Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Berharap Tuhan Tahu

28 April 2011   21:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:17 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1304026843440283212

Sejak lahir ia tidak pernah punya mimpi jadi orang besar. Ia hanya ingin jadi petani kecil. Ia hanya ingin punya satu ekor kerbau dan satu lahan sawah kecil untuk mencukupi kebutuhan makan satu tahun. Dan Tuhan tahu itu. Menjelang dewasa, ia mendapatkan sebidang tanah warisan keluarga ayahnya dan seekor kerbau yang diberikan pamannya sebagai hadiah pernikahannya.Ketika beranjak dewasa ia hanya punya satu keinginan: memperistri Sukima, anak seorang tukang kunci sahabat ayahnya, yang kehilangan ibunya sejak kecil., seorang gadis pucat, kurus, sakit-sakitan dan pemalu. Ia hanya ingin membuat gadis itu tertawa sepanjang sisa hidupnya. Dan Tuhan tahu itu. Pada suatu pagi, gadis itu datang padanya menenteng sebuah koper lusuh dengan sebuah surat pesan di tangannya. Dalam suratnya itu, si tukang kunci berpesan: jagalah Sukima dari hujan dan panas. Aku akan pergi jauh mengejar nasib yang selalu mengelak dari jangkauanku.

Tatkala mengawini Sukima, ia juga hanya punya satu keinginan: mencintai wanita itu dalam untung dan malang juga setelah kematian memisahkan mereka. Bila Sukima kepanasan ia akan menjadi rumah baginya. Bila Sukima kedinginan ia akan menjadi selimut baginya. Dan Tuhan tahu itu. Sampai gadis itu meninggal ia selalu punya cinta kasih dan keramahan yang tidak dimiliki suami lain, juga setelah masa pernikahan mereka memasuki usia sepuluh tahun dan wanita itu tidak juga mengandung. Ia selalu ingin punya anak tetapi ia tidak memaksa istrinya. Dan Tuhan juga tahu itu. Maka pada usia perkawinan mereka yang kesebelas, sukima mengandung dan melahirkan seorang anak yang pucat dan sakit-sakitan seperti ibunya. Tapi lima bulan setelah melahirkan sukima berpamit padanya, pergi untuk selamanya.

Dua hari yang lalu hujan terus mengguyur. Dan malam tadi datang banjir dan longsor dasyat. Rumah kecilnya yang terletak di pinggir sungai pun jadi mangsa empuk banjir dan longsor. Sawahnya yang hanya sepetak dan kerbaunya yang hanya seekor itu pun tidak luput dari gempuran. Ia lari menyelamatkan diri hanya dengan pakaian di badan serta dua dari sedikit hartanya yang paling berharga, anak semata wayang dan sebuah gitar usang dari masa mudanya. Di sini ia meringkuk dingin dan kelaparan dan tak seorangpun yang peduli. Apakah Tuhan tahu? Ia mulai ragu. Di sini ia hanya punya satu keinginan, tapi tidak mau membeberkan di sini. Malu, katanya. Biarkan Tuhan yang tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun