Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

NTT Miskin: Gubernur Salahkan Pers

29 Desember 2011   17:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:36 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai putera kelahiran NTT, tepatnya di sebuah kota kecil nan dingin-Bajawa, saya sering merasa malu ketika "kemiskinan" selalu menjadi "label" untuk propinsi kelahiranku. Dulu ketika masih kuliah ada dosen Filsafat Sosial selalu memplesetkan NTT dengan Nusa Tertinggal Terbelakang ketika sedang mengajar untuk mengolok-olok mahasiswa asal NTT. Apalagi ada berita di Harian Kompas soal NTT, pasti koran KOMPAS akan dibawanya ke ruang kelas dan diulas selama 15 menit sebelum kuliah dimulai. Ketika berbicara soal Flores, sebagai Pulau Bunga dari asal katanya, dosenku yang satu ini selalu mengatakan Flores sebagai "Pulau bunga" hanyalah sebuah fatamorgana. Mengapa? Karena di sana dia tidak menjumpai bunga sedikit pun. Yang dijumpainya hanyalah padang savana, batu-batu, dan stepa. Tidak ada bunga. Penamaan pulau gersang tersebut sebagai Flores adalah sesat dan semacam opium untuk meninabobokan penduduknya untuk tidak kreatif menjadikan pulaunya sebagai sungguh-sungguh pulau bunga.

Awalnya, kata-kata dosenku yang satu ini pada saat itu, selalu membuat saya sebagai putera kelahiran Flores, NTT selalu marah dan tersinggung karena persis menyentuh ego kedaerahanku. Apalagi dosenku ini berasal dari Jawa Barat, yang tidak sungguh-sungguh mengenal jeroan dari Pulau Flores dan NTT secara baik. Komentarnya hanya bertolak dari media yang selalu mengekspos ketertinggalan dan kemiskinan NTT. Namun, belakangan saya mulai sadar dan melihat semua kritikan tersebut sebagai ungkapan sayang dari orang-orang yang peduli dengan realitas kemiskinan NTT. Mereka hanya ingin agar NTT bisa sejajar dengan propinsi-propinsi lain di negeri yang katanya kaya akan susu dan madu ini dalam peringkat kesejahteraan masyarakatnya.

Mungkin perasaan  yang sama dialami oleh Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, ketika meminta Pers untuk tidak hanya mengekspos kemiskinan NTT dengan alasan: a) NTT memiliki banyak sumber daya alam dan terus bergerak menuju kemajuan; b) pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2011 meningkat menjadi 7 persen, dari sebelumnya 5 persen; c) angka kemiskinan pun turun dari 28,58 persen (2008) menjadi 21,03 persen (2011); d) banyaknya penumpang yang memadati ruang tunggu Bandara El Tari Kupang sebagai contoh indikator kemajuan ekonomi NTT (Kompas.Com/29-12-2011).

Menurut saya, sikap Gubernur NTT yang seolah-olah menyalahkan Pers yang terlalu mem-blow up realitas kemiskinan NTT adalah sikap pejabat takut dikritik, mandek, dan tipe penganut mentalitas status quo. Mengapa? Media dan insan Pers tidak akan mengekspos terus-menerus perihal kemiskinan dan ketertinggalan NTT, jika faktanya ada pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat NTT. Insan Pers juga tidak akan "asal omong" jika tanpa didukung data-data yang valid mengenai apa yang diberitakan.

Karena itu, janganlah terlalu reaktif dan defensif ketika pers terus mengangkat realitas kemiskinan dan keterbelakangan propinsi NTT. Jangan memandangnya hanya sebagai "batu sandungan-mu" sebagai orang nomor satu di NTT, tetapi pandanglah sebagai "batu loncatan" untuk memperbaiki kinerjamu sebagai Gubernur NTT. Karena faktanya NTT selalu terkait dengan propinsi dengan tingkat krisis pangan yang sangat rawan setiap tahun dan banyak yang busung lapar setiap tahun. Untuk makan saja sulit, bagaimana bisa dikatakan sejahterah?

Buktikan saja bahwa dalam masa kepemimpinanmu, apa yang dikatakan pers tidak benar. Jika insan pers masih menemukan kenyataan kemiskinan dan keterbelakangan NTT dalam berbagai bidang kehidupan, maka berita tentang NTT akan selalu identik dengan Nusa Tertinggal dan Terbelakang sampai kapanpun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun