[caption id="attachment_147473" align="aligncenter" width="648" caption="Pak Lein: Guru Sederhana, Teguh dalam Prinsip, Lembut dalam Cara"][/caption]
Pak Lein, setelah pengabdiannya di sekolah pertama dalam kisah bagian pertama, kemudian dipindahkan dari daerah Sejiram ke Kecamatan Embaloh Hulu pada tahun 1982. Sebagai guru bujangan tentu bukan hal sulit baginya dipindahkan ke tempat yang jauh lebih udik pada saat itu. Apalagi harta berharga yang dibawanya hanyalah ijazah dan sebuah seterika arang cap jago yang dibelinya dengan gaji pertama. Hatinya tetap bebas seperti awan karena sumpah profesinya untuk siap ditempatkan di mana pun selalu menjadi pegangannya. Untuk sampai ke tempat tugas yang baru, Pak Lein harus menunggu motor bandung yang mudik di Sungai Kapuas dan turun di Nanga Embaloh, kota kecil muara pertemuan Sungai Embaloh dan Sungai Kapuas. Dari Nanga Embaloh, Pak Lein numpang motor air milik seorang pedagang keliling. Dia harus menghabiskan satu Minggu perjalanan menyusuri Sungai Embaloh karena pemilik motor air selalu mampir di kampung-kampung di sepanjang Sungai Embaloh.
Sesampai di Kecamatan Embaloh Hulu, Dia ditempatkan di SD Temau seorang diri menggantikan rekan guru seniornya yang sebelumnya meninggal, namanya Pak Bruno. Sambutan pertama yang diterimanya adalah sapaan seorang ibu dan pertolongannya untuk mengantarkan Pak Lein ke rumah sekolah. Ibu inilah yang kemudian menjadi Ibu mertuanya, karena anak gadisnya dipersunting oleh Pak Lein.
Pada tahun 1985 ia mempersunting Bu Ungkok, seorang gadis Tamambaloh dan dikaruniai 2 orang putri dan 1 orang putra yang cerdas. Putri sulungnya telah menyelesaikan kuliah di Universitas Sanata Darma dan mengikuti jejak ayahnya menjadi guru SLTP. Putra keduanya baru tahun kemarin menamatkan studinya di Madiun dan sekarang sedang mencari-cari sekolah untuk me ngabdikan diri sebagai guru Bahasa Indonesia sesuai bidang studi yang digelutinya. Sedangkan Putri bungsunya sedang menyelesaikan studi keguruan di Sanata Darma. Teladan keguruan Pak Lein rupanya juga mempengaruhi orientasi dan pilihan hidup ketiga anaknya. Ketiganya mau menjadi guru menggantikan ayah mereka yang beberapa tahun lagi memasuki usia pensiun.
Satu hal yang menarik adalah prinsip hidup Pak Lein untuk mengutamakan pendidikan anak di atas segalanya. Ketika rekan-rekan gurunya membangun rumah, Pak Lein tetap betah tinggal di perumahan guru yang sudah usang karena putri sulungnya sedang membutuhkan banyak biaya untuk kuliah. Sesudah putri sulung memasuki tahun kuliah kedua, ia baru mulai membangun rumah pribadi yang sangat sederhana untuk ukuran guru dengan golongan 4 A. Baginya, perucuma memiliki rumah bagus, jika anak-anak yang mendiami rumah tersebut SDM-nya rendah.
Prinsipnya untuk menomorsatukan pendidikan anak juga mengalahkan rasa kangennya kepada keluarga besar dan kampung halaman. Sejak meninggalkan tanah kelahirannya hingga hari ini belum sekali pun Pak Lein pulang atau berlibur ke tanah kelahirannya. Baginya, ongkos pulang ke kampung halaman sangat besar. Karena itu, dia menunda kerinduannya untuk berlibur bersama keluarga ke kampung halamannya setelah putri bungsunya menyelesaikan studinya tahun depan.
Ketika banyak guru sibuk dengan kuliah jarak jauh untuk penyetaraan D2, D3, dan S1, Pak Lein tetap pada prinsip, biarkanlah anak-anaknya yang melanjutkan cita-citanya untuk mencapai jenjang-jenjang tersebut. Dia tetap dengan ijasah lulusan SPG-nya. Baginya, titel tidak menentukan kualitas pengabdian seorang guru. Tatkala rekan-rekan  guru sibuk dengan aneka tunjangan, Pak Lein tenang-tenang saja. Baginya, gaji yang ada sudah cukup, meski harus menggali lubang dan menutup lubang di Credit Union (CU) untuk pendidikan anak-anaknya. Kalau diberi pemerintah ya syukur, kalau tidak diberi pun bukan berarti mogok mengajar. Sebab kebahagiaan tertinggi dan kepuasan batinnya yang tertinggi bukan ditentukan oleh seberapa besar negara menghargai profesinya sebagai guru dalam bentuk rupiah, tetapi pada satu demi satu murid-muridnya telah berhasil menjadi manusia yang berguna di tengah masyarakat. Kebahagiaan tertitinggi baginya adalah ketika menyaksikan bahwa para mantan muridnya banyak sudah S1 dan menjadi guru, perawat, pegawai kantor pemerintahan, dll. Singkatnya, keberhasilan mantan muridnya di kancah kehidupan adalah kepuasan batin tersendiri baginya yang tidak bisa dinilai dengan jumlah rupiah.
Kini, Pak Lein menantikan saat-saat di mana ia harus pensiun karena usinya sudah bukan muda lagi. Namun semangat mengajarnya masih tinggi. Setiap hari ke sekolah dari rumahnya yang berjarak 3 KM berjalan kaki bersama dengan murid-muridnya yang orang tuanya tidak punya sepeda motor untuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah. Dia dikenal oleh para muridnya sebagai guru yang tegas dalam prinsip, disiplin dalam hal waktu, tetapi lembut dalam cara pendekatan kepada para muridnya.
Semoga semangat pengabdian Guru Lein menular kepada para mantan muridnya yang menjadi guru saat ini di mana pun mereka bertugas. Sebab semakin langka guru-guru dengan semangat hidup ugahari, yang mengajar bukan hanya dengan kata-kata, tetapi serentak dengan teladan hidup. Berbahagialah mereka yang pernah dididik oleh guru-guru seperti Pak Lein. Bagiku dia adalah guru teladan, meski dia paling anti jika disebut sebagai guru teladan. Karena baginya yang pantas menyandang guru teladan hanyalah Sang Guru sejati yang diimaninya.
Bagi yang belum mengikuti kisah bagian pertama, ini linknya: