Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasib Kebudayaan Daerah,Mau Dibawa Kemana?

11 Juni 2012   02:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:08 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1339380995117715891

[caption id="attachment_181990" align="aligncenter" width="567" caption="Foto by Ajie Nugroho (Album K Kampret"][/caption]

Gempuran budaya pop yang didukung penyebarannya melalui jaringan informasi cetak maupun digital telah membuat kebanyakan generasi muda dan mungkin saja termasuk yang tua teralienasi dari kebudayaan lokalnya sendiri. Kebudayaan lokal yang menjadi local wisdom kian tergencet oleh himpitan budaya pop yang dari segi kemasan dan tampilannya lebih menarik serta menggarisbawahi selera kaum muda. Karena itu, banyak generasi muda saat ini  yang terancam tercerabut dari akar budayanya sendiri dan sesungguhnya gamang terhadap nilai-nilai budaya pop yang diserapnya melalui aneka media informasi.

Nietzsche, sang filsuf problematis pernah berujar bahwa manusia bukanlah makhluk natural tapi kultural. Mengapa? Karena bagi Filsuf problematis ini, manusia bukanlah makhluk definitif, melainkan makluk yang belum terbentuk sehingga ia harus terus-menerus menciptakan dirinya dan dunianya. Proses penciptaan ini dituangkan dalam rupa-rupa dimensi. Selanjutnya, dimensi itu mendefinisikan dirinya sebagai "media" dan "simbol" tertentu. Dari apa yang dikreasikan itulah terpancar keluar hasrat "ekspresif" dan daya-daya "kognitif" manusia. Inilah pembeda khas manusia dari binatang.

Sebagai makhluk budaya, tentu setiap orang tergelitik untuk bertanya tentang genealogi kultur, latar belakang kemunculan kebudayaan-kebudayaan di planet bumi ini. Sesungguhnya kebudayaan timbul dari karakter bawaan "bermain" yang inheren pada manusia. Benarkah format kebudayaan-kebudayaan manusia di bumi ini terlahir dari hasil "evolusi permainan" dalam dinamika sejarah yang panjang? Huizinga, setidak-tidaknya dapat memastikan prediksi ini. Setelah mengobservasi berbagai lingkungan kebudayaan dunia selama lebih dari 30 tahun, pakar filsafat kebudayaan Belanda ini sampai pada sebuah titik simpul yang mengejutkan kita. Bahwa "unsur-unsur permainan" adalah salah satu pemicu kebudayaan-kebudayaan manusia. Malahan, menurut Huizinga, permainan merupakan kebudayaan itu sendiri.

Kita bisa menelusuri perilaku yang ditampilkan manusia pada tataran riil dalam situasi dan kondisi manusiawi sehari-hari. Pada ranah fisik, manusia biasa bermain-main dalam bahasa, dalam pertandingan bola di lapangan, dalam liukan gemulai tubuh ketika menari dan bersilat. Pada ranah kognitif, manusia "bermain-main" dalam fantasi,  bernostalgia, berkhayal, bahkan berfilsafat. Dengan demikian, pada saat yang sama manusia sebetulnya menjalankan dan menghayati kebudayaan itu sendiri. Permainan bisa diibaratkan sebutir telur yang bermetamorfosis dalam eraman induk sejarah untuk selanjutnya menetaskan kebudayaan dalam wajahnya yang plural dan unik.

Jika permainan diamini sebagai cikal-bakal munculnya kebudayaan, maka ketiadaan aspek permainan dalam kehidupan manusia sesungguhnya simbol kematian kemanusiaan dan deskripsi kemiskinan peradaban. Harvey Cox dalam bukunya Feast of Fools/Pesta Para Badut, memaparkan kemiskinan kemanusiaan barat akibat sekularisasi. Dengan anak kandungnya modernisasi, sekularisasi terbukti mampu melumpuhkan kretivitas manusia barat. Fokus dan aksentuasi pada dimensi manusia sebagai makhluk pekerja dan makhluk berakal budi, menelantarkan dimensi manusia sebagai "makhluk bermain." Otomatisasi dalam kerangka dasar matematis memasung dimensi kreativitas manusia. Pada titik nadir, manusia terserang penyakit taktersembuhkan yang ditandai adanya dominasi perasaan alienasi diri yang definitif. Dan kata-kata Eric From: "manusia barat teralienasi oleh pembangunan," mendapatkan legitimasinya secara telak. Dalam nuansa sinisme yang sama, Claude Levi-Straus menyerang keangkuhan budaya barat yang memonopoli mutlak kemajuan dunia dengan menindas, memeras, bahkan membinasakan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Pada titik lebih jauh, Walter Benyamin, pemikir besar teori kritis, melansir dampak negatif kemajuan teknologi yang menurutnya terarah pada bencana kemanusiaan.

Menelisik kata-kata kaum muda yang dijumpai, muncul sebuah tuduhan terselubung bahwa orang Indonesia sudah mulai menuju keterasingan terhadap kebudayaannya sendiri. Hal ini tampak dalam ketakacuhan terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal. Sering muncul penilaian miring dalam kemasan komentar sarkastis yang merendahkan kebudayaan daerah. Ketika orang tua menasihati anak-anaknya dengan petuah-petuah leluhur, banyak kali anak-anak menolaknya dan mengatakan kuno, gak gaul, dan out of date. Tradisi-tradisi warisan masa lampau di Flores, Timor, Irian Jaya, Sulawesi, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, dll sering hanya dijadikan sebagai sebuah artefak, menjadi pajangan museum untuk sekedar bernostalgia tanpa relevansi dengan kehidupan generasi muda saat ini. Muncul juga olok-olokkan"dunia Timur itu inferior dan irasional. Dunia barat lebih rasional dan superior. Maka, alangkah lebih baik berkiblat ke dunia barat.

Kebudayaan daerah yang sebenarnya tempat orang Indonesia dilahirkan, dipelesetkan dalam sinisme mistifikasi tak patut: "kebudayaan daerahku ketinggalan zaman." Sebuah stigma anakronistik terhadap kebudayaan daerah sendiri. Yang terjadi selanjutnya, kebanyakan orang mulai menelantarkan nilai-nilai luhur budayanya. "Yang asing" dan "yang bukan milik" serta "yang populer" diadopsi lurus-lurus dan selanjutnya dikenakan sebuah kepalsuan  yang memuakkan. Di sini, nilai-nilai budaya daerah yang mengedepankan berbagai nuansa filosofis (kebijaksanaan) hidup terabaikan. Tampilan sikap yang menentap gagasan apologetis Levi-Strauss: "kebudayaan tradisional adalah khazanah kebijaksanaan dan patokan etis bagi umat manusia dewasa ini."  Sikap yang merendahkan kebudayaan daerah/tradisional justru diadili oleh kata-kata L. Straus di atas. Inilah ironi dan lelucon itu. Untuk tidak menjadikannya sebuah ironi dan lelucon tentu dimulai dari sikap menghargai, menggali, menemukan, dan manaruh respek yang tinggi terhadap aneka khazanah kebudayaan lokal kita masing-masing yang terangkum dalam religi, mitos, bahasa, seni, sejarah, sastra, dan teknik yang berurat berakar di bumi pertiwi ini dari Sabang sampai Merauke.

Kembali kepada kebudayaan daerah. Sebuah imperatif-persuasif aktual generasi Indonesia zaman ini. Kebudayaan daerah melingkupi juga segala tradisi konstruktif yang dihayati oleh para pendahulu demi perkembangan kemanusiaan dan kemajuan peradaban. Sebab tanpa tradisi, menyitir Rendra, "pergaulan bersama terkacaukan dan kehidupan manusia biadab." Berakar dalam kebudayaan sendiri bukanlah dimaksud untuk membentengi diri dari benturan budaya pop yang kian mengglobal, tetapi sebuah upaya penyeimbangan demi sebuah filter bagi kebijaksanaan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun