Di tengah kelangkaan energi yang menimpa bangsa-bangsa di dunia, para pemimpin bangsa mulai mencari alternatif energi terbarukan. Karena disadari bahwa cadangan energi fosil akan habis. Karena itu,sumber energi terbarukan mulai digalakan. Beberapa jenis tanaman cukup menjanjikan untuk dijadikan sebagai sumber energi alternatif seperti jagung, kacang kedelai, jarak, enau dan sawit.
Dalam rangka mengatasi kelangkaan energi inilah, lahan-lahan pertaniaan di wilayah tropis menjadi incaran para investor. Hutan-hutan dan lahan gambut dibuka dan ditanami aneka tanaman tersebut tidak terkecuali hutan-hutan di Indonesia. Karena sawit menjadi favorit/primadona, maka pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya menjadi target utama pengembangan komoditi sawit oleh pemerintah Indonesia.
Mengapa menjadi target? Karena pulau-pulau tersebut dianggap masih mempunyai lahan kosong alias lahan tidur. Akibatnya, pulau-pulau tersebut dikapling-kapling, dipetakan dan dijual ke berbagai investor. Pemiliknya bukan lagi rakyat yang lahir turun-temurun di atas pulau-pulau tersebut, tetapi para pemodal baik lokal maupun mancanegara. Maka bukan rahasia lagi, jika tanah, hutan, sungai, gunung di pulau-pulau tersebut dikuasai oleh segelintir orang kaya berkat “perselingkuhan mesra” dengan penguasa lokal, sementara rakyat yang menghuni pulau-pulau tersebut dijadikan “orang asing” di atas tanah dan pulaunya. Semuanya untuk apa dan untuk siapa? Atas nama UUD 1945 bahwa tanah, air, udara, dikuasai oleh negara dan digunakan sebanyaknya-banyaknya bagi kesejahteraan rakyat, pemerintah mengambil alih seluruh lahan masyarakat lokal, masyarakat adat di pulau-pulau tersebut untuk diserahkan kepada pihak lain untuk dikelolah dan rakyatnya sendiri yang menghuni pulau-pulau tersebut dijadikan “kuli” di atas tanah leluhur mereka.
Sebenarnya untuk kemajuan siapa? Untuk kesejahteraan siapa? Yang ada hanyalah untuk kesejahteraan elit-elit penguasa di tingkat lokal. Meski rakyat di pulau-pulau tersebut hidup dalam kemiskinan, para pejabatnya bergaya seperti pengusaha. Karena mereka bukan hanya hidup dari gaji, tetapi terutama dihidupi oleh para pengusaha melalui fee-fee yang mereka dapatkan dalam proses perizinan, pengoperasian, dan pasca pengoperasian perusahaan-perusahaan skala besar. Karena itu, para penguasa lokal di atas dasar UU otonomi daerah menggunakan berbagai macam cara untuk memasukkan sebanyak mungkin investor di atas tanah rakyatnya untuk ditanami sawit. Hutan yang dijaga oleh masyarakat adat secara turun-temurun diambil alih, dijadikan wilayah Areal Penggunaan Lain (APL) melalui konsep tata ruang kabupaten dan kemudian diserahkan kepada pengusaha sawit. Sementara itu, PERDA yang mengakui HAK ULAYAT MASYARAKAT ADAT tidak akan pernah dibuat. Inilah yang sebetulnya bentuk baru dari penjajahan alias NEOKOLONIALISME.
Oleh karena itu, merupakan sikap yang tepat ketika seluruh masyarakat adat Embaloh Hulu mendesak Bupati Kapuas Hulu untuk menghormati kedaulatan rakyatnya mengelolah tanah, air, dan hutan mereka sendiri dengan beberapa poin tuntutan berikut ini:
a. Menolak Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan perusahaan besar lainnya di wilayah Masyarakat Adat Kecamatan Embaloh Hulu.
b. Meminta Pemerintah daerah Kabupaten Kapuas Hulu Untuk Membatalkan Izin-izin Perkebunan Kelapa sawit dan perusahaan besar lainnya di wilayah masyarakat Adat Kecamatan Embaloh Hulu
c. Menuntut Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu dan Dewan Perwakilan Daerah ( DPRD) untuk membuat peraturan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat (wilayah Adat, Hukum adat, dan adat istiada).
d. Meminta Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu untuk mengembalikan peruntukkan dan pengelolaan sumber daya alam kepada masyarakat adat Kecamatan Embaloh Hulu
e. Menuntut Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu mengubah tata ruang wilayah yang berkaitan dengan Areal Penggunaan Lain ( APL ) di Kecamatan Embaloh Hulu supaya pengelolaannya di kembalikan kepada masyarakat adat
f. Mendorong perumusan tata ruang wilayah Kabupaten Kapuas Hulu dengan melibatkan peran serta masyarakat adat.