Suasana Diskusi Tokoh Masyarakat Adat Dayak Tamambaloh pada 11 April 2011
Berawal dari kasus pemulangan team penyedia bahan bangunan dasar (kayu tebelian) rumah panjang (sao langke) Belimbis yang dilakukan oleh pihak TNBK dan unsur kepolisian resort Kapuas Hulu serta unsur TNI dari lokasi Tungun di hulu Sungai Embaloh, maka masyarakat adat mengadakan rapat bersama untuk mengevaluasi sejauh mana peran serta atau kontribusi Taman Nasioanal Betung Kerihun bagi kesejahteraan masyarakat adat di DAS Embaloh dan Labian yang terselenggara pada Senin, 11 April 2011.
Sekilas Mengenai Kronologis Terbakarnya Rumah Betang Dusun Belimbis-Desa Pulau Manak-Kecamatan Embaloh Hulu-Kabupaten Kapuas Hulu dan Upaya-upaya Penanganannya
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa rumah panjang atau rumah betang (sao langke) Belimbis (yang berada di kecamatan Embaloh Hulu) telah dimakan si jago merah pada tanggal 18 Januari 2010. Rumah betang yang dibangun dengan ciri khas Tamambaloh dan menghabiskan dana ratusan juta rupiah tersebut dilalap api dan luluh lantak dengan tanah bersama dengan seluruh harta kekayaan masyarakat Dusun Belimbis, meski tanpa korban jiwa. Akan tetapi, kerugian yang diderita oleh seluruh penghuni rumah betang pada malam nahas tersebut takterhitung karena tidak ada yang bisa diselamatkan oleh masyarakat kecuali pakaian yang ada di badan. Pada malam kejadian, masyarakat penghuni rumah betang tersebut dievakuasi ke dusun-dusun terdekat. Pada 19 Januari 2010, dibuka posko penggalangan bantuan untuk penanganan darurat seperti mengumpulkan beras, pakaian layak pakai, dan bahan-bahan kebutuhan pokok lainnya untuk membantu masyarakat Belimbis.
Pada 1 Februari 2010, masyarakat Belimbis mencoba membentuk panitia penanganan setelah bencana dan mencari bantuan ke berbagai pihak untuk membangun kembali rumah betang yang telah terbakar. Dari berbagai pihak yang telah dikirimi proposal, masyarakat yang sedang kesulitan ini mendapatkan tanggapan langsung dari Dinas Sosial Propinsi Kalbar sebesar Rp 50.000.000 dan dari kementerian Sosial RI sebesar Rp 321.000.000. Dengan demikian, total dana yang diterima masyarakat dari pemerintahan terkait berjumlah Rp 371.000.000
Dari total dana tersebut, masyarakat mencoba memulai proses pembangunan kembali rumah betang di lokasi yang sama. Karena itu, dibentuklah sebuah panitia pembangunan dengan sistem dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri. Artinya, dana dari pemerintah tersebut tidak diserahkan kepada pihak ketiga untuk dikelolah.
Pada 29 Februari 2011 terbentuklah panitia pembangunan tersebut. Karena total dana yang ada dirasa tidak mencukupi untuk membangun sebuah rumah betang yang menelan angka 500-700-an juta rupiah, maka diputuskan dalam rapat seluruh masyarakat tersebut agar ditunjukteam penyedia bahan dasar/bahan baku pembangunan rumah betang (tiang-tiang utama) berjumlah 600 batang (kayu tebelian) bagi seluruh keluarga penghuni rumah betang tersebut. Sebagaimana tradisi masyarakat adat Tamambaloh, yang mendiami DAS Embaloh secara turun-temurun, tiang-tiang utama untuk sebuah rumah betang haruslah kayu kelas satu (kayu tebelian) yang biasanya diambil dari Hulu Sungai Tamambaloh yang notabene bagi masyarakat adat Tamambaloh berada di dalam cakupan wilayah adat masyarakat Tamambaloh secara turun-temurun, meskipun sejak hadirnya Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) telah “diambil alih” penguasaannya oleh negara.
Karena masyarakat adat merasa bahwa seluruh wilayah di sepanjang DAS Embaloh adalah wilayah adat masyarakat Tamambaloh termasuk lokasi TNBK, maka Temenggung yang adalah pemangku adat tertinggi masyarakat adat Tamambaloh berhak mengeluarkan surat rekomendasi bagi masyarakat Belimbis (khususnya kepada team penyedia bahan baku tiang utama) untuk mencari 600 batang tiang rumah betang di daerah Tungun, hulu sungai Embaloh. Pada 20 Maret 2011, Temenggung Tamambaloh mengeluarkan surat rekomenadasi tersebut. Berbekalkan surat rekomendasi temenggung yang ditembusi ke berbagai pihak (TNBK, Kapolsek, dan Danramil serta Camat Embaloh Hulu), team penyedia bahan dasar rumah betang ini berangkat ke hulu Sungai Embaloh, tepatnya ke wilayah Tungun pada 22 Maret 2011. Pada 23 Maret 2011 temenggung dan masyarakat adat Embaloh Hulu khususnya masyarakat Belimbis mendapat informasi bahwa akan ada patroli (penangkapan) yang merupakan gabungan antara TNBK, POLRES Kapuas Hulu, dan TNI.
Puing-Puing Rumah Betang Belimbis Yang telah Terbakar (diambil: 19 Januari 2010)
Rupanya pihak TNBK mengajak juga temenggung dan beberapa tokoh masyarakat Belimbis lainnya untuk berangkat ke hulu Sungai Embaloh bersama dengan team gabungan tersebut untuk menjemput kembali team penyedia bahan baku rumah betang Belimbis. Pada 24 Maret 2011, tepatnya pukul 10.00 WIB, berangkatlah team gabungan bersama temenggung dan beberapa tokoh masyarakat Belimbis ini ke hulu Sungai Embaloh. Sesampai di wilayah Tungun (lokasi pengambilan bahan baku tiang rumah betang) terjadilah dialog TNBK dan Team Gabungan dengan pihak ketemenggungan yang terdiri dari beberapa poin yakni: 1) team penyedia bahan baku rumah betang dibekukan sementara aktivitasnya (mereka belum memotong kayu) dan diminta kembali ke Belimbis sampai ada pertemuan lanjutan dengan pihak TNBK, 2) dana atau biaya yang telah dikeluarkan oleh team untuk ke Tungun akan diganti kembali oleh pihak TNBK, 3) Pak Hasbulah (Kabid Humas Kapolres Kapuas Hulu) akan menyampaikan masalah ini kepada Wakil Bupati Kapuas Hulu. Hari itu juga, tepatnya pukul 17.00 WIB semuanya kembali ke Belimbis dan tiba pukul 19.30 WIB.
Pada 25 Maret 2011, Pak Temenggung Embaloh Hulu diminta oleh pihak TNBK untuk menandatangani surat pernyataan bermeterai yang isinya menyatakan bahwa temenggung tidak pernah menyuruh team penyedia bahan bangunan rumah betang Belimbis untuk mengambil kayu di wilayah TNBK. Surat ini tidak ditandatangani oleh temenggung karena dia merasa bertanggung jawab kepada masyarakat adatnya dan berhak memberikan rekomendasi kepada masyarakat adat yang empunya wilayah adat tersebut (termasuk wilayah TNBK) sejauh untuk kebutuhan dasar (akan perumahan) bagi masyarakat adatnya sendiri.
Peristiwa pemulangan team penyedia bahan baku rumah betang Belimbis yang telah terbakar ini semakin memperdalam luka yang dialami oleh masyarakat adat Tamambaloh dengan kehadiran TNBK selama ini sejak tahun 2002. Temenggung bersama dengan masyarakat adatnya mengalami bahwa sikap TNBK ini mencederai rasa keadilan masyarakat adat Tamambaloh yang secara historis sebelum adanya TNBK telah secara turun-temurun mendiami dan memiliki seluruh wilayah tersebut. Pertanyaan besar masyarakat adat adalah: mengapa untuk mengambil kayu tebelian sebagai tiang utama rumah betang masyarakat adat Tamambaloh dalam hal ini di Dusun Belimbis yang telah terbakar saja tidak diperkenankan? Hal inilah yang melahirkan pertemuan bersama seluruh masyarakat adat Tamambaloh di DAS Embaloh dan DAS Labian pada 11 April 2011.
Pertemuan Masyarakat Adat Tamambaloh: Mempertanyakan Kembali Kontribusi TNBK bagi Masyarakat Adat di dalam Kawasan TNBK di Wilayah Kecamatan Embaloh Hulu
Pertanyaan besar ini melahirkan sebuah wacana untuk mengadakan sebuah rapat pada tingkat ketemenggungan pada 11 April 2011. Dalam rapat yang diselenggarakan di Gedung Serba Guna Banua Martinus yang dihadiri seluruh perwakilan masyarakat adat ketemenggungan Tamambaloh dan Ketemengungan Batang Lupar (Lanjak/DAS Labian) terdengarlah berbagai ungkapan ketidakpuasan masyarakat adat di dalam kawasan TNBK terkait dengan kehadiran TNBK selama ini. Pada sesi pertama, Pak Temenggung menyampaikan secara kronologis bahwa wilayah TNBK di Kecamatan Embaloh Hulu sesungguhnya merupakan wilayah adat atau hak ulayat masyarakat adat Tamambaloh. Alasannya: secara turun-temurun wilayah tersebut telah didiami oleh leluhur masyarakat adat Tamambaloh sejak ribuan tahun yang lalu dan menjadi hak ulayat masyarakat adat Tamambaloh. Menurut temenggung, TNBK berada di dalam wilayah adat masyarakat Tamambaloh dan bukan sebaliknya, masyarakat adat Tamambaloh berada di dalam wilayah TNBK. Karena itu, pantas jika masyarakat Belimbis yang telah tertimpa kesulitan dan hendak membangun kembali rumah betang mereka diberikan rekomendasi olehnya untuk mengambil kayu tebelian wilayah Tungun di hulu Sungai Embaloh sebab itu merupakan hak mereka sebagai masyarakat adat Tamambaloh yang empunya wilayah tersebut secara turun-temurun bahkan sebelum adanya TNBK.
Pada sesi kedua dibukalah disukusi umum dengan seluruh masyarakat yang hadir. Dari diskusi tersebut muncullah berbagai keluhan tentang kontribusi kehadiran TNBK di wilayah masyarakat adat Tamambaloh. Keluhan-keluhan tersebut antara lain:
1.Masyarakat adat Tamambaloh mengalami bahwa hadirnya TNBK telah membuat masyarakat adat yang awalnya memiliki hak atas wilayah tesebut sebagai hak ulayat semakin terpinggirkan. Masyarakat merasa bahwa ruang gerak mereka untuk mengambil kebutuhan hidup sehari-hari termasuk mengambil bahan baku untuk perumahan di wilayah mereka yang telah dikelolah oleh pihak TNBK semakin dipersulit oleh para petugasnya.
2.Masyarakat adat merasa bahwa selama ini pihak TNBK berjalan sendiri dengan aneka program kerjanya tanpa melibatkan masyarakat adat secara keseluruhan
3.Masyarakat adat mengalami bahwa TNBK sering arogan dalam pendekatannya terhadap masyarakat adat.
4.Masyarakat adat mengalami bahwa kontribusi langsung TNBK kepada masyarakat yang empunya wilayah tersebut secara turun-temuran tidak ada sama sekali, dan kalaupun ada hanya menyentuh orang-orang tertentu saja.
5.Masyarakat mengalami bahwa TNBK hanya menghabiskan dana dengan studi dan seminar tanpa usaha pemberdayaan masyarakat adat.
6.Masyarakat mengalami bahwa selama ini hanya dijadikan sebagai objek penderita untuk difoto dan dijual ke dalam dan ke luar negeri oleh pihak TNBK dan tidak ada hasil yang dirasakan langsung oleh masyarakat adat sendiri.
7.Masyarakat adat semakin bingung dengan visi dan misi kehadiran TNBK yang telah mengambil alih hak ulayat masyarakat adat tetapi tanpa ada usaha pemberdayaan dan penyejahteraan masyarakat adat yang empunya wilayah.
Dari rentetan aneka keluhan ketidakpuasan dengan hadirnya TNBK selama ini, maka muncullah dua arus suara di dalam forum masyarakat adat tersebut.
Kelompok pertama menghendaki untuk mengusir TNBK dari wilayah kecamatan Embaloh Hulu dengan alasan kehadirannya selama ini tidak memberikan kontribusi apapun terhadap seluruh masyarakat adat yang awalnya empunya wilayah dan seterusnya mengakui bahwa TNBK berada di bawah kawasan hak ulayat masyarakat adat Tamambaloh.
Kelompok kedua menganggap kehadiran TNBK hanyalah penyokong dan mitra masyarakat adat Tamambaloh untuk melestarikan wilayah adatnya. Karena itu, TNBK harus menjadi mitra sederajat dengan masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah TNBK agar masyarakat adat bisa disejahterahterahkan dengan adanya TNBK di wilayah adat mereka. Karena itu, menurut kelompok kedua perlu ditijau kembali kehadiran TNBK di wilayah adat mereka agar TNBK sungguh-sungguh menjadi mitra dalam pengelolaan wilayah adat mereka, sehingga masyarakat bisa disejahterahkan dan mengalami manfaat langsung dengan dikaplingnya hak ulayat mereka menjadi bagian dari sebuah Taman Nasional.
Kedua arus suara ini sama-sama deras dan perlu menjadi bahan refleksi lebih lanjut bagi pihak pengelolah TNBK dan pemerintah untuk ditanggapi dengan arif atau bijaksana karena bagaimanapun masyarakat di kedua DAS tersebut sudah terlanjur kecewa dengan kehadiran TNBK yang bukannya menyejahterahkan dan memberdayakan mereka malah dirasakan seolah-olah menjadi “simbol penjajahan” jenis baru di wilayah adat mereka. Selain itu, peristiwa ini merupakan permukaan sebuah gunung es di tengah lautan karena keluhan yang sama juga disuarakan oleh masyarakat di berbagai tempat di kawasan hamparan TNBK misalnya: Kayaan-Mendalam, Punan-Bukat di DAS Kapuas, dll.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H