[caption id="attachment_157945" align="aligncenter" width="545" caption="Gambar Ilustrasi: seruu.com"][/caption]
Kasus Mesuji, Bima, Papua yang telah terungkap ke publik dan masih banyak kasus lainnya di berbagai pulau di negeri ini yang masih tertutup rapat merupakan gunung es serentak bom waktu bagi Indonesia. Dikatakan gunung es, karena akar persoalan sesungguhnya adalah "perasaan terluka" dari anak bangsa ketika tanah, air, hutan, yang merupakan kekayaan utama negeri susu dan madu ini hanya dimonopoli oleh pihak-pihak swasta. Hal ini dimungkinkan atas nama investasi. Atas nama investasi dan kemajuan, pemerintah Indonesia melalui aneka kebijakkan menyerahkan tanah rakyat kepada pihak lain untuk dikelolah, sementara rakyat Indonesia sendiri dijadikan kuli di atas tanahnya sendiri. Sesungguhnya arus deras dari gunung es semua persoalan ini adalah perasaan kecewa mendalam rakyat jelata karena neokolonialisme sedang terjadi di negeri ini. Dengan demikian, sesungguhnya skema imperialisme sedang berkembang di negeri ini.
Untuk mendukung skema kaum imperialis ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Semua aturan terkait perkebunan, pertambangan mineral dan batubara, penanaman modal dan pertanian pangan tersebut mencerminkan bahwa pemerintah lebih "ramah" kepada investor daripada kepada rakyatnya sendiri. Karena memberikan fasilitas sedemikian luas kepada modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui konsesi hak guna usaha, kontrak karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi lainnya bagi investor asing untuk menguasai tanah di Indonesia.
Dalam pandangan kaum tani Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), aturan-aturan yang disebutkan di atas, memberikan pengesahan atas terjadinya perampasan tanah dalam bentuk perluasan perkebunan skala raksasa dan pertanian pangan skala raksasa (food estates), yang dilakukan oleh rezim SBY-Budiono.
Melalui skema pertanian pangan skala raksasa, produksi pangan akan diandalkan pada perusahaan-perusahaan industri pangan. Dengan demikian, melalui skema pertanian pangan skala raksasa ini, tanah kaum tani akan dirampas secara brutal dan setelah itu, kaum tani akan dipaksa menjadi buruh tani secara besar-besaran di kawasan industri pertanian itu. Tentu saja, hal ini akan menyebabkan akses rakyat terhadap pangan semakin sulit, apalagi jika sebelumnya Indonesia adalah negeri pengimpor pangan.
Indonesia sendiri selama sepuluh tahun terakhir merupakan negeri pengimpor utama bahan pangan (antara lain beras, kedelai, gula, garam, jagung), tentu dapat dipastikan mendapatkan pukulan yang paling hebat, karena krisis pangan dunia ini. Setiap tahun Pemerintah Indonesia harus menguras devisa lebih dari US$ 5 miliar atau senilai dengan Rp 50 triliun, untuk mengimpor pangan.
Ironisnya, sementara banyak negeri penghasil pangan utama bergerak cepat untuk melarang ekspor beras karena krisis imperialisme ini akan terus berlanjut, pejabat-pejabat Indonesia malah bergerak cepat untuk mempromosikan ekspor beras, karena panen padi awal tahun 2008, yang dianggap berhasil. Sikap ini sungguh menyakitkan hati rakyat tani. Karena kenyataan di lapangan, petani penghasil padi menjerit harga jual padinya merosot drastis dan dipermainkan oleh tengkulak dan Bulog.
Meskipun rezim politik di Indonesia telah berganti beberapa kali sejak Soeharto ditumbangkan tahun 1998, watak penghisap dan penindas dari rezim politiknya tidak pernah berubah. Wataknya tetap sama, yakni menguras sumber daya alam yang masih tersisa sampai kering, memonopoli industri bahan baku sampai dengan industri pengolahan, menggantungkan diri pada utang, mengedepankan proyek-proyek infrastruktur raksasa yang rakus akan tanah-tanah yang luas, mengundang kemudahan investor asing untuk melakukan penanaman modal, merampas upah kelas buruh, dan mencaplok tanah-tanah milik kaum tani, yang dalam krisis umum imperialisme sekarang, perampasan tanah tersebut akan diabdikan guna memproduksi pangan dan bahan bakar nabati.
Semua ini akan menjadi "bom waktu" yang cepat atau lambat akan meledak di negeri ini jika tidak ada etikat baik dari pemerintah untuk mengevaluasi diri dan membenahi tatanan kebijakkan yang tidak pro rakyat. Sejarah Amerika Latin yang ditandai oleh penguasaan tanah oleh segelintir orang yang digolongkan sebagai tuan tanah (kaum borjuis) dan para penggarap (kaum proletar) pelan-pelan akan terjadi di negeri ini. Banyak suku-suku dan penduduk asli di berbagai pulau di negeri ini tergusur dan tersingkir oleh kebijakkan pemerintah atas nama kemajuan. Banyak rakyat telah kehilangan tanah, kampung halaman, warisan budaya dan ikatan kekeluargaan sesama suku oleh karena tanah mereka diambil-alih dengan berbagai cara untuk perkebunan dan pertambangan skala besar. Jika semuanya telah kian menggunung dan memanas "revolusi" akan menghantam negeri ini. Rakyat jelata yang kehilangan hak atas tanah mereka akan berkonsolidasi secara alamiah sebagai mekanisme bertahan hidup.
[caption id="attachment_157949" align="aligncenter" width="640" caption="JAKARTA- Ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa, petani, buruh dan elemen masyarakat lainnya dan tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia melakukan aksi unjuk rasa menuntut kepada pemerintah dan DPR RI untuk segera menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak tanah rakyat dan segera memperbaiki UU Agraria didepan pintu gerbang gedung MPR/DPR/DPD-RI, Jakarta, Kamis(12/1). Dalam aksinya mereka merobohkan pagar pintu gedung Parlemen RI, merusak pagar besi pembatas jalan tol dan fasilitas lainnya. Perusakan dilakukan untuk menghalau laju kendaraan di jalan tol, akibat aksi nekat tersebut akhirnya polisi mengambil tindakan tegas serta mengamankan sejumlah demonstran dan menghalau massa menutup ruas jalan tol.Portaltiga / Jimmy VR / 2012 (Sumber: http://www.portaltigaimage.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H