerintah mengganggap mereka bukan warga negara Indonesia, sehingga mereka tidak diberikan fasilitas pendidikan dan guru.

Kenyataan yang sama juga dapat ditemukan di kampung Belatung bahkan jauh lebih parah, karena medan ke sana jauh lebih sulit.

Kerinduan untuk sekolah agar bisa bebas dari buta huruf ada di hati mereka, tetapi siapa yang berani menantang medan yang sulit untuk mengabdi di sana? Jika pemerintah belum sanggup menyediakan fasilitas pendidikan dan guru bagi mereka, diharapkan ada kawula muda sebangsa yang hatinya seperti Butet Manurung, bersedia mengorbankan diri memerdekaan mereka dari belenggu buta huruf.

Ironinya, kekayaan alam di sekitar mereka berlimpah ruah: hutan yang lebat dengan kayu-kayu kelas 1, sungai dengan kandungan biji-biji emas. Tetapi bukan mereka yang menikmatinya melainkan para pendatang dan investor. Sumber daya alam boleh kaya, tetapi sumber daya manusia nol. Apa yang bisa mereka buat dengan kekayaan alam yang berada di sekitar mereka, jika untuk membaca dan menulis saja mereka tidak mampu? Siapa yang salah? Nasib? Peruntungan? Pemerintah? Ataukah saya, anda, kita, mereka? Saya hanya nitip pesan kepada Pak Presiden: citra dirimu bukan ditentukan oleh hal-hal remeh-temeh dan tidak substansial melainkan sangat bergantung dari bagaimana intensitas perhatianmu kepada ratusan, ribuan, ataupun bahkan jutaan anak-anak Indonesia yang sampai dengan tahun 2011 ini tidak tersentuh oleh SLOGAN HAK DAN WAJIB BELAJAR 9 TAHUN.

Sumber foto: dokumentasi pribadi penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun