Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berharap Jadi Samsul Bahri untukmu Meski Dijodohkan

13 Maret 2013   08:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:52 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13631654631730719486

Aku masih saja tak dapat menebaknya; istriku, Santika. Dia bilang dia penikmat keheningan sementara yang kutahu dia ada di setiap keramaian yang mengundangnya, berbaur dengan mudah bahkan pencipta kehebohan. Dia bilang dia tak suka bicara, tetapi yang kutahu dia selalu bicara ketika ada kesempatan, marah tanpa henti ketika ada yg berjalan tak sesuai rencana, mengkritik ketika ada yang tak sejalan dengan pemikirannya. Dia bilang dia tak mencintai pekerjaannya namun sepertinya aku tak perlu mempercayai kata-katanya.

Dia pernah bilang dia menghargai perasaan orang lain meski bukan itu yang kualami di hari pertama perjumpaan kami. Dia pribadi yang meledak-ledak - kata orang - dengan tatapan yg mampu membuat orang membeku. Dia bukan Medusa, pikirku, mesti memang tatapannya membuatku tak nyaman. Hanya ada aku dan dia di ruang tamu rumah orangtuanya. Waktu itu liburan kenaikan kelas dan dia kembali ke rumah orangtuanya yang terletak di tepi pantai ini, tempat baruku bertugas sebagai dokter di puskesmas. Aku dan dia tahu maksud pertemuan ini. Orangtua kami merencanakan ini bahkan sebelum dia lahir. Aku nyaris percaya dia penikmat keheningan ketika dia mampu untuk tak membuka mulutnya hampir setengah jam walau aku berusaha mengajaknya mengobrol atau pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan memancing.

"Saya permisi dulu," aku memutuskan untuk pulang, merasa menyia-nyiakan waktu dengan omong kosong orangtuaku, merasa bodoh karena terbujuk rayuan ibuku untuk pindah ke tempat ini.

"Jangan datang lagi."

Aku terhenyak. Kesal memenuhiku. Apa yg membuatnya berpikir bahwa aku akan datang lagi?

Dia tak pernah bilang dia mampu meramal tapi yang aku tahu aku menghabiskan dua minggu liburannya bersamanya, tak peduli dia memandang jengkel dan merasa terganggu.

Kami menikah bukan karena cinta. Setidaknya itu yang dia bilang. Di hari keluargaku datang dari kabupaten tetangga untuk mengajukan rencana lamaran, dia menatap ayahnya lama, seolah jika dia berkata tidak maka ayahnya akan mati. Masalahnya tidak serumit itu. Tidak ada paksaan walau dia merasa bagai Siti Nurbaya dan aku Datuk Maringgih. Dia hanya belum menyadari akulah Syamsul Bahri, aku hanya sedang menyederhanakan kisah Marah Rusli itu. Hanya perlu waktu dua bulan sejak pertemuan pertama kami untuk melamarnya dan dua bulan setelah itu untuk menikah. Sebelum masa adventus, kata ayahku, tak perlu menunggu lama. Jadilah kami menikah di minggu biasa ke-32, lima minggu menjelang natal dan enam minggu sebelum tahun itu berakhir.

Dia bilang dia ingin rumah di atas bukit, berlantai dua dengan balkon menghadap laut dan matahari terbenam. Setahun berikutnya, aku berhasil mewujudkannya, sebuah rumah di atas bukit kecil yang tanahnya kami beli bersama; dia bukan parasit katanya, dia punya gaji sendiri. Selama setahun itu pula dia mengajukan permohonan pindah tugas ke tempat ini, berusaha kelihatan tak begitu atau pun terburu-buru. Masa Prapaskah setelah genap setahun pernikahan kami, aku mendapati diriku dan dia tak bisa duduk berlama-lama di balkon rumah ini karena kencangnya angin muson barat dan tawanya mengisi rumah ini, merasa konyol dengan ide duduk sore di bulan Maret.

Hingga kini dia masih beranggapan bahwa kami menikah bukan karena cinta dan aku tetap Datuk Maringgih sementara aku memainkan gitar dan menyanyikan lagu The Script -band favoritnya- tentang "how it took me thirty years just to find one girl". Dia hanya akan mencibir. Memang sebaiknya dia tak tahu bahwa aku jatuh cinta hanya dengan cerita ayah ibuku, karena buku-buku yang kami baca, karena dia mampu mendengarkan dan berpendapat, karena dia mampu memberi ruang untuk bernapas dan berpikir, karena dia mampu memasak makanan yang sesuai dengan lidahku dan yg bisa kulakukan hanyalah mencintainya lebih dalam.

Ayahku berpendapat secara obyektif bahwa Santik-istriku-adalah perempuan cerdas dan menurutku dia perempuan terlogis yg pernah kutemui, yang kadang tak berlaku seperti perempuan tetapi menuntut diperempuankan. Dia berpikir logis sampai dua hari lalu. Maagnya kembali kambuh saking stres memikirkan murid-muridnya yang akan mengikuti UN; perasaan seorang ibu yang kini menguasainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun