Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kematian, Ditakuti serentak Dirindukan

19 Oktober 2019   13:03 Diperbarui: 19 Oktober 2019   13:39 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:dreamstime.com

Pagi tadi, saya mengikuti upacara pemakaman seorang warga. Seorang bapak berumur 56 tahun telah meninggal karena penyakit akut dan komplikasi yang dideritanya selama beberapa bulan.

Ia meninggalkan seorang Istri dan tiga orang anak. Anak yang sulung telah berkelurga. Anak kedua sedang menempuh studi di jurusan farmasi. Yang bungsu masih di bangku SMP. 

Keluarga ini hidup dari menyadap getah karet dan berladang secara tradisional. Dua mata pencaharian inilah yang dilakoni oleh sang suami, ayah, dan kakek yang saat ini jenazahnya telah terbujur kaku.

Ketika memasuki pelataran rumah, terdengar tangisan histeris dari istri dan anak-anak almarhum.

Istrinya duduk dekat kepala sang suami,menangis sambil mengelus pipi suaminya seolah mau membangunkannya. Tangisannya memilukan hati karena dibarengi kata-kata tentang kenangan dan harapan yang tertunda bersama sang belahan jiwa.

Anak-anak, menantu, dan kedua cucunya juga bersimpuh di sekitar jenasah sang ayah, kakek, dan mertua sambil menangis pilu. Ada aura kebingungan, kehampaan dan rasa kehilangan yang mendalam seperti anak ayam yang kehilangan induk.

Ketika upacara pemberkatan jenazah usai dan jenazah harus dimasukan ke dalam peti, istri serta anak-anaknya seolah tidak rela membiarkan ayah mereka segera berlalu dari hadapan mereka menuju peristirahatan terakhir. 

Beberapa kerabat berusaha keras memapah istri dan anak-anak menjauhi jenazah sang suami agar bisa dimasukkan ke dalam peti. 

Tangisan terdengar makin hebat tatkala jenazah almarhum dimasukkan ke dalam peti, ditutup, dan dipaku serta dibawa keluar menuju ke pemakaman. Saat itu, sang istri dan anak bungsunya jatuh pingsan.

Hati saya pun ikut pilu merasakan kesedihan dan perasaan kehilangan mereka. 

Kematian memang selalu membawa duka yang mendalam bagi yang ditinggalkan. Tidak ada kata yang mampu menenangkan hati ketika seseorang baru mengalami kehilangan seorang yang paling dikasihi. Kata-kata Kitab  Suci pun tiada mampu menenangkan jiwa ketika peristiwa duka masih di depan mata dan air mata masih bergelayut di pelupuk mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun