Kehidupan Sosial-Kemasyarakatan
Masyarakat Adat Tamambaloh sudah sejak lama terdidik. Pendidikan mereka sudah mulai dirintis oleh para Imam Kapusin yang berkarya di sana tahun 1908. Jauh sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Tamambaloh sudah mulai dididik di sekolah dan asrama yang dibangun serta dikelolah oleh para pastor Kapusin asal Belanda. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak orang Tamambaloh yang saat pada masa lalu hingga saat ini menduduki tempat-tempat utama dalam pemerintahan. Kebanyakan putera-puteri terbaik Tamambaloh yang mengenyam pendidikan tinggi mengabdi tempat lain karena faktor tugas dan pekerjaan mereka.
Yang menetap di kampung sebagian besar adalah para petani, para pedagang, para guru SD-SLTP-SLTA, para pegawai kesehatan, dan para pegawai kecamatan. Karena bantaran Sungai Embaloh sangat subur oleh endapan lumpur dari Hulu Sungai Embaloh, maka para petani Tamambaloh tidak terlalu sulit mengerjakan ladang mereka. Hasil padi sangat mencukupi. Selain itu, masyarakat Tamambaloh juga sudah membudidayakan aneka tanaman perdagangan seperti: karet, gaharu, coklat, dan Tengkawang. Akan tetapi, karet-lah yang menjadi andalah utama sumber pendapatan mereka.
Meskipun masyarakat Tamambaloh sudah membudidayakan aneka tanaman perdagangan, mereka tetap menanam padi. Kegiatan berladang untuk menanam padi ini selain bertujuan ekonomis untuk swasembada pangan, juga bertujuaan kultural. Karena dari aktivitas menanam padi inilah identitas kebudayaan mereka yang terkait dengan mensyukuri roh padi pada Gawai Pamole Beo bisa teraktualisasi. Karena itu, melarang masyarakat Tamambaloh berladang dan menanam padi melainkan menanam sawit sama dengan memberangus kebudayaan Tamambaloh.