Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maraknya Motor dan Mobil Buatan Malaysia di Wilayah Perbatasan

20 Januari 2012   03:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:39 2028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1327038772685197322

[caption id="attachment_164947" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/admin (Shutetrstock)"][/caption]

Persoalan perbatasan memang serba kompleks: dari minimnya infrastruktur yang diidentikan dengan keterbelakangan, mudahnya menemukan produk-produk negara tetangga di warung-warung, sampai dengan berkeliaran kendaraan tanpa plat nomor Indonesia. Kendaraan tanpa plat nomor ini bukan kendaraan warga Malaysia yang berkeliaran dan melancong di Indonesia tetapi kendaraan yang dimiliki oleh WNI di daerah perbatasan secara ilegal dengan harga miring: dari sepeda motor sampai dengan mobil-mobil mewah.

Hal ini bukan menunjukkan bahwa masyarakat perbatasan makmur dan sejahterah, tetapi karena mudah dan murahnya membeli kendaraan-kendaraan tersebut dari Malaysia. Banjir kendaraan ilegal dari Malaysia terjadi sejak zaman maraknya illegal logging di wilayah perbatasan beberapa tahun silam tatkala para cukong kayu Malaysia begitu leluasa membabat hutan di wilayah Indonesia berkat perselingkuhan dengan PEMDA dan aparat pemerintahan setempat. Pada periode tersebut, masyarakat perbatasan kebanjiran ringgit Malaysia dari hasil kerja kayu. Dengan uang ringgit tersebutlah, masyarakat perbatasan membeli kendaraan-kendaraan Malaysia tanpa  surat-surat dan pajak. Harga sepeda motor dari Malaysia pada saat itu berkisar Rp 2000.000-3.000.000. Sedangkan kisaran harga mobil dari Rp 5.000.000-Rp 15.000.000. Untuk mendapatkan uang sebanyak itu bukanlah perkara sulit, karena rata-rata penghasilan masyarakat perbatasan yang terlibat illegal logging pada masa itu mencampai Rp 5.000.000 setiap hari. Penghasilan sebanyak ini tentu mengejutkan bagi mereka. Mereka bingung dengan uang sebanyak itu. Karena itu ada lelucon yang sering terdengar sampai saat ini: "pada zaman itu, beer pun digunakan untuk nyuci tangan, lembaran uang Rp 100.ooo berhamburan di meja bliar dan kelang sabung."

Itu cerita masa lalu, ketika cukong-cukong kayu Malaysia masih bebas beroperasi di wilayah perbatasan. Sekarang hanya tersisa penyesalan, kayu habis dan uang pun ludes. Untuk keluarga yang masih menyimpan di BRI dan CU, saat ini tidak perlu berkalut untuk pendidikan anak dari bunga tabungan mereka di masa jaya tersebut. Sementara bagi yang berpikiran pendek pada masa itu, sekarang baru dihinggapi penyesalan. Dengan terpaksa mereka menjadi kuli di perkebunan-perkebunan kelapa sawit di perbatasan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga meski kurang karena umumnya mereka adalah pekerja-pekerja/buruh-buruh harian lepas dengan pendapatan Rp 30.000-Rp 50.000.00 per hari. Tentu mereka harus banyak berhemat dengan penghasilan sebesar itu.

Sisa-sisa kejayaan masa lalu masih tampak dalam kendaraan-kendaraan Malaysia. Untuk kendaraan-kendaraan dari Malaysia yang dimiliki penduduk perbatasan mulai dari Puring Kencana, Nanga Kantuk, Badau, Lanjak, dan Embaloh Hulu hanya diperkenankan digunakan disekitar 5 kecamatan perbatasan tersebut. Ada kesepakatan dengan aparat penegak hukum agar kendaraan-kendaraan tersebut tidak pernah boleh dibawa masuk ke Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu. Kecuali ada urusan-urusan mendesak seperti mengantar orang sakit, maka keluarga-keluarga yang empunya mobil tersebut dapat meminta surat keterangan ke POLSEK setempat untuk mengantar keluarga yang sakit ke Putussibau. Biasanya, kendaraan akan dititipkan di Markas POLRES setelah si sakit diantar ke RS dan akan diambil ketika mau kembali ke kampung halaman. Itinya, kendaraan dengan surat izin khusus tersebut tidak diperkenankan untuk berkeliaran dengan bebas di kota Putussibau selama ada kepentingan khusus.

Kendaraan-kendaraan yang dimiliki masyarakat perbatasan umumnya digunakan warga mengangkut hasil bumi seperti padi, kulak karet, durian, atau ikan hasil tangkapan sungai dan danau. Selain itu, sering dicarter juga sesama warga atau disewakan untuk aneka keperluan di lintas wilayah 5 kecamatan. Kadang-kadang kendaraan tersebut juga digunakan untuk berbelanja bahan kebutuhan pokok ke Lubuk Antuk, Malaysia atau menjual hasil bumi di pasar-pasar di sekitar wilayah perbatasan.

Untuk saat ini, kendaraan-kendaraan Malaysia yang masih beroperasi adalah kendaraan milik keluarga yang masih mampu membeli BBM dan mengganti spare part yang rusak. Bagi keluarga-keluarga yang tidak mampu, mobil-mobil tersebut hanya dijadikan pajangan di depan rumah betang sebagai kenangan akan kejayaan di masa lampau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun