Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wanita Suku Iban Perbatasan dan Kekayaan Tenun Ikatnya

1 November 2011   18:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:11 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_139564" align="aligncenter" width="663" caption="Bu Jati Rajin Menenun agar Cucu Wanitanya Bisa Mewarisi Budaya Iban"][/caption] Suku Iban merupakan salah satu sub Suku Dayak yang hidupnya tersebar di perbatasan Malaysia dan Kalimantan Barat, khususnya di perbatasan Kabupaten Kapuas Hulu dan Malaysia. Umumnya, Suku Iban yang berdiam di wilayah Indonesia misalnya di wilayah Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Nanga Kantuk, Kecamatan Badau, Kecamatan Lanjak, dan Kecamatan  Embaloh Hulu, dikenal mempunyai pertalian darah dengan Suku Iban Malaysia. Karena mempunyai pertalian darah dengan warga Iban Malaysia, maka orang Iban Indonesia umumnya lebih mudah keluar-masuk negara tentangga untuk mengumpulkan kepingan-kepingan ringgit di sana. Hampir sebagian besar kaum muda dan kaum pria Iban Indonesia merantau dan bekerja di Malaysia. Yang menetap di kampung-kampung di Indonesia hanya kaum wanita, orang-orang tua dan anak-anak, serta mereka yang memiliki pekerjaan tetap di Indonesia. Masyarakat suku Iban mendiami rumah-rumah panjang (rumah panjai) yang dikepalai oleh seorang "pemilik rumah" (Tuai Rumah). Seorang Tuai Rumah-lah yang mengatur kehidupan masyarakat Suku Iban di dalam Rumah Panjai. Mereka mempunyai kekhasan budaya yang bisa dibedakan dari berbagai sub-suku Dayak lainnya misalnya dalam hal bahasa, alat musik, tarian, dan kerajinan tangan, terutama tenun ikatnya. Di antara beberapa Sub Suku Dayak yang mendiami wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Suku Iban merupakan salah satu dari dua Sub Suku Dayak selain Kantuk, yang masih mempunyai tradisi tenun ikat. Umumnya tenun ikat Sub Suku Dayak Iban bermotif dasar naga, bunga, manusia (orang-orangan), ataupun perpaduan ketiga jenis motif dasar tersebut. Dalam hal tenun ikat, di antara masyarakat Suku Iban sendiri dikenal empat jenis tenunan dengan tingkat kesulitan/kerumitan yang berbeda dalam proses pengerjaannya. Pertama, Tenun Kebat (ukuran maksimal 2m x 0,5m) bermotifkan bunga, manusia dan naga. warna dasarnya coklat dengan motif putih. Jenis tenunan ini paling sederhana. Biasanya seorang wanita Iban bisa menyelesaikan tenunan ini 2 lembar dalam waktu satu bulan. Harga yang biasa dijual kepada tamu asing untuk kain tenun jenis ini biasanya dinilai sebesar Rp 800.000 perlembar dengan ukuran maksimal 2m x o,5 m. [caption id="attachment_139546" align="aligncenter" width="663" caption="Kain Tenun Kebat (dok. pribadi)"][/caption] Kedua, Tenun Sidan, dengan ukuran maksimal 2m x 0,5 m. Motifnya, bisa bunga dan orang saja. Warnanya lebih bervariasi tergantung permintaan orang yang memesannya. Pengerjaannya lebih rumit dibandingkan jenis tenunan pertama. Biasanya seorang wanita Iban bisa menyelesaikan jenis tenunan ini 1 lembar dalam sebulan dengan ukuran 2m x 0,5m. Karena lebih rumit dari yang pertama, maka kain jenis tenunan ini dijual dengan harga Rp 1.000.000 perlembar. [caption id="attachment_139547" align="aligncenter" width="647" caption="Kain Tenun Sidan untuk bahan baju adat wanita (dok.pribadi)"][/caption] Ketiga, Tenun Songket. Warna dan motifnya lebih bervariasi dibandingkan jenis tenunan pertama dan kedua, sehingga cara pengerjaannya pun lebih rumit dibandingan kedua jenis tenunan sebelumnya. Motif dasarnya bisa berupa naga, bunga, dan orang-orangan atau perpaduan ketiganya. Seorang wanita Iban bisa menyelesaikan jenis tenunan ini 1 lembar dalam waktu 4-6 bulan dengan ukuran maksimal 2m x 0,5 meter. Karena lebih rumit, kain jenis ini dijual dengan harga Rp 2.000.000 perlembar kepada para wisatawan. [caption id="attachment_139549" align="aligncenter" width="663" caption="Kain Songket Bahan Dasar Pakaian Adat Pria Iban (dok.pribadi)"][/caption] Keempat, Tenun Pilih Slam (tenunan paling tua). Tidak semua wanita Iban generasi muda pandai menenun dengan motif atau corak seperti ini. Hanya ibu-ibu generasi tua yang mampu menenun kain jenis ini. Motifnya jauh lebih rumit dan pengerjaanya jauh lebih lama. Karena langka dan rumit proses penenunannya, maka umumnya dijual dengan harga perlembar Rp 2.500.000. Biasanya seorang wanita tua mengerjakan satu lembar kain ukuran 2m x 0,5 cm dalam waktu 1 tahun. [caption id="attachment_139556" align="aligncenter" width="663" caption="Kain Tenun Pilih Slam Tradisional Yang Langka dan Mahal (dok.pribadi)"][/caption]

Kelima, Tenunan Kebat Selendang, dengan ukuran 2 m x 10 cm. Jenis tenunan yang biasa digunakan untuk selendang dan paling mudah dikerjakan serta tidak memakan waktu berbulan-bulan. Untuk seorang wanita Iban, bisa menghasilkan jenis tenunan ini 6 lembar dalam sebulan. Biasanya dihargai oleh pembeli dengan harga Rp 200.000 perlembarnya. Untuk jenis tenunan ini bisa dipesan dengan aneka tulisan sesuai dengan pesan para sponsor. Umumnya digunakan sebagai cenderamata atau pengalungan bunga bagi tamu-tamu kehormatan.

[caption id="attachment_139558" align="aligncenter" width="678" caption="Kain Tenun Kebat Slendang (dok.pribadi)"][/caption] Semua jenis tenunan ini merupakan aset budaya Suku Iban di perbatasan. Pengerjaanya dilakukan secara tradisional oleh kaum wanita yang mendiami rumah-rumah panjang. Hampir setiap bilik di dalam sebuah rumah panjang suku Iban terdapat peralatan tenun ikat tradisional. Di hadapan alat tenun ikat tradisional inilah, para wanita Iban menyalurkan keahlian turun-temurun leluhur mereka di sela-sela kesibukan berladang. Akan tetapi, selama ini menenun bagi mereka bukan menjadi pekerjaan utama, karena kurangnya pembeli yang berminat pada kain tenunan mereka.  Permintaan pasar yang tidak menentu menyebabkan para wanita Iban perbatasan tidak dapat mengandalkan tenunan mereka sebagai sumber pendapatan tetap keluarga. Karena itu, aktivitas menenun hanya dijadikan sebagai hobi yang dikerjakan di sela-sela kesibukan berladang padi yang hasilnya sangat tidak memadai. Ibu Nomi, seorang wanita Iban Muda sedang menenun (dok.pribadi) Oleh karena itu, para wanita Iban di perbatasan ini perlu perhatian dan pendampingan serius dari berbagai pihak, terutama dari pemerintah melalui Dinas Pariwisata. Jika ada perhatian yang serius dengan mengusahakan pasar bagi aneka tenunan ikat ini, maka kaum wanita Iban perbatasan dapat menjadikan tenun ikat sebagai andalan sumber pendapatan utama mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Hal ini bisa mengurangi ketergantungan kaum wanita Iban perbatasan pada ringgit yang dibawa suami setahun sekali dari negara tetangga. [caption id="attachment_139677" align="aligncenter" width="645" caption="wanita iban dalam balutan busana adat lengkap (dok.pribadi)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun