Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Harus Taat Buta pada Bos?

23 Januari 2014   06:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir-akhir ini, ada sebuah istilah yang menjadi trending topic di sebuh Grup yang saya ikuti. Apa itu? Loyalitas! Loyalitas yang dibicarakan di group tersebut adalah loyalitas terhadap  kekuasaan/pemimpin. Sejauh mana warga yang tergabung di dalam grup tersebut dikatakan loyal terhadap Bupatinya atau tidak? Pertanyaan ini sebenarnya tidak mudah dijawab karena parameter untuk mengukur tingkat loyalitas seseorang kepada seorang pemimpin tidak jelas, ambigu, dan masih bisa diperdebatkan.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan kata loyalitas ini? Menurut kamus Bahasa Indonesia, loyalitas berasal dari kata bahasa Inggris, loyality yang mengandung beberapa arti yakni: kepatuhan, ketaatan, komitment, pengorbanan dan kesetiaan.

Dalam dunia profesi sering dikenal juga frasa “loyalitas terhadap profesi” yang bisa diartikan sebagai kesetiaan terhadap profesi yang ditekuni. Misalnya: sebagai guru, saya setia pada tugas dan tanggung jawab sebagai guru; sebagai imam, saya setia dengan tugas dan tanggung jawab saya sebagi imam; sebagai dokter, saya setia dengan tugas dan tanggung jawab sebagi dokter; sebagai petani, saya setia dengan tugas dan tanggung jawab saya sebagai petani; sebagai bapa keluarga, saya setia dengan tugas saya sebagai bapa keluarga; sebagai ibu rumah tangga, saya setia dengan tugas dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga.

Nah, untuk bisa setia terhadap profesi kita masing-masing dibutuhkan juga komitment dan pengorbanan yang juga sudah tercakup di dalam arti kata loyalitas. Karena tidak akan ada yang namanya kesetiaan jika tidak dibarengi dengan komitment dan pengorbanan dari orang yang mengemban profesi tertentu. Inilah salah satu syarat yang membuat orang disebut sebagai seorang profesional.

Orang yang setia kepada profesi akan membuatnya dikenal sebagai pribadi yang profesional pada bidangnya. Mengapa? Karena loyalitas pada profesilah yang memacu seseorang untuk berusaha memberikan yang terbaik kepada masyarakat dari profesi yang digelutinya. Loyalitas pada profesi juga akan menuntut seseorang untuk belajar terus-menerus mengembangkan diri untuk meningkatkan kapasitas diri pada bidangnya, sehingga makin hari dikenal makin profesional atau dikenal sebagai seseorang yang sungguh menguasai bidangnya atau menjadi AHLI pada bidangnya.

Bagaimana dengan loyalitas kepada pimpinan? Menurut saya, kita harus hati-hati untuk membedakan antara loyalitas kepada profesi di satu sisi dengan loyalitas kepada seorang pimpinan di sisi lain. Kepada seorang pemimpin, saya akan menunjukkan loyalitas saya sejauh kepemimpinannya tidak “mengangkangi” profesionalisme profesi saya. Apa maksudnya? Jika kepemimpinannya kemudian menghambat saya untuk menjadi profesional dalam bidang saya, maka saya akan lebih memilih untuk loyal kepada profesi saya daripada kepada pimpinan saya. Dalam hal ini, loyalitas kepada pemimpin tidaklah mutlak perlu untuk menunjang profesionalisme seseorang.

Jadi, untuk menjadi profesional tidak mutlak perlu dukungan kesetiaan terhadap pimpinan. Mengapa? Karena bisa saja, seorang pemimpin itu tidak benar-karena dia manusia biasa yang kebetulan dipercayakan untuk memimpin sementara waktu. Dalam kemanusiaannya, bisa saja seorang pemimpin keliru di dalam kepemimpinannya, keliru di dalam mengambil kebijakkan terkait jawatan/instansi/perusahaan yang dipegangnya.

Di sinilah, saya mengatakan pentingnya kehati-hatiaan dalam menerapkan loyalitas kepada pemimpin yang bisa saja jatuh di dalam “kesetiaan buta” atau tindakan Asal Bapa Senang (ABS). Inilah yang terkadang tidak membuat orang yang dipimpin menjadi kritis terhadap pemimpinnya yang keliru/salah. Bahkan dalam hal tertentu, bisa saja “kesetiaan buta” terhadap pemimpin malah menjerumuskan seseorang untuk menjadi tidak profesional di dalam bidangnya.

Sebagai contoh: ada seorang PNS di sebuah jawatan yang berprofesi sebagai bendahara. Sebagai seorang bendahara, ia dituntut untuk profesional dengan bersikap loyal terhadap profesi yang diembannya. Sialnya, ia mendapatkan seorang kepala kantor/pimpinan yang ‘bengkok hati’. Suatu ketika, ia dipaksa untuk ‘mark up’ di dalam laporan keuangan sampai dengan diminta untuk membuat ‘transaksi fiktif’ di dalam laporan keuangan. Sebagai bawahan ia tertekan sekali menghadapi situasi tersebut. Kemudian ia menelpon saya, menyaringkan apa yang dialaminya. Saya katakan: “biar kamu ditendang dari profesimu sebagai bendahara oleh pimpinanmu yang tidak benar, tetapi jangan korbankan profesionalitasmu sebagai seorang bendahara yang jujur. Tulis saja apa adanya!” Hasilnya, ia memang dicopot dari jabatannya karena tidak loyal kepada pemimpin yang tidak benar, tetapi nuraninya menang!

Oleh karena itu, saya lebih memilih untuk loyal terhadap profesi daripada loyal kepada seorang pemimpin, karena loyalitas kepada pemimpin tetap membutuhkan sikap kritis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun