Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Catatan Kaum yang Lolos dari Sentuhan Peradaban Mutakhir

15 April 2012   02:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:36 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_182046" align="aligncenter" width="475" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Senja itu hujan begitu deras sejak seminggu lalu lamanya, aku kehabisan sembako, serta solar buat menghidupkan genset (generator gandeng dinamo listrik) terisisa 2 liter dan tidak cukup untuk seminggu ke depan bagi penerangan dan alat elektronik lainnya di penginapanku. Jarakku bertugas dan kota tempat tersedinya stok sembako dan solar sangatlah jauh. Ditambah medan yang menyiksa karena setelah melewati medan ini anda mungkin akan meminta dipijat dua hari berturut-turut, karena kram otot yang luar biasa. Tak ada jalan yang ‘ramah’ bagi pengguna motor seperti aku. Dan jangan anda berharap akan menemukan mobil di sini. Sangat serius!

Menjelang malam aku masih berkutat dengan draft dan laporan kerja yang masih harus diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai pertanggungjawaban buat atasanku. Laporan yang sedianya dikumpulkan kemarin, namun karena cuaca dalam level tak bisa dikompromi terpaksa ditunda. Jadi beratnya beban yang harus kupikul sedikit berkurang dengan alasan yang hampir klasik ini.

Langit semakin gelap, kuhidupkan pelita dan bunyi jangkrik selepas hujan riuh di antara padang ilalang dan sabana liar makanan ternak. Dari luar sinar pelita menembusi dinding bambu berjarak menyentuh pohon Cermelek berbuah masam tempat pelampiasan prahara ngidam ibu hamil. Di kampung ini jarak antara rumah tempat kutinggal dengan tetangga cukup jauh dan jari-jemariku terus mengetik kata demi kata bersama malam yang kian larut hingga pagi kembali dan bias cahaya mentari menyinari tetes embun savana ilalang.

Semenjak kedatanganku kemari terhitung sudah 6 bulan lamanya seyogyanya aku hanya bekerja mengambil sampel darah sebagai bahan pemeriksaan yang selanjutnya diantar ke puskesmas untuk diteliti sebagai pakem penentuan daerah endemik malaria. Namun ternyata tugasku akhirnya menjadi lebih berat dan membingungkan di awal kerjaku. Aku telah melenceng dari tugas pokokku karena keadaan yang begitu memprihatinkan, sehingga aku harus mengobati, mengajar, dan bertani sendiri. Aku harus barbagi kekuranganku terhadap orang yang lebih kekurangan (aku menulis ini bukan untuk membesarkan sisi baikku) untuk dilihat, tetapi inilah fakta jalanan yang hidup bersamaku, yang sebelumnya tak pernah k bayangkan bahwa akan serumit ini. Bangku kuliah yang baru aku tinggalkan mengajarkan banyak hal tetapi lapangan mendewasakanku untuk lebih mengerti arti hidup yang sesungguhnya.

Aku seorang perawat dipaksakan menjadi guru dan petani meski tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak berjalan diatas air, tidak membelah lautan tetapi aku hanya mencintai anak-anak, orang-orang sakit, dan kelaparan dengan sisi manusianya yang menggali hati nurani saya begitu sangat dalam.

***

Hari ini anak-anak belajar dengan baik a-i-u-e-o, ba-bi-bu-be-bo, ca-ci-cu-ce-co. Mereka menulis huruf vocal dan suku kata itu dengan baik. Ejaan 'capum' untuk membaca 'capung' menjadi penghiburku di tengah keletihan mengajar. Nona satu ini masih membaca caben untuk cabe “c-a, ca. “b-e, be." Coba baca nona…caaaaa-ben." Aku pun menerawang dan tersenyum lucu: "Tuhan dari mana datangnya “n” itu? Mereka sering menggelengkan kepala ketika aku bertanya tentang anak ini.

Namun ada tanggapan seragam tentang anak ini yang kutahu dia bernama Nia. Teman guru pernah bercerita bahwa ada kepercayaan tentang mayang lontar penghasil nira. Bahwa dalam satu pohon lontar ada beberapa mayang yang tidak menghasilkan nira. Demikianpun, dalam satu kelompok murid selalu ada yang pintar dan yang bodoh. Bukan anak dengan variasi daya tangkap, bukan dengan variasi kecerdasan, logis, matematis, verbal, kinestetik, alam, interpersonal, dan lain-lain. Yang mereka katakan adalah informasi asing yang tidak logis, seakan mereka percaya bahwa hanya ada dua anak: pintar dan bodoh. Dan label ‘terbelakang’ pun pernah diberikan oleh mereka kepada Nia.

Jika aku bertanya siapa yang bodoh di dalam kelas, dia selalu mengacungkan tangan hingga hatiku bergeming dan mengiba. Anak ke 4 dari 8 bersaudara ini tinggal di kampung sebelah, tetangga dari tempat kampung aku bekerja. Rumahnya beratap lontar dan berdinding bambu. Di dalamnya tampak gelap tanpa ada listrik, dengan lantai tanah tampak berdebu dan terasa pengap. Ayahnya bekerja sebagai penyadap lontar berkaki pincang yang konon katanya akibat trauma injuri terjatuh dari pohon lontar. Ibunya hanya ibu rumah tangga sebagai pemasak tuak dan gula air. Pohon setinggi itu dipanjat ayahnya tanpa safety ataupun APD (alat pelindung diri) sehingga terlihat berbahaya. Sebuah tantangan luar biasa bagiku untuk mengubah stigma pada anak ini untuk membunuh semua label negatif mereka tentang dia. Aku tidak menghitung beberapa kali dia tinggal kelas. Informasi tentang kegagalannya begitu banyak.

Dan mereka sering memanggilku dengan pak mantri juga pak guru tergantung perlakuan profesi apa yang aku berikan pada mereka. Aku sering tersenyum jika dipanggil pak guru. Untuk profesi guru ini sangatlah lucu. Aku menjadi guru karena dipaksa situasi dan kondisi. Peribahasa: "tiada rotan akar pun jadi" itulah yang cocok untuk profesi gandaku sebagai seorang guru. Disiplin ilmuku terakhir adalah perawat, aku tak punya background keguruan. Aku tak mendalam belajar tentang psikologi dan profesi keguruan, rambutku kadang tidak tertata, jenggot serta kumisku terkadang dibiarkan panjang. Sangat tidak cocok dengan gambaran guru yang identik dengan penampilan rapih.

Aku baru 5 bulan berpengalaman menjadi guru SD. Tapi nak, kau boleh percayakan tanganmu untuk kugenggam, kutuntun, aku tidak menjanjikan kesempurnaan. Tetapi aku menjanjikan kerja keras dan doa, aku hanya punya mimpi-mimpi dan semangat. Tapi yakinlah nak, mimpi itu yang membuat ibumu terus tegak berdiri di atas badai hidup yang begitu keras. Itulah bahan bakar yang cukup membuat kita terus kencang berlari. Entalah semua itu tercapai atau tidak di kemudia hari, tapi saat ini aku hanya ingin satu hal: Nia bisa membaca dengan seperti teman-temannya yang lain.

Siang itu, di tengah pelajaran membuat puzzle peta Indonesia, kudapati dia menggambar rumah lengkap dengan pekarangannya. Gambar yang berbeda selama lima bulan aku menngajar, selain bunga empat kelopak yang hampir terus digambarnya saat pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Dan aku tak pernah tahu mengapa hanya bunga empat kelopak yang selalu digambarnya. Hari ini sungguh berbeda. Nalarnya kian maju atau dia mungkinkan dia menginginkan sesuatu yang lain? Aku bergeming dan terus memikirkannya.

***

Hari itu di beberapa waktu yang lalu ketika aku membagikan vitamin c 25 mg pada anak-anak dan memeriksa tekanan darah orang tuanya serta membagi beberapa jenis obat seperti CTM, Amoxilin, serta obat tambah darah, tidak seperti biasanya mereka datang tepat waktu dengan jumlah yang sangat banyak dan hampir lengkap jumlahnya. Karena kegiatan ini kubuat di pagi hari, jadi aku bisa memulainya dengan lebih semangat karena aku belum mengajar anak-anak.

Namun aku merasa ada yang janggal karena hari ini mereka begitu antusias untuk datang memeriksa dan mendapatkan obat. Aku mengernyitkan dahi dan berkata ‘ada apa dengan mereka hari ini? Karena mereka begitu antusias dan aku dibuat sempoyongan karena banyaknya jumlah mereka, aku sangat bahagia hari itu. Karena mereka telah sadar untuk datang.

Aku tersenyum geli melihat mereka ada yang belum mandi, sikat gigi, menggendong anak dan dengan ternak peliharaan mereka datang ke rumahku, bahkan ada yang tanpa alas kaki untuk diperiksa dan di pojok dekat pohon kusambi ada sekelompok ibu-ibu dan ana-anak mereka tampak berbisik-bisik. aku menjadi penasaran dan bertanya: “bisik-bisik apa mama-mama?” Lalu seorang anak menjawab: “pak dari tadi senyum-senyum terus, senyum-senyum bungkus pak.’’ Dan yang lain menambahkan: “jangan-jangan pak ingat maitua” (pacar maksudnya) diikuti tawa semua yang hadir. “Justru pak heran kenapa semua datang tepat waktu dan semua hadir?” sahutku.  Dan mereka menyangkal: “ah..pak tipu jangan-jangan pak melamun maitua itu”.

Akhirnya aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala seraya membetulkan manset dan stetoskop pada telingaku. Dan aku teringat pada kata “senyum bungkus.” Apa itu senyum bungkus?” Anak yang bernama Mia tadi menjawab: “maksudnya bigini pak (dengan sok bijak) coba pak senyum ulang!”

Sambil tetap heran aku mengikuti kata-katanya untuk tersenyum“begitu pak. Nanti pak, senyum kami tangkap, bungkus lalu kami bawa pulang,” dia mengatakan itu sambil bergerak seolah-olah menangkap sesuatu, membungkus, kemudian memasukannya ke dalam saku baju dekilnya sambil tersenyum juga.

Seketika aku meleleh tersenyum makin dalam ah…bagaimna menggambarkannya sampai sekarang aku pun masih sering tersenyum dan tertawa bila mengingatnya.

Sejak saat itu jika aku diberi pertanyaan siapa wanita paling romantis? Maka langsung kujawab: “Anak-anak, aku begitu bahagia mendapat perhatian begitu tulus, apalagi perhatian dari benih-benih matahari. Ketika saya kehilangan senyum diplomatis dan lupa bagaimna berprasangka baik kalian telah mengembalikan semuanya. Kalian telah mengajarkanku akan tujuan semula kedatanganku untuk memberi arti tentang sebuah ketulusan dan sebuah janji yang membuat kutersenyum yang layak untuk kalian bawa pulang. Kalian sungguh adalah cintaku semata wayang.”

Pernah suatu waktu, tepatnya 18 Desember 2011, sejak pagi hari kehadiranku selalu diikuti oleh seorang anak kecil. Sejak berbenah untuk ke kota kabupaten membuat laporan dan liburan Natal di siang hari ada seorang bocah laki-laki selalu bermain di pintu rumah, walaupun sempat kututup pintu karena mencuci baju di kamar mandi belakang. Anak itu masih bermain di depan halaman rumahku meski telah kuberi 2 bungkus biskuit pendamping asi ibu hamil untuk menghalaunya pergi. Namun dia masih tetap disana, dia hanya diam ketika kusuruh pulang kerumahnya. Lari menjauh ketika ku dekati tetapi selalu berada di dekatku.

Mungkin ia malu sepertinya ia belum sekolah. Well..aku baru benar-benar menyadari malam harinya betapa ia selalu mengikutiku. Ketika aku ikut malam wajib (sebenarnya lebih tepat doa bersama komunitas umat basis Katolik) ia duduk di belakangku bersama teman-temannya. Menanti kupulang membuka pintu rumah agar mereka bisa belajar lagi. Ya sedikit koleksi buku kedokteran dan farmakologi serta makalah semasa kuliah yang masih kubawa sampai saat ini. Rumahku menjadi arena baca mereka yang mungkin tidak juga dimengerti oleh mereka. Tiba-tiba lampu mati karena genset kehabisan solar, dan anak-anak pun mulai pulang tetapi tidak dengan bocah ini tetap duduk menunggu di belakangku, menunggu.

Pukul 20.00, aku berpamitan pada mama Lina (pemilik rumah), meskipun semuanya belum bubar aku sudah berjanji pada anak-anak untuk membukakan “perpustakaan” kecilku sehingga aku memutuskan untuk pulang.

Aku berdiri bocah itu pun berdiri, melesat, kemudian menghilang dalam sekejapSesampainya di depan rumahku, di sana kulihat dia berdiri menanti, aku pun memasukan kunci dan membuka pintu. Dengan cepat ia melesat mencari tumpukan buku di sudut ruang tamuku dan membuka-bukanya melihat anatomi persyarafan walaupun tak satu pun yang dapat dibaca olehnya. Ia selalu ingin menyentuh buku dan dari matanya tersimpan rasa ingin tahu yang besar untuk memahami isinya lembar demi lembar. Ternyata bocah itu bernama Mus.

***

Berlanjut kisah lain. Tanggal berapa tepatnya tidak teringat olehku. Malam itu pintu rumah ku diketok. “Malam pak, malam.” Suara itu membangunkanku dari tidur setengah sadar kira-kira pukul 22.30. Lalu aku membukakan pintu dan ada beberapa pemuda kampung sebelah berada di depan pintu rumah ku. “Kamu ada perlu apa malam-malam begini”? kusapa mereka dengan mata sedikit sayu. “Begini pak, ada keluarga kami yang meninggal pak, anak-anaknya masih diluar (merantau keluar daerah) semua pak, bapak bisa kasih suntik formalin ko? supaya awet sampe lusa begitu?’’

Sesaat aku tertegun dan bertanya dalam hati: “dari mana formalin ku dapat? Sudah larut, puskesmas jaraknya jauh itupun seandainya ada formalin di puskesmas? aku bingung bercampur rasa kasihan karena mereka pasti kecewa kalau aku menolak membantu.” Tetapi akhirnya bertanya: “dirumah ada minyak tanah?”  “Tidak ada pak.” “Kalau begitu sabar sedikit, saya tuang minyak tanah untuk kita bawa e.” Lalu mereka bertanya “untuk apa ini”? Aku menjawab: “ganti formalin nanti kita pakai minyak tanah karena saya tidak ada formalin.”

Untunglah mereka percaya padaku dan tidak bertanya banyak tentang masalah ini. Sebetulnya ide menggantikan formalin dengan minyak tanah ku dapatkan ketika waktu duduk di bangku sekolah dasar. Ada seorang pastor Belanda yang juga perawat mengawetkan mayat di kampungku dengan minyak tanah karena ketiadaan formalin dan lumayan hasilnya mayat itu tidak menjadi bangkai berbau.

Setelah menyiapkan minyak tanah 4 liter, aku menelusuri malam dengan 4 orang pemuda ini dan aku mengguyur minyak tanah sama seperti formalin dengan protap yang hampir sama karena yang digantikan hanya jenis pengawetnya setelah selesai menyuntik minyak tanah (seharusnya menyuntik formalin kan?) aku pulang kira-kira pukul 02.00 tanpa diantar. Karena kelelahan yang luar biasa sesampainya di rumah aku langsung tertidur dengan pulasnya. Keesokan harinya aku terbangun dengan rasa penasaran dan was-was kalau-kalau ada keluarga yang datang kemudian komplein dengan aksi semalamku bahkan mungkin lebih dari itu mereka akan marah-marah serta mengamuk.

Akan tetapi, satu hari berlalu, dua hari, tiga hari hingga seminggu aku menunggu ternyata semuanya aman dan terkendali dan minggu berikutnya keluarga almarhum ke rumahku membawa seekor ayam jantan dan 1 botol tuak nomor satu (dari mana mereka tahu bahwa aku sering minum dan bukan vegetarian hahahha?) namun aku tersenyum simpul dalam hati berkata: lidocain pembunuh sepi ku benar-benar tersuplai, dan ini anastesi luar biasa).

Di sini pengetahuan yang aku miliki menjadi sangat tidak berarti mengingat ketiadaan fasilitas. Jangan anda berharap untuk membalut luka dengan kasa! Kain sobek adalah pembalut yang paling bonavide, jangan anda berfikir membidai fraktur dengan spalak. Pelepah pisang adalah spalak terhebat yang mendukung anda. Tak ada air bersih yang memenuhi kualitas maupun kuantitas di sini. Meski pekerjaanku tak pernah membuat aku menjadi hebat, tapi kini aku merasa bahagia. Karena di sini aku bisa bermain bola di padang luas, memanjat pohon kusambi, mencari signal telpon di atas pohon asam, dan rela berbagi air minum dengan ternak, berteduh di bawah pohon tuak (lontar), tersentuh oleh kepolosan dan jeritan pertolongan orang-orang. Ini sangatlah membahagiakan.

Dengan keberadaan aku di sini, aku semakin tahu bahwa Indonesia adalah ruang yang cerah dan optimisme seperti Mus yang selalu berusaha ingin tahu dalam kekurangannya. Ada semangat yang hebat dalam diri anak-anak yang belajar membaca. Ada tawa kesederhanaan dalam diri Mia. Ada kekuatan dalam diri Nia. Mereka adalah bingkai Indonesia yang sering dilupakan pemilik mereka, mereka adalah potret semesta penuh optimisme. Mereka tak mengenal hp ataupun laptop seperti anak seusia mereka. Mereka tak tahu apa itu chatting, browsing, download apalagi facebook, twitter, blog, my space ataupun google + . Tetapi mereka adalah link bagi kita untuk menemukan website cinta dan ketulusan. Mereka adalah face to face yang polos bukan face to book yang penuh kepalsuan.

***

Masih terekam dengan jelas dalam ingatanku, ketika awal aku ‘dipaksakan’ untuk mengajar oleh situasi dan permintaan Kepala Desa, Bapak Anus Roghe. Aku diminta menangani kelas 2,3 dan 5 namun tidak ada jam mengajar yang tepat karena jika aku mengambil sampel darah maka tugas mengajar ku untuk sementara digantikan oleh orang lain.

Pagi itu, seorang ibu berbaju daster lusuh bermotif bunga bergaris bayang merah dengan retas di sana-sini. Bagian bawahnya menggunakan kain tetron yang pudar sedikit dekil. Rambut ubannya disanggul apa adanya. Giginya tampak merah kehitaman dan legam pekatnya karena kebiasaan makan sirih. Kakinya tak bersandal. Dia memegang tangan anak kecil berusia 6-7 tahun, berbaju tak kalah lusuh dengan ibunya. Di genggaman tangan ibunya, ia tampaknya penurut dan enteng. Matanya memancarkan ingin tahu yang hebat. Tetapi kaki dan kesigapan tubuhnya mengisyaratkan bahwa ia ingin berlari keluar dan bermain. Mungkin ibu itu terlalu lelah belajar berdamai dengan hidup sehingga lupa belajar bahasa Indonesia. Ibu ini berbicara tentang sesuatu dengan Bapak Kepala Sekolah dan aku masih belum mengerti apa yang dibahas. Setelah itu anak dan ibu itu ke luar dari ruang kepala sekolah.

Aku masih ingat raut wajah itu, wajah tidak ceria tapi ada keberanian disana. Ia berani mengambil resiko untuk kehilangan setengah penghasilan atau seluruhnya untuk sesuatu yang belum dirasakan manfaatnya sekarang ini. Ia melepaskan anaknya yang mungkin bisa membantunya mengiris tuak ke tempat yang kata orang tidak berguna. Raut muka itu lelah, tetapi aku dapat melihat ada harapan dan tekad yang tersisa di sana, paling tidak untuk mengubah harapan hidup lebih baik dari dirinya. Harapan akan suatu dunia yang lebih mudah untuk dijalani bagi anak kesayangannya itu.

Benar ibu dengan alat ini kita bisa mengetahui bagian yang rusak dan mengetahui cara memperbaikinya dan dengan alat ini seseorang dapat mengetahui daya gunanya bagi orang lain. Karena pendidikanlah seseorang belajar melihat, membaca, mengukur diri, menimbang sejauh mana ketertinggalan dan sekuat apa harus berlari menyusul…

***

Di sini,..................

Aku belajar pada kenyataan bahwa bermimpi dan punya cita-cita seringkali masih terdengar tidak biasa. Aku dihadapkan pada anak-anak yang belum mengenal betapa luasnya dunia dan betapa hebatnya kekuatan mimpi.

Meski mereka tak memeliki seragam, sepatu, topi dan dasi tetapi mereka mengagumi merah putih bersuara dengan lantang tentang Indonesia raya hingga ke sanubari hati terdalam mereka.

Aku bersama mereka berbicara tentang ketulusan. Tidak berbicara prestasi, yang hanya mengejar prestasi dan melihat kekurangan sebagai kesalahan. Tidak berkata kompetisi, kompetisi sempit sering membuat dunia terbagi, memahami kejujuran sebagai keterbelakangan.

Tidak mengintip rumput tetangga yang seringkali lebih hijau dan subur dan tidak pernah tau bahwa miliknya unik. Tidak memandang semua kesempatan baik sebagi sebuah peluang yang mesti diambil, karena ketika tangan menggengam semua tersadar tidak satupun yang bisa dikerjakan.

Tidak mendiskusikan keberadaan, aktris besar menjadi besar, bukan karena ratusan drama yang diperankan, tapi kedalaman jiwa dalam tiap tokoh yang terpancar.

Tidak menggoarkan hasil,hasil banyak membuat orang buta,untuk saling mengejar dan diakui. Tidak menghiraukan opini orang, kiri dan kanan berhak menilai berapa pun, tetapi mimpi tercapai ketika konsisten. Percaya pada proses, bukan sesumbar dan kemasan cantik, bukti lebih kuat daripada presentasi ratusan rencana.

Hanya memberi, memberi dari apa yang terkasih di hatinya,h ingga tangannya lupa bahwa sudah memberi. Hanya melihat impian, mimpi yang lebih berharga dari sebuah penghargaan.

Pikirannya tidak terbelokan oleh pujian, apalagi terhentikan. Hanya fokus pada sasaran, bukan indahnya hiasan yang mengelilingi, pernak-pernik lebih menarik mata tetapi sasaran menyiapkan masa depan yang lebih baik.

Balik layar menjadi posisi terbalik, jika hal itu menjadi lebih berdampak membangun dari pada menjadi aktor utama.

Prestasi, penghargaan, keberadaan, kemenangan, kompetisi, apresiasi, bergulir dengan sendirinya ketika melihat ketulusan, tetap tulus. Ketulusan akan menjadi tulus bila tetap tulus.

Di sini kita melupakan bahwa demokrat sedang terpecah, BBM akan naik, ada Dhana tersangka baru penggelapan pajak mengikuti jejak sang kakak Gayus, dan bila mungkin ada pembagian BLT mereka tak mungkin mengecapnya.

Di sini, saya meliburkan pikiran dari konspirasi politik negeri ini yang tidak berpikir tentang mereka-mereka ini, tetapi lebih suka dengan aneka retorika demi dan untuk kekuasaan segelintir orang..

Salam Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun