[caption id="attachment_151392" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Beberapa hari terakhir ini terjadi kasak-kusuk di antara para guru di wilayah perbatasan RI-Malaysia. Apa pasal? Kasak-kusuk ini dipicu oleh karena beberapa orang guru SD dan SMP di perbatasan mendapatkan tunjangan perbatasan sampai belasan juta bahkan ada yang mencapai 20-an juta rupiah untuk tahun 2011. Lalu apa hubungannya dengan kasak-kusuk tersebut? Penyebabnya tiada lain adalah kecemburuan sosial. Menurut kesaksian dari beberapa guru, mereka merasa kecewa karena tunjangan perbatasan tidak semua guru mendapatkannya. Dalam satu sekolah hanya ada 1 orang guru yang mendapatkannya, sedangkan yang lainnya tidak. Pertanyaan mereka: apa kriterianya dan mekanismenya, sehingga ada yang mendapatkan dan ada yang tidak. Misalkan saja: di sebuah sekolah dari 8 orang guru yang mengajar di situ, hanya 1 orang saja yang mendapatkan tunjangan perbatasan untuk tahun 2011.Padahal semuanya mengajar di sekolah-sekolah yang sama di wilayah perbatasan. Bahkan ada yang sudah puluhan tahun mengabdi sebagai guru di wilayah perbatasan justru tidak mendapatkan tunjangan yang dimaksud. Jelas, hal ini menimbulkan kecemburuan sosial di antara para guru sendiri. Bahkan ada guru yang kemudian mogok mengajar beberapa hari ini karena saking dongkolnya dengan "ketidakadilan" yang mereka alami.
Yang menjadi persoalan utamanya di sini adalah soal transparansi mekanisme/prosedur permohonan untuk mendapatkan tunjangan perbatasan. Apakah itu diurus/diajukan oleh para guru dan kemudian diverifkasi di daerah dan di pusat, sehingga menjadi dasar pertimbangan untuk menetapkan apakah guru A mendapatkannya dan guru B tidak layak mendapatkannya? Kejelasan mekanisme ini kepada semua guru di perbatasan dapat mengurangi aksi-aksi mogok mengajar karena merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. Karena apabila guru-guru yang tidak mendapatkan tunjangan perbatasan pada mogok mengajar, siapa yang menjadi korban dan dirugikan? Tentu para siswanya.
Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali kebijakkan untuk memberikan tunjangan perbatasan kepada para guru di perbatasan. Jika pemerintah ingin membantu para guru di wilayah perbatasan dengan tunjangan khusus yang dimaksud, sebaiknya tidak hanya untuk satu atau dua orang guru saja, tetapi untuk semua guru yang mengajar di sekolah-sekolah perbatasan. Jika, pemerintah tidak mampu menyediakan tunjangan untuk semua guru perbatasan, sebaiknya  tidak ada satu pun yang mendapatkan tunjangan tersebut.
Jika tunjangan guru perbatasan malah menurunkan profesionalisme guru, bahkan memicu kecemburuan sosial di antara para guru sendiri apakah masih relevan tunjangan "minimalis" tersebut tetap diberlakukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H