Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Money

Krisis Pangan Dunia: Kedok di Balik Perampasan Tanah Rakyat

17 Juni 2011   05:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"Seorang Temenggung atau Kepala Suku Dayak Iban di Embaloh pernah ditanya: Mengapa menolak Perkebunan Sawit skala besar di daerah bapak? Kami menolak karena Perkebunan Sawit akan merampas tanah anak cucu kami. Tanah memang dikuasai oleh negara, tetapi merupakan warisan turun-temurun bagi anak cucu kami. Kami tidak mau menyerahkan tanah kepada perusahaan besar sekalipun dengan kedok pinjam. Kalau pemerintah punya niat baik, didiklah kami untuk menanam tanaman produksi karet dan bukannya MENYERAHKAN TANAH KAMI kepada pihak asing untuk dihijaukan dengan sawit."

Sikap Temenggung ini tepat meski dia tidak tahu skenario global berkaitan dengan kelangkaan pangan dan energi di balik perampasan tanah dan meningkatnya laju deforestasi hutan di Indonesia untuk perkebunan kelapa sawit skala besar.

Konteks Global yang Menyebabkan Perampasan Tanah

Untuk mengatasi kebangkrutan kapitalisme dan krisis-krisis yang dihadapinya, kaum kapitalis monopoli (kaum imperialis) menyodorkan berbagai jalan keluar. Guna mengatasi krisis finansial global, mereka mendesak negara-negara untuk mengeluarkan dana talangan (uang rakyat yang dikelola negara) yang jumlahnya pada akhir tahun 2008 saja telah mencapai US$ 50 triliun. Untuk mengatasi krisis pangan, mereka mempromosikan jalan keluarnya adalah menggenjot produksi dan produktivitas pertanian pangan, dengan mengandalkan perluasan pertanian skala raksasa (food estates), dan melibatkan industri pertanian (perusahaan-perusahaan agrobisnis). Sementara dalam mengatasi krisis energi, kaum imperialis mempromosikan penggunaan energi berbahan bakar nabati, sebagai pengganti energi berbahan bakar fosil (minyak bumi), yang diperkirakan akan terus menyusut produksinya pada tahun 2020 nanti. Dengan peralihan pemakaian energi ke energi berbahan bakar nabati, maka diperlukan perluasan tanah-tanah perkebunan untuk meningkatkan produksi energi berbahan nabati.

Inilah konteks dan sebab-sebab dari terjadinya perampasan tanah secara meluas hari ini. Jadi ringkasnya, perampasan tanah terjadi karena paksaan kaum imperialis guna mengatasi berbagai krisis hebat yang sedang mereka hadapi saat ini, dengan melemparkan seluruh beban dan ongkosnya kepada seluruh rakyat di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya.

Di dalam sektor pertanian yang merupakan sektor produksi utama di dalam hampir semua negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya, jalan keluar yang disodorkan oleh kaum kapitalis monopoli adalah semakin mengintensifkan dan memperhebat monopoli tanah melalui perampasan tanah secara global dan nasional. Perampasan tanah ini umumnya ditempuh melalui pengembangan pertanian pangan skala raksasa, pembangunan proyek-proyek infrastruktur, pembukaan perkebunan-perkebunan baru untuk pengembangan proyek bio-energi, mengintensifkan eksploitasi barang tambang, dan perluasan proyek-proyek konservasi hutan, reforestasi dan taman nasional serta pembangunan prasarana dan infrastruktur militer.

Jalan keluar semacam ini hanya akan semakin memperburuk krisis pangan global dan sebaliknya semakin meningkatkan keuntungan perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).[1] Demikian pula perluasan perkebunan skala raksasa untuk produksi bahan bakar nabati, hanya akan semakin memperluas perampasan tanah di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya dan memperhebat krisis iklim dan pemanasan global yang sedang terjadi saat ini. Karena banyak sekali hutan-hutan tropis di negeri-negeri ini yang harus dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan skala raksasa untuk produksi bahan bakar nabati (kedelai, tebu, kelapa sawit, jagung, tanaman jarak, singkong, dan gandum).

Sesungguhnya, krisis pangan dunia bukanlah kejadian yang berlangsung begitu saja. Dampak-dampak negatif yang saat ini terjadi memperlihatkan bahwa krisis ini merupakan krisis yang wataknya sistematis dan struktural. Dalam periode tahun 1980-an, negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya dipaksa untuk menerapkan kebijakan-kebijakan neoliberal melalui Program-program Penyesuaian Struktural Bank Dunia/IMF yang kemudian diikuti dengan Program Strategi Pengurangan Kemiskinan (Poverty Reduction Strategy Program); dan lebih jauh lagi diintensifkan oleh WTO serta perjanjian-perjanjian perdagangan regional maupun bilateral.

Bahkan jauh sebelumnya, dalam periode 1960-an, negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya telah dipaksa untuk menerapkan program Revolusi Hijau, untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Di dalam soal pangan dan pertanian, kebijakan-kebijakan globalisasi ini mencakup liberalisasi perdagangan dan investasi dalam pertanian, privatisasi sektor-sektor publik seperti irigasi, perdagangan pangan, dan pengurangan peran-peran pemerintah dalam penentuan harga dan pemasaran.

Bagian dari paket neoliberal ini adalah tekanan untuk perluasan produk tanaman ekspor, konversi tanah-tanah pertanian, promosi industri ekstraktif dan proyek-proyek “pembangunan” lain di bawah dominasi modal asing yang semakin menguatkan kontrol monopoli dari usaha-usaha agrobisnis bekerjasama dengan elit-elit nasional. Dampaknya terhadap kaum tani, buruh pertanian dan buruh perkebunan, kaum perempuan, produsen-produsen pangan kecil dan kaum miskin pada umumnya sangat dahsyat, termasuk penggusuran masyarakat pedesaan, makin hilangnya sumber-sumber penghidupan, dan meningkatnya kelaparan dan kemiskinan.

Saat ini, krisis pangan dan finansial, telah menjadi pemicu terjadinya perampasan tanah secara global. Di satu sisi, pemerintah dari negeri-negeri yang rentan pasokan pangannya dan menggantungkan kebutuhan pangan penduduknya pada impor melakukan perampasan tanah pertanian secara besar-besaran di luar negeri untuk kebutuhan produksi mereka sendiri. Sementara di sisi lain, perusahaan pangan dan investor swasta, yang rakus akan keuntungan di saat terjadi krisis berkepanjangan, melihat investasi atas lahan pertanian di luar negeri sebagai sebuah sumber utama keuntungan yang baru. Alhasil, lahan pertanian yang subur sedikit demi sedikit telah menjadi milik swasta dan terpusat. Jika tidak dikendalikan, perampasan lahan pertanian yang dilakukan secara global ini akan berdampak pada berakhirnya model pertanian skala kecil dan kehidupan pedesaan di banyak tempat di seluruh dunia.[2]

Oleh karenanya, dua krisis global yang terjadi selama kurun waktu 15 tahun terakhir—krisis pangan dunia dan krisis finansial global di mana krisis pangan menjadi salah satu bagiannya—telah menelurkan kecenderungan baru yang sekaligus sangat menganggu yakni pembelian lahan dalam skala besar untuk kepentingan produksi bahan pangan. Terdapat dua agenda yang saling berhubungan yang semuanya menuntun pada dua macam perampasan tanah. [3]

Agenda pertama adalah ketahanan pangan. Beberapa negeri yang menggantungkan kebutuhan pangannya pada impor dan merasa khawatir pada pasar yang semakin ketat, padahal memiliki dana tunai untuk itu, berupaya memenuhi kebutuhan pangan mereka dari luar negeri melalui penguasaan kontrol atas tanah pertanian di negeri lain. Negeri-negeri tersebut melihat cara ini sebagai strategi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat mereka yang memberi keuntungan baik dari segi harga maupun jaminan ketersediaan pangan dibandingkan yang terjadi saat ini. Negeri-negeri seperti Arab Saudi, Jepang, China, India, Korea Selatan, Libya dan Mesir telah menjalankan sistem ini. Para pejabat tinggi negeri-negeri tersebut sejak Maret 2008 telah melakukan kesepakatan diplomatik guna mencari lahan-lahan subur di tempat-tempat seperti Uganda, Brazil, Kamboja, Sudan dan Pakistan. Hal-hal tersebut di ataslah yang terjadi hari ini. Karena meyakini kesempatan bertani di negeri mereka sendiri semakin terbatas, sementara pasar yang ada tidak dapat diandalkan, negeri-negeri dengan ketahanan pangan yang rentan tersebut mencoba membeli tanah di berbagai tempat untuk memproduksi kebutuhan pangan mereka sendiri. Di sisi lain, negeri penyedia lahan rata-rata menyambut gembira kesempatan memperoleh dana segar dari investasi asing ini.

Agenda kedua adalah keuntungan keuangan. Karena berlangsungnya krisis keuangan saat ini, ketika semua pelaku bisnis keuangan dan industri pangan mencari strategi baru untuk tetap berkembang, mengalihkan investasinya pada tanah, baik untuk produksi pangan maupun produksi bahan bakar nabati, sebagai sumber keuntungan yang baru. Tanah sendiri sebenarnya bukanlah bentuk investasi yang lazim dilakukan bagi banyak perusahaan transnasional ini. Hal ini karena masalah tanah sarat dengan konflik politik yang di kebanyakan negeri melarang orang asing untuk memiliki tanah di negeri mereka. Namun kombinasi krisis pangan dan keuangan telah mengubah lahan pertanian menjadi salah satu strategi baru dalam pengelolaan aset. Di banyak tempat di dunia, harga pangan sangat tinggi sementara harga tanah sangat rendah. Solusi yang paling banyak ditawarkan saat bicara tentang krisis pangan adalah memproduksi lebih banyak bahan makanan dari lahan yang dimiliki.

Di saat pemerintah memilik agenda dalam menciptakan ketahanan pangan, investor swasta memiliki agenda yang berbeda, yakni menghasilkan keuntungan. Krisis pangan bersama dengan krisis keuangan global telah mengubah kontrol atas tanah menjadi magnet baru yang penting bagi swasta. Kita tidak sedang membicarakan mengenai praktek bisnis pertanian antar bangsa yang khas, di mana Cargill kemungkin besar terlibat dalam penghancuran perkebunan kacang kedelai di Mato Grosso di Brazil. Tapi kita sedang berbicara mengenai kepentingan baru dalam memperoleh kontrol atas lahan itu sendiri. Ada uang orang pemain di sini, yakni industri pangan (food industry) dan yang lebih signifikan adalah industri keuangan (finance industry).

Dalam lingkaran industri pangan, perusahaan perdagangan dan pengolahan Jepang dan Arab mungkin adalah perusahaan-perusahaan yang paling sering terlibat dalam perampasan tanah di luar negeri saat ini. Bagi perusahaan Jepang, strategi ini menyatukan pertumbuhan organik mereka. Sedangkan bagi perusahaan Timur Tengah, mereka menunggang pada kebijakan pemerintahan negara mereka yang membuka pintu dan bergerak keluar mengatasnamakan ketahanan pangan.

Berdasarkan sejumlah laporan, perusahaan-perusahaan perdagangan Jepang yang mendominasi pasar makanan dan bisnis pertanian di Jepang, yakni Mitsubishi, Itochu, Mitsui, Marubeni, dan Sumitomo, telah memiliki 12 juta hektar lahan pertanian di luar negeri untuk memproduksi pangan dan pakan ternak.

Masalah dalam industri keuanganlah yang porsinya lebih besar. Bagi sebagian besar orang yang berada di tampuk kekuasaan, dalam krisis pangan global ini terdapat masalah yang besar: yakni apa pun persoalannya, perubahan iklim, penurunan kesuburan tanah, berkurangnya pasokan air dan peningkatan jumlah perkebunan monokultur telah mengemuka dan menjadi tantangan terbesar dalam ketersediaan pangan bagi planet kita di masa depan. Hal ini diartikan bahwa akan terjadi pasar yang lebih ketat, harga yang tinggi, dan tekanan untuk mendapatkan yang lebih banyak dari lahan.

Pada saat yang sama, industri keuangan, yang bertaruh sangat besar atas uang yang terbatas akibat utang dan kerugian, tengah mencari tempat yang aman untuk berlindung. Seluruh faktor ini membuat lahan pertanian menjadi mainan baru yang dapat digunakan untuk meraih keuntungan. Pangan harus diproduksi, harga akan selalu tinggi, lahan murah telah tersedia, semuanya akan terbayar—itulah racikannya. Hasilnya? Sepanjang tahun 2008, sepasukan biro investasi, lembaga pemegang modal swasta, dana pelindung dan sejenisnya, secara cepat telah mengambil lahan-lahan pertanian di seluruh dunia—dan dengan pertolongan yang sangat besar dari lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia, dan Perusahaan Keuangan Internasionalnya, serta Bank Pembangunan dan Rekonstruksi Eropa (European Bank for Reconstruction and Development atau EBRD). Lembaga-lembaga inilah yang melumasi jalan aliran investasi ini dan “membujuk” pemerintah untuk mengubah kebijakan kepemilikan tanah mereka sehingga dapat diganti. Hasilnya, harga tanah mulai naik.

Sektor swasta pada tahun 2008 tengah pusing tujuh keliling karena harus segera melakukan perampasan lahan pertanian. Deutsche Bank dan Goldman Sachs, misalnya, sedang memegang kendali atas industri peternakan di China. Sementara ketika seluruh pandangan tengah fokus pada Wall Street di akhir September 2008, keduanya memasukkan uang mereka ke peternakan babi terbesar di China, peternakan unggas dan tempat pengolahan dagingtermasuk di dalamnya hak atas lahan pertanian. Black Rock Inc. yang berkantor pusat di New York, lembaga pengelola uang terbesar di dunia dengan lebih dari US$ 1,5 triliun dalam buku keuangannya, baru saja merancang dana pelindung pertanian sejumlah US$ 200 juta, yang US$ 30 juta di antaranya akan digunakan untuk memperoleh lahan pertanian di seluruh dunia. Morgan Stanley, yang baru saja bergabung dalam antrian membantu Departemen Keuangan AS, belakangan membeli 40 ribu hektar lahan pertanian di Ukraina.

Namun tetap kalah jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Renaissance Capital, sebuah biro investasi dari Rusia, yang memiliki hak perolehan lahan pertanian di Ukraina seluas 300 ribu hektar. Faktanya, wilayah paling subur yang terbentang mulai dari Ukraina hingga selatan Rusia menjadi arena kompetisi perebutan tanah yang paling panas. Black Earth Farming, kelompok investor asing dari Swedia, memegang kendali akuisisi 331 ribu hektar lahan pertanian di wilayah bumi hitam Rusia. Alpcot-Agro, perusahaan investasi Swedia yang lain, telah membeli hak atas lahan seluas 128 ribu hektar juga di sana. Sementara Landkom, kelompok investor asing dari Inggris, telah membeli lahan pertanian hingga 100 ribu hektar di Ukraina dan berjanji akan memperluasnya hingga 350 ribu hektar pada tahun 2011. Semua lahan ini akan digunakan untuk memproduksi padi, minyak nabati, daging dan susu untuk memenuhi pasar dunia yang tengah kelaparan dan terutama bagi mereka yang mampu membayarnya.

Kecepatan dan ketepatan trend investasi jenis baru ini sangat mencengangkan. Berikut ini adalah daftar negeri-negeri yang menjadi target investasi, yakni: Malawi, Senegal, Nigeria, Ukraina, Rusia, Georgia, Kazakhstan, Uzbekistan, Brazil, Paraguay bahkan hingga Australia. Negeri-negeri ini telah diidentifikasi sebagai negeri-negeri yang menawarkan tanah yang subur, ketersediaan air yang mencukupi dan pada bebeberapa level memiliki lahan potensial dalam hal pertumbuhan produktivitas. Rata-rata para investor ini menetapkan batas waktu atas tanah-tanah tersebut hingga 10 tahun, tentu saja dengan pengertian yang sangat jelas bahwa mereka harus membuat tanah tersebut sangat-sangat produktif dan membangun infrastruktur pemasaran. Dengan cara ini diperkirakan setiap tahunnya mereka memperoleh tingkat keuntungan 10-40% di Eropadan 400% di Afrika. Sekali lagi hal yang baru dan khusus pada fenomena perampasan tanah ini adalah bahwa kalangan industri keuangan ini telah memperoleh hak yang sesungguhnya atas tanah, dan kebanyakan langkah ini terjadi hanya dalam beberapa bulan terakhir ketika pasar keuangan global tengah mengalami kebangkrutan.

Indonesia Menjadi Boneka Kaum Imperialis dalam Merampas Tanah Rakyat

Watak boneka pemerintah Indonesia tercermin dengan cepatnya Indonesia menanggapi tawaran penyelesaian krisis pangan yang dipromosikan dalam skema kaum imperialis. Dalam pidato yang disampaikan oleh Wakil Presiden Indonesia Budiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia mengenai Ketahanan Pangan yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) di Roma pada tanggal 13-17 November 2009, Indonesia menyatakan kesiapan untuk memberikan dukungan bagi pemenuhan pangan dunia. Di tingkat nasional, pidato Wakil Presiden Indonesia Budiono ini telah menjadi kebijakan nasional untuk memproduksi pangan secara besar-besaran, yang dilakukan dengan mengubah orientasi kebijakan pembangunan sektor pertanian dari yang semula mengandalkan petani kecil menuju industrialisasi pertanian, yang mulai memberikan ruang gerak lebih lebar bagi masuknya pemodal. Sama halnya dengan pidato Presiden Indonesia SBY pada bulan Januari 2010 ketika mempromosikan pertanian pangan skala raksasa terintegrasi dengan proyek energi nabati di Merauke, Papua, menyebutkan bahwa Indonesia berambisi menjadi lumbung pangan dunia.

Dipercayai, dengan melibatkan industri, produksi pangan bisa ditingkatkan berlipat-lipat dibandingkan bila lahan pertanian dikelola petani kecil. Inilah kebijakan nasional untuk mendukung pertanian pangan skala raksasa, yang dikandung dalam Undang-Undang No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, [4] yang memberikan jalan masuknya pengusaha pertanian, baik tingkat lokal, nasional maupun multinasional mengolah lahan di Indonesia dan memperdagangkannya baik untuk pasar domestik maupun ekspor.

Dalam situasi semacam ini, Indonesia sendiri telah menegaskan niatnya untuk menjadi lumbung padi dunia melalui pencanangan program pertanian pangan dan energi terintegrasi di Merauke (MIFEE atau Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang akan merampas tanah kaum tani seluas 2,8 juta hektar di Merauke, Papua. Investor utama dari rencana ini adalah kelompok usaha BinLaden dari Arab Saudi yang pada bulan Agustus 2008 mentargetkan tanah Merauke untuk produksi beras basmati, yang kemudian akan diekspor kembali ke Arab Saudi, dalam rangka program ketahanan pangan negeri padang pasir itu.

Demikian pula dalam konteks untuk mengatasi krisis energi, Indonesia juga menyatakan diri siap menjalankan tugasnya untuk memproduksi energi nabati bagi kaum imperialis. Dengan kampanye membuat perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia seluas 1,8 juta hektar di perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan (Kalimantan Border Oil Palm Mega Project), yang dikampanyekan oleh pemerintah pada tahun 2005. Melalui pernyataan Menteri Pertanian Republik Indonesia Anton Apriantono pada bulan Juni 2005 disebutkan bahwa proyek kebun sawit terbesar di seluruh dunia ini, akan dimaksudkan untuk menghasilkan energi nabati untuk konsumsi domestik dan ekspor.[5]

Untuk mendukung skema kaum imperialis ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,[6]UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Semua aturan terkait perkebunan, pertambangan mineral dan batubara, penanaman modal dan pertanian pangan tersebut mencerminkan watak komprador dari rezim Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono (SBY-Budiono). Karena memberikan fasilitas sedemikian luas kepada modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui konsesi hak guna usaha, kontrak karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi lainnya bagi investor asing untuk menguasai tanah di Indonesia.

Dalam pandangan kaum tani Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), aturan-aturan yang disebutkan di atas, memberikan pengesahan atas terjadinya perampasan tanah dalam bentuk perluasan perkebunan skala raksasa dan pertanian pangan skala raksasa (food estates), yang dilakukan oleh rezim SBY-Budiono.

Melalui skema pertanian pangan skala raksasa, produksi pangan akan diandalkan pada perusahaan-perusahaan industri pangan. Dengan demikian, melalui skema pertanian pangan skala raksasa ini, tanah kaum tani akan dirampas secara brutal dan setelah itu, kaum tani akan dipaksa menjadi buruh tani secara besar-besaran di kawasan industri pertanian itu. Tentu saja, hal ini akan menyebabkan akses rakyat terhadap pangan semakin sulit, apalagi jika sebelumnya Indonesia adalah negeri pengimpor pangan.

Indonesia sendiri selama sepuluh tahun terakhir merupakan negeri pengimpor utama bahan pangan (antara lain beras, kedelai, gula, garam, jagung), tentu dapat dipastikan mendapatkan pukulan yang paling hebat, karena krisis pangan dunia ini. Setiap tahun Pemerintah Indonesia harus menguras devisa lebih dari US$ 5 miliar atau senilai dengan Rp 50 triliun, untuk mengimpor pangan.[7]

Ironisnya, sementara banyak negeri penghasil pangan utama bergerak cepat untuk melarang ekspor beras karena krisis imperialisme ini akan terus berlanjut, pejabat-pejabat Indonesia malah bergerak cepat untuk mempromosikan ekspor beras, karena panen padi awal tahun 2008, yang dianggap berhasil. Sikap ini sungguh menyakitkan hati rakyat tani. Karena kenyataan di lapangan, petani penghasil padi menjerit harga jual padinya merosot drastis dan dipermainkan oleh tengkulak dan Bulog.

Meskipun rezim politik di Indonesia telah berganti beberapa kali sejak Soeharto ditumbangkan tahun 1998, watak penghisap dan penindas dari rezim politiknya tidak pernah berubah. Wataknya tetap sama, yakni menguras sumber daya alam yang masih tersisa sampai kering, memonopoli industri bahan baku sampai dengan industri pengolahan, menggantungkan diri pada utang, mengedepankan proyek-proyek infrastruktur raksasa yang rakus akan tanah-tanah yang luas, mengundang kemudahan investor asing untuk melakukan penanaman modal, merampas upah kelas buruh, dan mencaplok tanah-tanah milik kaum tani, yang dalam krisis umum imperialisme sekarang, perampasan tanah tersebut akan diabdikan guna memproduksi pangan dan bahan bakar nabati.



[1]Kampanye dalam rangka World Foodless Day (Hari Kekurangan Pangan Dunia), sebagai alternatif dari World Food Day yang diperkenalkan oleh FAO, yang secara global dikoordinir oleh Pesticide Action Network Asia and the Pacific (PAN AP) dan People’s Coalition on Food Sovereignty (PCFS), 16 Oktober 2008.

[2]Lihat selanjutnya laporan GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis pangan, “Seized! The 2008 landgrab for food dan financial security,” Oktober 2008.

[3]Lihat selanjutnya laporan GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis pangan, Oktober 2008, ibid., yang menjelaskan mengenai peran pemerintah, industri pangan, dan industri keuangan dalam melakukan perampasan tanah di seluruh dunia.

[4]Gagasan Undang-Undang terbaru tentang pangan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY pada tahun 2009 ini adalah dengan melibatkan industri, produksi pangan bisa ditingkatkan berlipat-lipat dibandingkan bila lahan pertanian dikelola petani kecil. Jelas ini merupakan pikiran yang anti-rakyat dan anti-kaum tani. Dan undang-undang terbaru tentang pangan ini, merupakan bukti langsung dari membebeknya rezim SBY-Budiono terhadap skema imperialis dalam menyelesaikan krisis pangan.

[5] Eric Wakker, “The Kalimantan Border Palm Oil Mega-project,” laporan yang dibuat untuk Friends of the Earth Netherlands and the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC), April 2006.

[6]UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal memberi Hak Guna Usaha (HGU) tanpa pembedaan asing dan nasional kepada sebuah perusahaan selama 90 tahun.

[7]Harian umum Kompas, 24 Agustus 2009, “RI Terjebak Impor Pangan.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun