[caption id="attachment_188213" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Kisah ini terjadi di sebuah rumah sakit daerah yang dialami oleh salah seorang adikku yang hendak melahirkan putri ketiganya yang semakin menguatkan saya pada sebuah kesimpulan bahwa mentalitas matre telah menghinggapi sebagian dokter di negeri ini. Kesimpulan ini mungkin saja agak prematur karena tidak didukung data yang kuat melalui sebuah survei yang menyeluruh di Indonesia. Namun menjadi sebuah warning akan adanya kemungkinan tendensi ke arah yang dimaksudkan.
Kejadiaannya seperti berikut. Adikku sudah mengalami dua kali persalinan natural dengan posisi si bayi sungsang atau kaki duluan keluar (entah apa istilah medisnya). Dua kali persalinan putri pertama dan kedua, ditangani oleh bidan saja di POLINDES dan semuanya berlangsung aman meski dengan peralatan seadanya. Namun karena bidan sedang cuti melahirkan, maka ketika pengecekan terakhir untuk persalinan yang ketiga ini, bu bidan merekomendasikan adik agar melahirkan di rumah sakit saja tetapi dengan meyakinkan ke adik bahwa persalinan kali ini, meskipun sungsang seperti dua persalinan sebelumnya, tetap akan berlangsung normal asalkan adik kuat.
Ketika tiba saatnya melahirkan, adik pun ke rumah sakit daerah di ibu kota kabupaten. Sesampai di rumah sakit setempat, adik diterima dan dilayani dengan baik oleh salah seorang bidan senior. Adik pun menyampaikan kondisi bayinya dari USG terakhir dan bagaimana dua persalinan sebelumnya bisa berjalan normal dengan bantuan bidan desa saja. Namun setelah pengecekan dan diketahui bahwa kondisi bayi dalam posisi kaki bakalan duluan keluar, oleh dokter, adik dinyatakan harus menjalani operasi (caesarean). Adik tetap berkeras karena merasa yakin bahwa fisiknya cukup kuat dan mampu melahirkan secara natural. Akan tetapi, dokter tetap berkeras dan memaksa harus dioperasi. Adik pun menyerah, meskipun dia tahu bahwa ia tidak mempunyai uang sebanyak itu untuk persalinan melalui operasi. Karena biasanya biaya persalinan melalui operasi bisa menelan biaya 5-7 juta rupiah khusus untuk dokter.
Ketika sudah di kamar operasi, sementara menunggu dokternya berpakaian, air ketuban pun pecah dan adik pun berteriak agar dibantu untuk persalinan. Dengan ketus dokter menyuruh bidan memindahkan adik dari kamar operasi menuju ruang persalinan natural dengan alasan jangan sampai tempat operasi dikotori oleh air ketuban. Dengan dibantu oleh bidan, adik pun bisa melahirkan secara normal tanpa mengalami kesulitan berarti.
Dari pengalaman adik tersebut, mengingatkan saya akan kata-kata seorang dokter kandungan di Bandung dahulu. Menurutnya, di kota Bandung telah menjadi sebuah trend bagi ibu-ibu terutama wanita muda/karier yang menghindari persalinan normal. Banyak yang memilih untuk dioperasi saja dengan berbagai alasan misalanya: tidak mau ototnya kendor, tidak mau mengalami rasa sakit, agar anak bisa bertanggal lahir sama dengan tokoh-tokoh terkenal, dll. Karena itu, umumnya menurut penuturan dokter ini, pada hari raya keagamaan dan hari-hari besar lainnya, biasanya pasiennya berjubel. Walhasil dia stand by di kamar operasi seperti tukang jagal: membelah, mengambil bayi, menjahit secara terus-menerus bahkan sampai jauh malam sampai dengan semua pasiennya yang memilih tanggal tersebut selesai. Kerja keras, tetapi juga panen duit.
Membandingkan kedua hal di atas lantas membuat saya bertanya-tanya: kisah dokter yang terakhir di atas memang bisa diterima sejauh caesarean merupakan pilihan bebas dari pasien. Namun, dalam kisah yang pertama merupakan sebuah sinyalemen “adanya trend” para dokter di daerah maupun di kota untuk mendapatkan uang lebih banyak jika persalinannya tidak natural. Mengapa? Karena dokter (walaupun ahli) tidak bisa mengabaikan keyakinan batiniah yang dimiliki pasiennya, bukannya mengatasnamakan keahliannya untuk memaksakan kehendaknya. Gejala ini saya tangkap juga di daerah KALBAR, khususnya di Kabupaten Kapuas Hulu, di mana ada berkembang julukan untuk dokter-dokter matre yang disebut dengan gelar: “Dokter sedikit-sedikit, Operasi.” Saya rasa sikap seperti ini sangat tidak berpihak kepada ibu-ibu miskin yang tidak memiliki cukup uang untuk melakukan caesar. Untuk kasus-kasus tertentu dengan resiko besar pada bayi dan ibu sekaligus, bisa ditoleril apabila “dokter berhak menentukan sikap akhir terhadap pasien,” demi kebaikan dan keselamatan ibu dan anak.
Namun hal ini bukan berarti bahwa rata-rata semua dokter di negeri ini bermental seperti itu. Pasti ada yang baik dan tetap setia pada sumpah Hipokrates misalnya teman-teman dokter di kompasiana ini. Minta maaf jika merasa tersinggung dengan sambal pedas ini bagi rekan-rekan dokter sahabat kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H