[caption id="attachment_182666" align="aligncenter" width="590" caption="Ilustrasi Perjumpaan Aneka Budaya (laut dan karang) & Membentuk Arsiran (Dok.Pribadi)"][/caption]Pada suatu kesempatan seorang mahasiswa pulang libur ke kampung halamannya. Ketika sedang asyik menikmati liburan, salah seorang paman, adik ibunya meninggal dunia. Menurut tradisi kebudayaan setempat yang menganut sistem matrilineal (mengacu pada garis keturunan ibu), pihak keluarga yang sedang berduka harus menyambangi seluruh anggota keluarga besar entah karena sedarah atau karena hubungan  tali perkawinan.
Dari sebab itu, keluarga ini menentukan siapa saja yang akan menjadi utusan keluarga yang harus menyambangi setiap rumah keluarga besar untuk membawa berita duka secara lisan. Sang Mahasiswa ini juga didaulat menjadi seorang utusan untuk menyampaikan pesan ke semua anggota keluarga garis keturunan ibunya yang tidak sedikit jumlahnya serta tersebar di berbagai kampung/daerah. Merasa lelah menyambangi rumah-rumah keluarga, akhirnya ia mengambil keputusan untuk melawan tradisi dengan mengirimkan sms berantai ke seluruh anggota keluarga besar ibunya yang tersebar di berbagai tempat. Walhasil, keluarga besar ibunya tersinggung berat, merasa tidak dihargai. Ada yang datang, tetapi lebih banyak yang tidak datang melayat dan mengikuti upacara adat kematian menurut tradisi setempat.
Setelah hari penguburan Sang Paman, seluruh keluarga besar berkumpul untuk membicarakan upacara kenduri (neku-dalam istilah budaya setempat) sebagai bentuk penghormatan puncak bagi orang yang sudah meninggal karena kesepuhan dan ketokohannya. Pada kesempatan itu, terbongkarlah unek-unek di hati keluarga besar ibunya karena merasa tidak dihargai oleh keponakan almarhum yang memberitahu mereka hanya melalui sms. Mendengar semuanya itu ayahnya langsung memarahi anaknya yang telah menjadi mahasiswa tersebut.
"Dasar anak tidak tahu adat! Apa gunanya kamu disekolahkan? Kamu disekolahkan agar lebih mempertajam mata hatimu untuk memahami sungguh tradisimu dengan lebih baik, bukan untuk merusak warisan tradisimu yang telah berlangsung lama." Anaknya tidak menerima begitu saja kata-kata ayahnya.
"Pertama-tama, saya meminta maaf kepada seluruh keluarga besar karena mungkin saja cara saya telah melukai perasaan seluruh keluarga besar terutama dari pihak mama."
Kedua, saya tetap dan akan selalu mencintai budaya/tradisi kita. Namun, saya hidup dan dibesarkan dalam zaman yang telah berubah. Saya juga tahu bahwa yang namanya kebudayaan itu ada isi dan bungkusnya. Isinya itu menyangkut nilai-nilai kehidupan yang hendak diwariskan kepada generasi muda. Sedangkan bungkusnya itu lebih terkait dengan cara atau bentuk pengungkapan terhadap nilai-nilai itu. Dulu nenek moyang kita belum kenal telpon dan HP. Hidup mereka pun kebanyakan berkosentrasi di beberapa kampung yang terdekat dan jarang yang merantau ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu, untuk mengukapkan nilai penghargaan terhadap seluruh keluarga besar, seorang utusan akan dikirim menyampaikan berita apa pun juga termasuk berita duka."
"Akan tetapi, kita sudah hidup di zaman yang berbeda. Karena transportasi, pendidikan yang kian memadai serta beragamnya pekerjaan, keluarga besar kita mulai tersebar di mana-mana. Kita juga memiliki telepon dan HP yang bisa memudahkan kita untuk berkomunikasi satu sama lain. Pertanyaan saya kepada ayah adalah: apakah salah jika saya menggunakan HP untuk mengirim sms kepada seluruh keluarga besar ibu? Saya tetap menghargai mereka, karena itu saya tetap berusaha memberitahu seluruh anggota keluarga besar ibu perihal kematian paman dengan cara atau dalam bentuk sms."
Setelah hening selama beberapa waktu, ayahnya angkat bicara.
"Untuk saat ini, masyarakat kita belum siap menerima cara seperti yang kamu lakukan. Buktinya, sebagian besar anggota keluarga kita dari pihak mama-mu tersinggung berat dan tidak datang."
Tidak puas dengan jawaban ayahnya, anaknya terus ngotot.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!