[caption caption="Ilustrasi (enciety.co)"][/caption]Perkembangan pengusutan kasus pembunuhan Salim Kancil warga desa Selok Awar-awal semakin menunjukkan titik terang. Penetapan Hariyono sebagai tersangka aktor intelektual oleh kepolisian memberikan harapan bahwa kasus ini diusut dengan baik. Hari-hari ini, Hariyono, Kades Selok Awar-awar-Lumajang mulai bernyanyi. Nama sejumlah aparat kepolisian setempat dan anggota DPRD mulai disebut-sebut telah menerima upeti berupa sejumlah uang yang diberikannya dengan suka rela. Ketiga oknum aparat yang menikmati 'uang retribusi' pertambangan yang disebut-sebut antara lain: Kapolsek Pasirian AKP Sudarminto, Kanitreskrim Polsek Pasirian Ipda Samsul Hadi, dan Babinkamtibmas Desa Selok Awar Awar Aipda Sigit Pramono. Ketiganya sudah mengikuti pesidangan kode etik pada hari Senin, 13/10/2015 lalu. Ada juga seorang anggota DPRD yang pernah menerima uang dari kades pembunuh berdarah dingin ini.
Keterlibatan oknum petinggi kepolisian lokal dan anggota dewan daerah dalam kasus penyuapan secara tidak langsung oleh Kades Hariyono bisa menjelaskan sejumlah keanehan yang menyertai kasus ini. Pertambangan pasir ini dikatakan ilegal. Meskipun ilegal, pertambangan ini telah bertahun-tahun beroperasi meskipun masyarakat telah menolaknya. Seorang Hariyono yang hanya menjabat sebagai Kades tidak mungkin mempunyai kekuatan untuk memaksakan pertambangan ilegal ini tetap beroperasi. Ada tangan yang lebih kuat di balik Hariyono. Kepolisian yang seharusnya mempunyai kewenangan untuk menertibkan pertambangan ilegal rupanya ikut bermain di dalamnya dan kehilangan taringnya ketika berhasil disuap dengan upeti oleh Kades Selok Awar-awar. Dengan rutin menyetor upeti kepada aparat, Kades Hariyono merasa aman menjalankan pertambangan pasir, meskipun sebagian besar masyarakatnya menolak pertambangan.
Puncak arogansi Kades Hariyono karena merasa 'sudah membeli aparat' terjadi ketika melalui Team 12 bentukannya, Sang Kades melancarkan teror dan intimidasi kepada warga yang berani menuntut penutupan pertambangan. Mereka merasa aman melakukan aksinya, karena merasa yakin tidak akan ada aparat yang bakal menciduk mereka. Perasaan tidak takut kepada siapa pun termasuk kepada aparat kepolisian ini juga bisa menjadi salah satu faktor penunjang aksi pembunuhan terhadap Salim Kancil dan penganiayaan terhadap Tosan.
Selain itu, publik yang mengikuti kasus ini diberikan jawaban alasan kelalaian aparat kepolisian untuk menanggapi aduan yang pernah dibuat oleh Almarhum Salim Kancil. Kita bisa paham, mengapa Kapolsek diam saja dan tidak segera menindaklanjuti laporan yang pernah dilayangkan oleh Salim Kancil. Mereka telah dibungkam oleh upeti yang rutin disetor secara langsung oleh Kades Selok Awar-awar ke Mapolsek Pasirian. Bagi mereka, kelangsungan hidup pertambangan pasir dan setoran rutin dari pertambangan jauh lebih penting dari sekedar sosok ringkih Salim Kancil. Kelalaian atau kesengajaan aparat kepolisian mendiamkan laporan Salim Kancil berdampak kematian bagi Salim Kancil.Â
Salim Kancil adalah korban perselingkuhan antara aparat keamanan dengan pengusaha yang diwakili oleh Kades Selok Awar-awar. Kalau uang/modal dan kekuasaan telah berpelukan erat, maka masyarakat kecil yang mencoba melawan akan dibungkam dan dilenyapkan.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H