Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Jalan Duka Mereka Bersua

21 Maret 2011   16:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:35 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Nak ...suara ini aku pinjam

Dari sang empunya kehidupan

Untuk menemanimu dikancah perjuangan ini

Agar darahmu tak deras mengalir

Pada lorong sempit jalan ini

*****

Ibu ...terbata aku dalam tutur,

tertatih aku dalam melangkah

menelusuri terjalnya jalan ini.

Aku terjatuh....

Kulihat kedua bola mata keibuanmu

Menatap sayu padaku.

Guratan keriput pada wajahmu

Semakin jelas terlihat.

Aku tahu bahwa itu guratan cinta.

Ia tergerus arus waktu menuju usia senja.

Namun ibu... cinta tak mengenal waktu.

******


Nak..... kasih ini aku pinjam

Tuk memberi warna pada jalan ini

Bahwa guratan keriput pada wajahku

Dan usiaku yang termakan waktu

Tak membuat cinta dan kasihku

Ikut keriput dan usang

*****

Ibu mengapa kita harus jumpa di tempat ini.....

Perjalanan panjang yang telah aku lewati

Menyisakan keletihan juga titik darah sebagai peluh.

Ragaku mulai melemah.

Tak kuasa ku angkat tanganku tuk mengusap wajah keriputmu.

Dalam situasi seperti ini

Ku tak mampu membalas cinta kasihmu

Dan mungkin tak kan pernah terbalas.

Senyum cengirku dalam keletihan mungkin....

Tak mampu menghapus juga membelai rambutmu yang terjuntai seperti dulu lagi.

*****

Nak... air mata ini juga aku pinjam

Dari penguasa jagad

Walau jumlahnya cuma setetes

Namun cakarnya telah menancap

Menembus kisi-kisi hatimu yang begitu bening

Agar kau tahu bahwa bukan salah ibu mengandungmu

******

Ibu masih pantaskah aku disebut anak.......

Belaian kasih yang pernah engkau berikan

kini tinggal kenangan.

Bagiku itu menjadi sebuah saksi

Akan jejak yang pernah terpatri

Dalam lembar sejarah hidup kita.

Bersama kita tertawa, menangis dan bergurau,

Mengusir malam yang kian kelam

Sembari menanti sang mentari

Yang tak bosan menyinari jagad.

Walau bukan salahmu mengandung,

Antara aku dan kauduka dan air mata harus ada

Dan tetap ada selama kehendak bapa belum terlaksana.

******

Tapi nak..... duka ini kumiliki sendiri

Terpancar dari lubuk hatiku yang terdalam

Menyembur dari nurani keibuanku

Membangunkan dan memunculkan kembali

Tali kasih yang pernah terrajut

Bahwa tak seharusnya

Kasihku berakhir sampai disini

******

Akhirnya ibu.....

Kutitipkan raga lusuhku yang kian terkoyak, terbakar sang mentari.

Tangis dan air matamu akan kubawa ke surga

Juga air susu kasih yang telah menetaskan dan menghasilkan kebaikan.

Bantu aku...bantu aku ibu...bantu aku dengan selaksa kasih.

Aku tak mau membawa duka tuk mengalir dan terbang bersama arus waktu ke surga. Bilang pada para algojo dan juga pada pilatus dan kroni-kroninya:

Aku tidak benci mereka...

Demi kasih yang pernah engkau tunjukan aku rela memaafkan mereka.

Gengam tanganku ibu...dekap aku.

Bawa aku dalam rahim ketulusanmu.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun